Hari kedua di Melaka, aku dibawa oleh
pasangan suami-isteri, Sutan Chairulsyah Abdul Wasli-Lily Siti Multatuliana,
jalan-jalan ke Kampung Duyong. Tujuan pertama, ia menghantarkan aku ke sebuah
masjid tua yakni, Masjid Duyong.
Kampung Duyong konon merupakan sebuah perkampungan Melayu
tertua di Melaka. Karenanya kawasan ini merupakan daerah bersejarah. Kini
pelancong yang berdatangan ke Negeri Melaka tak melewatkan kesempatan untuk
mendatangi Kampung Duyong.
Aku beruntung diajak untuk pertamakali mendatangi kampung
ini. Meskipun Kampung Duyong sudah tidak lagi berwajah kampung. Sudah terjadi
pembangunan sesuai dengan perkembangan zaman. Sesuai dengan pertambahan
penduduknya. Kini kawasan ini tertata dengan rapi. Bersih dan semua jalan
penghubung mudah diakses.
Menurut kisah yang dipercaya, Kampung Duyong keistimewaannya
karena pada zaman dahulu merupakan kampung kelahiran Laksamana Hang Tuah yang disebut sebagai Pahlawan
Melayu. Hang Tuah dan saudara-saudaranya dibesarkan di sini.
Salah satu “bukti” sampai saat ini terdapat sebuah perigi
atau sumur yang dinamakan “Perigi Hang Tuah” di Kampung Duyong. Sumur ini konon
digali sendiri oleh Hang Tuah untuk kebutuhan air sehari-hari keluarganya.
Sampai kini sumur ini dipelihara sebagai salah satu objek wisata.
Selain perigi Hang Tuah, Masjid Duyong merupakan peninggalan
dari masa lalu yang berada di Kampung Duyong. Semula masjid ini hanyalah berupa
surau perkampungan Melayu. Tahun 1850 atas prakarsa Wan Chilek, masyarakat
bergotong-royong mendirikan tempat ibadah ini.
Sebagaimana umumnya masjid-masjid yang didirikan senantiasa
mengikuti seni bangunan masyarakat setempat di mana bangunan masjid berada.
Masjid Duyong pun demikian. Memiliki arsitektur berkait erat dengan masyarakat
Melayu. Terbuat dari bahan kayu dan bata merah. Atapnya menggunakan campuran
genteng dari Cina dan Belanda. Tahun 1967, atap dilakukan penggantian dengan
genteng yang baru.
Karena pertambahan dan perkembangan penduduk Kampung Duyong,
masjid ini telah dilakukan beberapakali perbaikan dan pengembangan. Sesuai
dengan kebutuhan sebagai sarana peribadatan. Salahsatunya pada tahun 1909
dilengkapi dengan pembangunan sebuah menara. Arsitekturnya mengesankan pagoda
yang menunjukkan hasil pengaruh seni bangunan Cina.
Karena kunjunganku hanya selintas saja, aku hanya turun dari
kendaraan, sekadar melihat-lihat dari luarnya saja. Kemudian memotret masjid
sebagai dokumentasi. Karena waktu sholat zhuhur belum masuk, jadinya kesempatan
mendatangi masjid ini, hanya sekadar melihat dan mengetahui. Bagiku hal
demikian sudah cukup. Meskipun tidak melihat dan bersholat di dalamnya. Yang
jelas, aku pernah mendatangi tempat ini.
Masjid Duyong di tahun 1982 pernah terbakar sebahagian
bangunannya. Kemudian dilakukan perbaikan dengan tetap mengikuti bentuk yang
lama. Masjid Duyong sejak tahun 2010 dinamakan sebagai Masjid Jamek Laksamana
Hang Tuah, Kampung Duyong (*) copyright: abrar khairul ikhirma –
Melaka – 15 September - 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar