“Walau mahal tapi tidak
bisa dibeli. Murah pun tak dapat diminta.” Mamangan orang
Minangkabau untuk menjelaskan pada sesuatu yang “bernilai” tinggi.
Selepas turun dari pentas dan podium Dewan Al-Ghazali,
Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, selesai penobatanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017, ditandai
pemasangan tanjak Melayu dan penyerahan plakat oleh Walikota Banjarbaru
Kalimantan Selatan, Drs. Nadjmi Adhani,
M.Si, yang mendapatkan kehormatan di malam Penobatan Tokoh Numera itu, aku kembali ke tempat dudukku semula.
Aku duduk satu meja bersama penyair dan akademisi, Dr. Ahmad Taufik, dari Universitas
Jember, salah seorang pembentang kertas kerja dalam Seminar Internasional Sastera Melayu (SISMI) yang diselenggarakan Persatuan
Sasterawan Numera Malaysia dan Masjid Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur, 28-30
September 2017.
Sambil mengikuti acara Malam Penobatan yang masih
berlangsung di panggung, aku didatangi Dr.
Fazilah Husin. Sang Doktor itu menyalamiku sambil mengucapkan tahniah, sementara di pangkuannya
terlihat dua buah kantong plastic.
Satu diantaranya ia berikan padaku sambil berkata, “Ini ada dua pic. Satu hadiah untukmu dan
satu lagi untukku. Ada yang menghadiahkan tapi ia tak ingin disebutkan
namanya.”
Aku mengucapkan terimakasih kepada Sang Doktor yang sudi
menghantarkan hadiah itu ke mejaku dan berharap menyampaikan terimakasihku pula
kepada “seseorang” yang tak hendak aku ketahui namanya itu. Alhamdulillah.
Sambutan yang sangat bernilai terhadapku, semoga keikhlasan selalu dilimpahkan
pada setiap langkah yang dilakukan. Terimakasih.
Padahal jauh sebelumnya, Dr Fazilah Husin jugalah yang
memberitahukanku, untuk dapat menjadi narasumber, ketika team kerja liputan “Bernama
Televisyen Chanel” Malaysia, mewawancaraiku sempena peristiwa Seminar
Internasional Sastera Melayu dan Penobatan Tokoh Numera 2017.
Dr Fazilah Husin, selain ikutserta memudahkan
keberlangsungan acara seminar dan penobatan, ia sendiri tampil di acara ini sebagai
salah seorang pembentang kertas kerja, di sesi lain ia menjadi moderator,
sekaligus juga tampil membacakan puisi bersama para penyair nusantara dari
Negara-negara peserta seminar pada sesi baca puisi.
Bahkan Fazilah senang hati ikut mendampingi peserta yang
datang dari luar Negara “melancong,” sampai pada malam penutupan di Cruise
Tasik, Putra Jaya. Padahal tentulah ia telah “merelakan” tinggalkan
pekerjaannya yang lain, termasuk urusan keluarganya. Patut diapresiasi.
Semula aku mengira bingkisan hadiah yang disampaikan lewat
tangan Fazilah Husin merupakan sebuah baju kemeja. Kiranya sehelai kain. Kain
itu dapat digunakan sebagai kain selempang atau selendang. Biasanya dipakai
perempuan sebagai pelengkap kostum.
Menurut hematku kain selempang ini, merupakan satu
“keluarga” seperti dengan tenunan khas
etnik Batak di Sumatera Utara disebut sebagai Ulos. Atau di Minangkabau dinamakan kain cindai, seperti juga hal yang sama dikenal dalam masyarakat
Melayu.
Kain serupa ini tidak hanya dipakai oleh kaum perempuan
tetapi juga oleh laki-laki. Biasanya dipakai dalam acara resmi, adat dan kini
mulai ramai terlihat di berbagai acara pertunjukan kesenian. Kalangan sastrawan
misalnya sebahagian besar memilikinya. Mereka tampil dengan style masing-masing
dengan hal unik dan etnik. Gejala menarik pabila ada yang hendak mencermatinya.
DR FAZILAH HUSIN |
Kain cindai yang dihadiahkan kepadaku ini tidak merupakan
hasil tenunan tradisionil, bukan hasil ketekunan para penenun tradisi yang
dikenal sebagai “buatan tangan.” Kain adalah hasil industry tekstil melalui
proses mesin pabrikan. Kemudian dipasarkan melalui jaringan perdagangan ke
berbagai segmen pasar. Menjadi pakaian sehari-hari, peristiwa kebudayaan,
pertunjukan kesenian maupun sebagai cenderamata atau persembahan dan hadiah.
Meskipun buatan pabrik tapi ada hal menggembirakan, ternyata
aku mengetahui melalui label yang terdapat di salah satu sudut kain yang
diberikan kepadaku, merupakan hasil industry tekstil dari Mumbai, India. Negeri yang sangat hafal namanya bagiku tapi belum
pernah kukunjungi.
India. Mengingatkanku kepada tokoh yang kuhormati Mahatma
Gandhi. Pejuang tanpa kekerasan. Seterusnya, “negeri yang dilindungi awan,” disebut dalam riwayat Rasulullah,
pun disebutkan tempat dimana diturunkannya Hawa ke dunia oleh Allah. 100 tahun
kemudian dipertemukan dengan Nabi Adam di Jabbal Rahmah, Padang Arafah, Arab
Saudi.
Oleh sebab itulah, aku dapat mengatakan perihal kain
“hadiah” pemberian “seseorang” dalam peristiwa sastra dunia selenggaraan Numera
Malaysia ini, bagiku seperti disebutkan mamangan
orang Minangkabau. Andaikan harganya mahal tapi tidak akan dapat dibeli
(dijual). Kalaupun murah (tidak berharga mahal/ kualitasnya rendah) tapi tidak
bisa diminta (diberikan).
Apalagi kuketahui, kain ini pun dapat kujadikan sebagai
sorban (*) copyright: abrar khairul ikhirma
Tulisan yang enak dibaca, serasa sahaya menerima pula kain itu. Terkenang suatu ketika di New Delhi, berkunjung ke dekat tempat abu Mahatma Gandhi ditaburkan .., sebuah taman yang indah, karena kesan terhadap orang yang dikenang melalui taman itu.
BalasHapus