Jika jalan “pertemanan” itu banyak
dipilih untuk mendapatkan eksistensi, aku menempuh jalan berbeda. Tidak obsesif
pada apapun seperti dikejar banyak orang dengan “tangan kosong.” Itulah aku.
Pangeran Kegelapan. Menjauhkan diri dari keramaian riuh rendah, gegap gempita,
“pesta-pesta” yang diselenggarakan dimana-mana.”
Kenyataannya, tidak hanya sekadar menjauh. Aku pun sendiri tahu, dalam rentang waktu panjang di banyak peristiwa, aku adalah seseorang yang “patut disingkirkan” dari perhitungan “berkedok” kualitas, padahal hanya atas dasar suka tidak suka dan kepentingan “politis” belaka. Tidak pada pemikiran dan kedudukan karya.
Aku dianggap seorang yang sombong. Suka mengkritisi “sisi gelap” tata cara berkomunitas dan berkarya. Kesombongan dan konsistensi padahal tidak sama. Namun kenyataannya seringkali difahami sama. Tetapi biarlah semua itu. Aku tidak memerlukan suatu perdebatan. Bagiku perdebatan hanya akan membuang enersi kepada orang yang justru menyukai jalan kepentingan dan ketergantungan untuk menjadikan dirinya ada.
Pilihanku hanya berkarya. Berkarya tidak oleh sebab “pesanan” atau berharap kemenangan dan uang dari setiap “perlombaan.” Aku menempuh jalan kesenian dengan caraku sendiri, tidak dengan cara orang lain. Walau pun cara mereka itu sudah hal biasa dan dianggap wajar-wajar saja.
Diperhatikan atau tidak. Dikenal atau tidak, bukan tujuanku. Berkesenianku tidak kupertaruhkan kepada perlombaan, penghargaan atau kepopuleran. Aku berkesenian karena aku memang ingin berkesenian. Tidak oleh sebab orang lain. Tidak juga akibat “kemudahan” yang diberikan perorangan, lembaga maupun institusi. Guruku adalah kehidupan. Leluhurku benar. “Alam takambang jadikan guru.”
SN DATO' DR AHMAD KHAMAL ABDULLAH ABRAR KHAIRUL IKHIRMA DRS. NADJMI ADHANI, M.S KUALA LUMPUR 29 SEPTEMBER 2017i |
Pada Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, aku “keluar” dari sarangku. Salah satu puisiku terpilih diantara yang banyak. Tetapi aku tahu, puisiku itu “terkesan” dipandang “sebelah mata.” Sudah aku duga seperti dugaanku selama ini pada hal semacam itu.
Itu sudah resiko dari “pertimbanganku” semula, yang kuanggap kemudian menjadi kenyataan. Apalagi setelah masa berlalu, menyempatkan diri membaca karya lainnya, bersamaan dengan momentum karyaku itu. Lalu merujuk kepada criteria yang dimintakan. Apa kesimpulanku?
Kesimpulanku itu ialah sebagaimana tertanam dalam diriku selama ini. Diluar diri kita tidak selalu terdapat orang bodoh, tidak selalu hanya bertemu dengan orang tidak peduli. Mereka tentu memiliki penilaian pula, melihat sejauhmana antara ukuran yang diberikan dan hasil dipilih sebagai penentuan. Disitulah nama dan kredibilitas diperlihatkan. Konsisten atau tidak akan criteria. Atau ada “hal” lain di baliknya dengan “mengorbankan” objektifitas.
Sebagai Pangeran Kegelapan, bercermin pada satu ketika, pernah membaca dalam satu kata pengantar edisi khusus penerbitan Majalah Berita Mingguan Tempo, Jakarta, ketika dilaksanakan persidangan dalam memilih “10 Tokoh Mengubah Indonesia,” menyadari harus berhati-hati menjatuhkan pilihan. Disebutkan sebagai pentingnya konsisten dan pertanggungjawaban moral yakni resiko, “salah memuji orang, salah membesarkan orang.”
Sejak 2014 itu aku “berdendam” memberikan “lebih” perhatian dalam mengapresiasi kegiatan Numera Malaysia. Terutama melalui media social yang menjadi media informasi dan komunikasi utama selama ini. Tetapi komunikasi personal dengan SN Dato’ Ahmad Khamal Abdullah (Presiden Numera Malaysia) hampir tak pernah ada terjadi di inbox.
Begitu juga apresiasi, selalu aku tempatkan sewajarnya. Sesuai proporsinya. Tidak “angkek talua” sebagaimana istilah negatif orang kampungku, dimana seseorang “berharap” sesuatu pada seseorang dengan jalan “memuji-memuja-berlebihan.” Itu bukan kepribadianku.
ABRAR KHAIRUL IKHIRMA (INDONESIA) AMINUR RAHMAN (BANGLADESH) TAN SRI DATO SERI HAMAD KAMA PIAH (MALAYSIA) SN DATO' DR AHMAD KHAMAL ABDULLAH (MALAYSIA) DRS. NADJMI ADHANI, M.Si (INDONESIA) |
Dengan segala keotodidakanku, aku merancang pelbagai desain. Menulis tulisan secara sukarela untuk kegiatan Numera sejak ia dirancangkan. Sama sekali tidak ada permintaan dari Pengerusi Numera. Ternyata apa yang kuhasilkan dan posting melalui akun media sosialku, terus menerus berkenan bagi Numera. Jika mau “mencermatinya” dengan jujur, setidaknya, aku telah ikut “mewarnai” identitas, memberikan “pupuk” tanda petik pada ide dan pemikiran.
Kalau pun sebahagian besar rancangan desain itu digunakan oleh Numera, aku mempersilahkan. Tidak bermaksud berharap imbalan. Menurutku, itu satu bukti bahwa aku konsisten “mendukung” pada apa yang dicetuskan Numera. Dengan cara itulah dukunganku. Selama satu tahun (terutama untuk Seminar Internasional Sastera Melayu Islam 2017) gencar berpublikasi.
Padahal aku sendiri sejak semula tidak berkeinginan menjadi peserta. Karenanya aku tidak meregistrasi diri pada pihak penyelenggara. Nyatanya, ada juga jemputan untuk datang ke Kuala Lumpur mensyuarat persiapan acara, waktunya pun tidak sesuai dengan kegiatanku. Pada saat yang sama, “ada hal” sejak ayahandaku wafat. Memberatkanku untuk berpergian meninggalkan kotaku. Kemudian disaat berikutnya aku dalam persiapan berangkat melaksanakan ibadah Umroh ke Tanah Suci.
Alat untuk mengakses internetku rusak sejak sebelum sidang media sampai sekarang. Beberapa hari setelah Sidang Media Penobatan Tokoh Numera, 21 September 2017, barulah mengetahui aku terpilih sebagai Tokoh Patria 2017.
SEBAHAGIAN PESERTA SISMI17 MALAM PENOBATAN TOKOH DUNIA NUMERA 2017 |
Kukira hatiku sudah “bebal” menjadi batu. Pikiran terkunci oleh aplikasi yang sulit diformat ulang. Sudah terang benderang secara resmi dinyatakan, salah seorang yang akan dinobatkan sebagai tokoh, namun diriku tak jua “melahirkan” kegembiraan dan “kebanggaan.” Aku hanya merasa biasa dan tetap tak merasa ada “sesuatu” yang istimewa terjadi pada diriku. Demi Allah. Rasa itu sampai ke detik penobatan. Bahkan setelah penobatan.
Yang “merusuhkan” diriku dengan kabar itu hanyalah aku akan dibuat “sibuk.” Setiap kali untuk “hadir” di acara-acara resmi selalu harus berhadapan dengan diriku sendiri. Cara berpakaian! Berpakaian rapi, bercelana panjang dan bersepatu. Keseharianku tidaklah demikian.
Pakaian kebesaranku sebagai Pangeran Kegelapan ialah bert-shirt lusuh, celana pendek, bersandal jepit, rambut tak disisir. Santai dan tak formal. Tidur di bangku kedai, di palanta berlantai papan, di sembarang tempat. Tidak di kamar setaraf hotel berbintang, bertarif mahal.
Di situasi semacam ini, aku “dipaksa” harus beli kemeja, celana panjang dan minyak rambut. Aduh. Berkostum demikian diantara orang-orang ramai, ada saja rasa serba salah. Menjadi “kucing jinak.” Penuh “pertimbangan.” Kadang “pengorbanan” dan “berelahati” tidak selalu “menciderai” namun mesti ditempuh dilalui sebagai pengalaman-pengalaman, memperkaya “keterhubungan.”
Terlepas daripada persoalan yang kuhadapi tersebut, Numera Malaysia sendiri memang patut digarisbawahi, salah satu organisasi pemberi perhatian besar kepada sastra Melayu di nusantara. Sejak mula penubuhannya (pendiriannya) ia langsung masuk ke dalam tataran bertaraf internasional. Antar bangsa, terutama Negara-negara “serumpun.”
Selain “pergerakan” aktifitasnya pada sastra Melayu itu, mengikuti aktifitas Numera sampai sekarang, ada hal terpenting mendorong perhantianku agak lebih. Mungkin hal ini belum (tidak) dilihat sebagai suatu yang serius dan patut dihargai. Numera selalu memberi ruang untuk pertumbuhan generasi sastra. Pertumbuhan itu direalisasikan dengan menampilkan personal “muda” untuk naik ke “pentas” kesastraan dengan cara “terhormat.”
Ada banyak forum dan peristiwa sastra diselenggarakan di berbagai tempat tapi mayoritas “wajahnya” itu ke itu saja. Seakan “panggung” terhormat hanya dikuasai oleh senioritas. Sedangkan kalangan sastrawan, akademisi dan pemerhati “baru” tidak memiliki kesempatan untuk “bicara.”
Numera telah “mendobrak” segala “keangkuhan” yang diciptakan itu. Dengan berani membukakan “pintu” kesempatan bagi kalangan baru untuk tampil ke depan. Hasilnya tidaklah mengecewakan. Telah memberikan “angin segar” bagi kehidupan sastra di nusantara.
Bagiku Numera tidak hanya sebagai motivator tapi juga fasilitator untuk melakukan perubahan dengan berlandaskan kepada budaya Melayu. Bahasa dan sastra. Jika kemudian ada yang melihat Numera menyikapi isyu-isyu global dan berjuang “keras” menegakkukuh bahasa Melayu di tanah Melayu, patut pula diapresiasi tanpa mengesampingkannya.
Namun “sokonganku” turutserta kepada kegiatan Numera lebih tersebab bersetuju kepada hakikat nilai-nilai “pertumbuhan, perkembangan dan pelestarian” terhadap regenerasi budaya Melayu. Tidak kepada yang kuanggap hanya menghabiskan enersi memasuki “permainan global.”
Aku bersetuju dan menyokong, membuat setiap gerakan menghadapi situasi “kerusakan” yang terjadi pada masyarakat nusantara dan dunia global. Dimana kedudukan ekonomi, politik dan perdagangan kian dirasakan menjauh dari kebudayaan, merusak simpul-simpul ikatan tatanan social dan tradisi. Hanya saja, “aku tidak akan ikut bersama” dengan bentuk-bentuk “perlawanan” seperti umumnya “dikobarkan” dimana-mana di berbagai belahan bumi.
Aku akan sependapat, kalau menghadapi “keprihatinan” dengan jalan “mengoreksi” diri sendiri serta “memperbaiki” persiapan generasi. Sebab, aku lebih mengacu kepada mamangan orang negeri Minangkabau, leluhurku, “sasek di ujuang jalan, baliak ka pangka jalan.”
Masyarakat kita harus “disadarkan” terlalu banyak terjebak kepada hal “menyesatkan.” Karenanya mulailah dengan sederhana “menelisik, memandang, mempelajari, memahami dan menjadikan” kebudayaan dari warisan leluhur di negeri leluhur sendiri, untuk memperbaiki ketentraman “kehidupan” dunia. Beradat dan beradab.
Kehidupan kini sudah terasa sesak dengan pemimpin dan tokoh-tokoh penuh intrik dan politik. Dunia membutuhkan perkawinan yang beradab, persetubuhan halal, kehamilan sehat, melahirkan alamiah, mengasuh bayi dengan proses, memberikan pendidikan bertanggungjawab, menciptakan pengajaran bermoral sesuai dan berimbang. Supaya nanti yang ada di depan kita adalah manusia, pemimpin, tokoh dan masyarakat; berotot kawat keimanan relegius, bertulang baja berkebudayaan, berotak kecerdasan ilmu pengetahuan, “membangun” dengan ilmu teknologi tetapi memiliki “hati nurani.”
Kehadiran seorang tokoh pemimpin pemerintahan daerah, Drs. H. Nadjmi Adhani, M.Si, pada peristiwa sastera oleh Numera ini, setidaknya patut dicatat suatu hal berharga memberi “pencerahan” terhadap pandanganku di atas.
Nadjmi Adhani, Walikota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, khusus datang dari Indonesia, mengikuti “Seminar Internasional Sastera Melayu Islam.” Diikuti sastrawan, akademisi, pemerhati, dari Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan Bangladesh.
Selain menjadi peserta, Nadjmi Adhani dari awal mula, sudah diberitahu panitia seminar dan Numera, diberikan kehormatan untuk memasangkan “tanjak” (songkok kehormatan budaya Melayu) menandai penobatanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017, satu dari empat tokoh yang dinobatkan di Dewan Al-Ghazali, Masjid Abdul Rahman Bin Auf, Kuala Lumpur, pada malam 29 September 2017.
Penobatanku ini sebagai Tokoh Patria 2017, dipilih karena dinilai “salah seorang” telah memberikan dedikasi, berkarya, apresiasi dan motivasi, memartabatkan sastera Melayu dalam beberapa tahun terakhir ini.
Sebelum keberangkatan menuju Kuala Lumpur, Presiden Numera, memberitahu agar keempat tokoh Numera menyiapkan pidato maksimal 10 menit. Aku “ingkar” tak dapat menulis pidato sampai pada detik penobatan. Karena tak tahu apa yang harus kusampaikan.
ABRAR KHAIRUL IKHIRMA PIDATO PENOBATAN TOKOH PATRIA NUMERA 2017 |
Tiba pada giliranku maju ke podium selesai penobatan, aku pun berpidato melalui mikrofon. Walau pun spontanitas seketika itu saja, setidaknya kali ini rasanya masih dapat kutuliskan kira-kira hal inilah yang kusampaikan;
“Ada banyak orang mengambil perhatian besar kepada kegiatan-kegiatan Numera selama ini, sejak Numera ditubuhkan (didirikan), disadari atau tidak. Merekalah yang patut menerima penghargaan ini. Semoga di lain masa, orang-orang itu juga mendapatkan penghargaan yang sama dan jauh lebih baik dari apa yang saya peroleh kali ini. Amin.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada Numera, saya kira, saya belumlah patut menerima penghargaan ini, karena sayalah seharusnya berkewajiban mengucapkan terimakasih kepada Numera. Karena Numera telah membangunkan sebuah jembatan untuk saya, pertamakali, menjejak tanah semenanjung Melayu ini.
Kepada yang berhormat Numera Malaysia, teman-teman sastra Malaysia, teman-teman sastra senusantara, pada hari ini dengan sukacita saya terima penobatan sebagai Tokoh Patria Numera 2017, semoga tidak menjadikan saya sebagai manusia yang sombong.
Kau tak akan mengerti
Bagaimana kesepianku
Menghadapi kemerdekaan
Tanpa cinta
Kau tak akan mengerti
Bagaimana lukaku
Karena cinta telah sembunyikan
Pisaunya
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah kecemasan dan ketakutan
Kau racun bagi darahku
Bila aku kangen
Aku bagai tungku tanpa api.
Sajak Kangen, W.S. Rendra. Terimakasih.”
Turun dari podium selesai pidato, aku menuju ke salahsatu kursi diantara hadirin. Aku tak ingat apakah ada tepuk tangan atau ucapan selamat untukku. Aku hanya tahu, diliputi rasa heran kepada diriku sendiri. Kemudian, Dato’ Ahmad Khamal Abdullah menyerahkan amplop berisi uang, penyertaan dari penobatan. Aku menerimanya tapi aku tak akan menggunakan uang itu untuk kebutuhan pribadiku. Uang itu akan kukembalikan lagi kepada sastra.
Insyaallah untuk biaya menerbitkan buku, berjudul, “Jembatan Emas Sastra Nusantara: Numera,” yang sudah mulai kutulis sejak awal tahun 2017, jauh sebelum dipilih untuk dinobatkan sebagai Tokoh Patria Numera (*) copyright: abrar khairul ikhirma – kuala lumpur – padang – sept – okt - 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar