Setiap pagi dan petang, tak pernah
bosan untuk berjalan kaki dari Malabro ke kawasan benteng Fort Marlborough,
peninggalan Inggris. Hingga berakhir di Tapak Paderi.
Seperti biasanya, bila berada di Kota Bengkulu, aku senang berjalan
kaki sendirian. Suasana kawasan lama kota ini tidak ramai, sehingga aku cepat
akrab dengan “kesenyapannya.”
Pada waktu pertamakali aku menjejak dan mengenal bukit kecil
Tapak Paderi, aku bertanya-tanya sendiri, kenapa ada kata Paderi di sini. Paderi
setahuku erat dengan perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau. Tidak di
Bengkulu.
Tidak ada petunjuk dan keterangan yang kudapatkan perihal
nama Tapak Paderi. Karena di bukit kecil itu tak ada kudapati prasasti atau
benda-benda berusia lama. Hanya tumbuhan menjulang membentuk kerindangan. Lalu
di bahagian puncak bukit yang sudah terbentuk datar, di tengah-tengahnya ada
dibangun berkesan seperti kaki untuk tiang bendera.
Setelah beberapakali berkunjung ke Bengkulu, berkesempatan
mengulang kembali untuk ke Makam Pahlawan Sentot Alibasyah, beberapa kilometer
dari Tapak Paderi, aku seperti diingatkan akan pertanyaan yang pernah muncul di
kepalaku saat pertamakali berada di Tapak Paderi dulu, kenapa bukit itu bernama
Tapak Paderi.
Lantas aku dapat
memafhuminya. Ya. Aku saja yang merangkai dan menghubungkan sendiri, pastilah
berkait dengan Sentot Alibasyah. Sentot Alibasyah adalah seorang panglima
perang pendukung Pangeran Diponegoro, pada perang Diponegoro (1825-1830).
TAPAK PADERI DARI ARAH LAUT |
Setelah kekalahan
Pangeran Diponegoro, Sentot dan para pengikutnya dimanfaatkan oleh Belanda
untuk memerangi kaum Paderi di Sumatera Barat. Karena dianggap bersimpati
terhadap perjuangan kaum Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol, akhirnya Sentot
Alibasyah dibuang hingga akhir hayatnya di Bengkulu. Makam Sentot Alibasyah
berlokasi di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara.
Tapak Paderi berada tak jauh dari Benteng Fort Marlborough.
Berada di tepian pantai. Bersebelahan dengan kawasan bernama Pondok Besi. Kini
kawasan ini dijadikan sebagai salah satu objek wisata. Ramai bila petang hari
warga kota Bengkulu, terutama kaum muda-mudi bersantai di sini.
Dari percakapan dengan sejumlah orangtua yang sudah lama
bermukim di Kota Bengkulu, saat aku tanyakan kenapa bernama Tapak Paderi,
ternyata dugaan yang kurangkai sendiri hampir berdekatan dengan cerita mereka.
Konon pada masa Bengkulu dikuasai penjajah Belanda, Tapak
Paderi merupakan tempat mendaratnya kapal-kapal yang membawa kaum Paderi dari
Minangkabau (Padang, Sumatera Barat) yang diasingkan Belanda ke Bengkulu. Sejak
itu, masyarakat jika menyebut bukit dekat pantai itu dengan nama Tapak Paderi.
TAPAK PADERI TAHUN 2013 |
Setiap berjalan kaki dari arah Malabro, menyisir kawasan
kota lama atau melalui jalur tepi pantai, langkahku akan berakhir di Tapak
Paderi. Di kaki bukit Tapak Paderi arah Pondok Besi, aku senang memperhatikan
pembuatan perahu-perahu dan kapal-kapal kecil berbahan kayu untuk nelayan.
Selain pembuatan perahu, satu dua perahu nelayan yang tidak melaut, berjejer di
atas pasir.
Menurut cerita sejumlah orang, sebelum dilakukan
revitalisasi pantai dan sebelum dibangunnya kolam buatan dari bekas pelabuhan,
disekitar Tapak Paderi dulunya terdapat terowongan peninggalan masa penjajahan.
Salah satu ruas terowongan terus ke rumah dinas Gubernur (*) copyright: abrar khairul ikhirma, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar