Tjong A Fie adalah seorang pengusaha,
bankir dan kapitan, berasal dari Tiongkok. Sukses membangun bisnis besar dalam
bidang perkebunan di Sumatera, Indonesia.
Aku orang yang tak banyak menghabiskan waktuku, membuka-buka
google pabila sedang memakai jaringan internet. Aku hanya akan membukanya,
pabila ada suatu data ingin kucari saja. Jadi banyak hal sebenarnya aku tidak
banyak tahu.
Saat berjalan-jalan dari Masjid Al-Mashun atau dikenali juga
sebagai Masjid Raya Medan, menuju arah Medan Walk, aku membaca papan penunjuk
jalan, “Rumah Tjong A Fie. Aku bertanya-tanya sendiri, siapakah Tjong A. Fie.
Bagiku, nama itu terasa baru. Tapi aku memahami, kalau tidak suatu hal yang
penting, tentu tidak akan ada nama itu tercantum dijadikan sebagai petunjuk
jalan.
Selama ini yang kutahu hanyalah, cerita-cerita banyak teman
bahwa di Kota Medan, ada sebuah jalan ketika sore hari ditutup. Lalu jalan itu
dijadikan tempat orang bersantai menikmati makanan dan minuman. Pengelolaannya
dinilai sangat baik. Tidak ada iri hati sesame pedagang, ketika di tempatnya
orang duduk tapi memesan makanan dari pedagang di sebelahnya.
Jalan itu Jalan Kesawan. Jalan yang tak jauh dari Lapangan
Merdeka. Tapi masa aku berkesempatan mendatangi Kota Medan, kisah bersantai di
Jalan Kesawan tak kutemui lagi. Kegiatan serupa itu sudah dipindah ke Lapangan
Merdeka. Ada yang menamakan Merdeka Walk dan ada banyak orang menyebutnya Medan
Walk.
Jalan Kesawan itu mengingatkanku akan nama sebuah bank.
Kawasan ini dan sekitarnya sampai kini masih terdapat bangunan tua. Peninggalan
dari masa silam Kota Medan yang memang sudah mengalami masa kemajuan sejak
lama. Bagiku berada di dalam suatu kawasan kota lama, memberikan suatu kepuasan
tersendiri. Aku menyukai arsitekturnya dan suasana zaman lama.
Dilain waktu, barulah aku mengetahui bahwa Tjong A Fie,
kelahiran Guangdong 1860. Tjong berhasil membangun bisnis besar dalam bidang
perkebunan di Sumatera. Konon lebih dari 10.000 orang dipekerjakannya sebagai
karyawan. Karena hal itu, ia dekat dengan para kaum terpandang di Medan,
diantara Sultan Deli, Ma’moen Al Rasyid serta penjabat-penjabat colonial
Belanda.
Tjong seorang Tionghoa perantauan. Ia datang ke Medan,
Hindia Belanda, dalam usia 18 tahun, mengikuti jejak saudaranya. Mereka terlahir
dari keluarga sederhana. Ia cerdas dan pandai bergaul tidak hanya di kalangan
Tionghoa tapi juga dengan Melayu, Arab, India dan orang Belanda. Tjong
menguasai bidang ekonomi dan politik. Dia telah memiliki kerajaan bisnis,
perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, bank dan perusahaan kereta
api.
Tjong A Fie belajar berbicara dengan bahasa Melayu yang
menjadi bahasa perantara masyarakat di tanah Deli. Tjong A Fie tumbuh menjadi
sosok yang tangguh, menjauhi candu, judi, mabuk-mabukan dan pelacuran. Ia
menjadi teladan dan menampilkan watak kepemimpinan yang sangat menonjol.
Berjalan kaki disiang hari, di tengah kesibukan
Kota Medan terasa suasana menggembirakan. Berjalan di depan pertokoan dan
perkantoran. Menelisik bangunan-bangunan tua. Hingga akhirnya, aku menemukan
sebuah bangunan dengan memiliki gapura di bahagian depan. Rumah Cina lama.
Rumah besar. Inilah yang dimaksudkan dengan Rumah Tjong A Fie.
Segera saja aku menyeberang jalan. Pintu
gapuranya terbuka. Halaman yang bersih. Tidak ada yang menjaga pintu masuk.
Tempat itu jauh terbalik dengan suasana kesibukan kota. Tempat yang boleh
dikatakan senyap. Bangunan besar itu dengan halaman terbilang luas, membuat
nyaman untuk bersantai di tempat ini.
Kiranya setelah di dalam, setelah berada di bahagian
teras depan yang panjang, tahulah aku bahwa tempat itu merupakan sebuah museum
yang terbuka untuk umum. Ada dua orang petugasnya, dua orang perempuan lagi
bercakap-cakap di bahagian sudut. Keduanya ramah menyambut kedatanganku. Aku
menanyakan beberapa hal. Jawabannya memuaskan.
Kedatanganku tidak untuk sepenuhnya menelusuri
bahagian apa saja yang dipamerkan kepada pengunjung. Karenanya, aku sampaikan
bahwa kapan-kapan nanti, aku baru akan masuk. Setiap pengunjung dikenakan biaya
masuk untuk menanggulangi biaya perawatan yang tinggi oleh pengelolanya.
Walau pun aku berada di Rumah Tjong A Fie
berjam-jam, aku hanya duduk-duduk di bangku lama yang ditempatkan di teras
bangunan besar itu. Udara siang Kota Medan mulai meniupkan rasa panas, di
tempat ini aku merasa sejuk dan tenang.
Tjong A Fie sangat berjasa dalam membangun kota
Medan, dimana masih bernama Deli Tua. Beberapa jasanya dalam usaha
mengembangkan kota Medan adalah menyumbangkan menara lonceng untuk Gedung Balai
Kota Medan yang lama, pembangunan Istana
Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Budha di Brayan, Kuil Hindu
untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan yang
terletak di Jalan Zainul Arifin serta mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama
di Medan bernama Tjie On Jie Jan. Menjadi pelopor industri perkebunan dan
transportasi kereta api pertama di Sumatera Utara yakni Deli Spoorweg Maatschappi (DSM), menghubungkan kota Medan dengan
pelabuhan Belawan.
Tjong A Fie dikenal dermawan dan sangat dekat
dengan masyarakat pribumi dan Tionghoa. Sebagai dermawan, ia banyak menyumbang
untuk warga yang kurang mampu. Sangat menghormati warga Muslim, bahkan berperan
serta dalam mendirikan tempat ibadah yakni Masjid
Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok serta ikut merayakan hari-hari besar
keagamaan bersama mereka.
Dalam suasana bersantai di kursi di teras Rumah
Tjong A Fie, datanglah serombongan pelancong asing. Ada sekitar 20 orang.
Mereka memasuki halaman rumah dengan dipandu guide biro perjalanannya. Hampir
semuanya terkagum-kagum menatap dan mendokumentasikan arsitektur bangunan Rumah
Tjong A Fie. Rumah ini merupakan bangunan yang didesain multicultural. Memiliki
corak gaya arsitektur Tionghoa, Eropa, Melayu dan art-deco saling berpadu.
Bangunan kediaman Tjong A Fie ini terletak di
Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, yang dibangun pada tahun 1900, saat ini
dijadikan sebagai Tjong A Fie Memorial Institute dan dikenal juga dengan
nama Rumah Tjong A Fie. Rumah ini dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009 untuk
memperingati ulang tahun Tjong A Fie yang ke-150.
Di rumah ini, pengunjung bisa mengetahui sejarah
kehidupan Tjong A Fie lewat foto-foto, lukisan serta perabotan rumah yang
digunakan oleh keluarganya serta mempelajari budaya Melayu-Tionghoa.
Nama Tjong A Fie pernah akan dijadikan sebagai
nama sebuah jalan di kota Medan, tapi dibatalkan dan jalan itu menjadi Jalan
K.H. Ahmad Dahlan. Karena sifatnya yang dermawan dan toleran tanpa
membeda-bedakan bangsa, ras, agama dan asal usul.
Tjong A Fie tidak sekadar pebisnis, diapun
diangkat pemerintahan colonial tahun 1911 sebagai "Kapitan Tionghoa" (Majoor der Chineezen)
untuk memimpin komunitas Tionghoa di Medan, menggantikan kakaknya, Tjong Yong
Hian yang wafat. Dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie
menjadi anggota gemeenteraad (dewan kota) dan cultuurraad (dewan
kebudayaan) selain menjabat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk
urusan Tiongkok.
Empat bulan sebelum menghembuskan napas terakhir,
Tjong A Fie mewasiatkan seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera
kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada
saat ia wafat. Ia menuliskan permintaanya agar yayasan tersebut memberikan
bantuan keuangan kepada pemuda berbakat dan berkelakuan baik dan ingin
menyelesaikan pendidikannya, tanpa membedakan kebangsaan. Membantu yang tidak
mampu bekerja dengan baik karena cacat serta
para korban bencana alam tanpa memandang kebangsaan dan etnis.
Tjong A Fie tutup usia pada tanggal 4 Februari
1921 karena menderita apopleksia atau pendarahan otak. Seluruh kota Medan turut
berduka. Ribuan orang pelayat berdatangan, dari kota Medan, Sumatera Timur,
Aceh, Padang, Penang, Malaya, Singapura dan Pulau Jawa. Prosesi Pemakaman Tjong
A Fie berlangsung dengan megah sesuai dengan tradisi dan jabatannya (*) bahan
dari Rumah Tjong A Fie dan Wikipedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar