Meninggalkan Kota Bengkulu, setelah berkunjung
dalam tahun 2013 silam, barulah aku mengetahui bahwa kota ini, juga memiliki
situs sejarah jejak keberadaan Inggris selain Benteng Fort Marlborough yang sering kukunjungi.
Pada kesempatan berkunjung tahun 2017 ini di Kota Bengkulu,
setelah sarapan, aku segera meninggalkan rumah tempat menginapku di Malabro.
Tujuanku berkeliling kota, untuk dapat menemukan “sesuatu” yang menarik.
Sesungguhnya, aku tak mengenal jalan-jalan dalam Kota Bengkulu. Kalaupun aku
sudah melewati tapi aku termasuk sukar untuk menghafalnya. Namun hal itu tidak
menyulitkanku. Meskipun tablet sebagai alat untuk membuka internet yang
kumiliki, tehenti mendadak. Tidak dapat digunakan sejak 2 hari ini.
Kadang jauh lebih menarik, melakukan keliling kota dengan
serba tidak tahu dan tidak memiliki alat pandu, dalam keadaan seorang diri.
Yang aku yakini, kalau pun aku tersesat, tidak terlalu sulit untuk dapat
kembali ke rumah. Karena Kota Bengkulu, sebenarnya masyarakatnya mudah untuk
membantu memberi petunjuk arah jalan.
Yang membuat aku menggerutu dalam hati, beberapa hari ini
aku hendak melihat lagi Rumah Pengasingan Bung Karno, saat Presiden Republik
Indonesia ini “dibuang” ke Bengkulu. Aku sudah pernah ke sana waktu tahun 2013.
Setelah itu hanya sekadar melintas saja. Yang kutahu arah jalannya dari Simpang
Lima, kalau lagi berada di jalan protocol Soeprapto. Tetapi aku ingin ke sana
dari arah Malabro, karena terbilang dekat. Nyatanya beberapakali kucoba tak
pernah kutemukan mana jalannya.
Setelah bersantai sepanjang jalan yang menyisir Pantai
Panjang, melakukan sejumlah pemotretan karena cahaya matahari pagi sangat
cerah. Aku kembali mengarah dimana arah kawasan yang disebut sebagai “Persada
Bung Karno.” Kadang aku masuk ke dalam gang rumah penduduk. Kadang setelah
kulalui jalan-jalan penghubung, aku malah berbalik arah.
Pada satu ruas jalan yang lain, aku terpedaya melihat suatu
bangunan lama nun di sana. Ketika berhenti di depan bangunan itu, rupanya
bangunan beton itu tidak menarik untuk kupotret. Aku merasa hanya kesan
bangunan lama tapi kelihatannya bangunan baru. Pun aku kira bangunan itu pun
tidaklah bangunan bersejarah penting benar.
Aku berhenti di jalan yang berkontur tanjakan dan menikung.
Saat aku hendak meninggalkan tempat itu, aku menoleh ke arah kanan. Tahu-tahu
pandanganku bertumbuk dengan gapura putih yang sudah mulai tidak putih.
Terlihat seorang pekerja di atas tangga, entah apa yang sedang diperbaikinya.
Alamaak!!! Aku bersorak, karena kubaca tulisan di gapura itu “Makam Inggris.”
Padahal hari ini aku tidak bertujuan untuk mencari Makam
Inggris ini. Aku hendak ke Rumah Bung Karno. Namun ketika hari sudah berangkat
siang, aku justru tersesat ke Makam Inggris yang sudah masuk dalam agendaku sejak
lama ingin kukunjungi.
Kompleks Pemakaman Inggris terletak di Jl.Veteran, Kelurahan
Jitra, Kota Bengkulu. Merupakan komplek pemakaman tua. Pemakaman Kristen yang
merupakan makam Inggris terbesar di Asia Tenggara. Obyek wisata ini merupakan
saksi sejarah bahwa kota Bengkulu dan Inggris mempunyai hubungan sejarah di
masa lalu. Selain itu adanya Benteng Fort Marlborough. Diperkirakan jarak makam
dengan benteng kira 800 meter.
Kesempatan “tersesat” ini aku gunakan untuk masuk ke dalam
komplek pemakaman, melalui pintu gapura. Situasi areal pemakaman, aku lihat
dalam keadaan bersih. Tak obahnya ruang terbuka berupa taman. Tampaknya
pemakaman saat kedatanganku ini, ada proyek perbaikan. Apa yang diperbaiki aku
tidak tahu. Sebab ada 2-3 pekerja terlihat di sana.
Selain memperhatikan batu-batu nisan makam yang ada, aku
melihat juga ada “kehidupan” di makam itu yakni, ada yang bertempat tinggal di
sana. Sebab aku lihat, ada jemuran cucian pakaian dan sepeda mainan anak-anak.
Tak jauh dari sana, di bawah pohon pelindung yang ada dalam makam, ada kursi
plastic. Terlihat ada sepasang muda mudi di sana.
Tampaknya, sama saja dengan objek-objek peninggalan sejarah
dan budaya dimana-mana. Selalu “terabaikan” tanpa benar-benar dalam pengawasan.
Meskipun ada sebuah papan keterangan yang menyatakan bahwa ini di bawah
pengelolaan dan pengawasan pemerintah. Sebab, tak dapat dipungkiri ada
makam-makam dibiarkan rusak atau dirusak, termasuk kehadiran bangunan yang
terasa “ganjil.”
Menurut catatan, dalam komplek makam ini terdapat banyak
makam para tokoh penguasa Inggris yang pernah menguasai Bengkulu pada tahun
1775 sampai tahun 1940. Diantaranya adalah McDouglas, Parker, Hutchinson dan
Mclean.
Inggris pernah menjajah Indonesia pada tahun 1650 dan
Bengkulu merupakan pusat pemerintahan kolonialis. Tentara Inggris maupun warga
sipil yang meninggal dikuburkan di Bengkulu di pemakaman Inggris ini.
Dikabarkan lahan Makam Inggris ini ada seluas 4,5 hektar.
Tetapi dalam pandangan kasat mataku, apa tidak salah angka yang disebutkan itu.
Sebab, saat kunjunganku ini, aku malah berpendapat, kenyataannya seakan-akan
makam ini hendak disingkirkan dari tempat itu, walaupun dikatakan sebagai situs
bersejarah yang patut dilindungi. Kemana lahan yang luas itu ???
Aku memperkirakan sendiri, lahan yang luas itu telah
“dirampok” untuk kepentingan mendirikan bangunan lain. Meskipun bangunan
tersebut adalah bangunan pemerintah juga, ini suatu hal yang membuktikan
pemegang kebijakan di daerah hanya ingin “senang” dan “gampang” untuk membangun
fasilitas baru. Tidak perlu “susah” menempatkan dengan mencari lahan “baru”
yang tidak merusak. Dimanakah letaknya kepatuhan kepada undang-undang itu ?
Saat aku mengelilingi jalan di sisi bahagian belakangnya,
aku melihat lagi terpisah dari lokasi semula, berupa makam di depan sebuah
bangunan. Kalau tidak salah itu bangunan kantor agama. Nah… berarti bangunan
itu mana yang lebih tua dibandingkan dengan makam di depannya?
Komplek makam ini disebut-sebut sebagai yang terbesar di
Asia Tenggara. Konon pernah ada sekitar 1.000 batu nisan yang berbentuk
artistic monumental dalam berbagai ukuran terdapat di sini. Sayang jumlah 1.000
itu dipastikan tidak seribu lagi. Siapa yang bertanggungjawab. Mungkinkah kita
selalu menyalahkan pemerintah pusat dalam hal kerusakan di daerah serupa ini,
sedang apa peranan kita sebenarnya di daerah, di depan mata kita ???
Esoknya, aku pun mendatangi tempat ini lagi. Mengulang
sesuatu yang tertinggal.(*) copyright:
abrar khairul ikhirma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar