18 tahun tak pernah bertemu,
berkomunikasi pun tidak. 2 tahun terakhirnya terhubung dengan fb, media social.
Setelah delapanbelas tahun yang berlalu, akhirnya kami bertemu pertamakali di
Bandara Internasional Minangkabau, satu flight
menuju satu tujuan: Kuala Lumpur, Malaysia.
BANDARA INTERNASIONAL MINANGKABAU |
Yang kuingat di tahun 1980-an silam, dalam situasi Sanggar
Pasamayan
Padang, berserakan suratkabar, majalah, buku, brosur dan kertas di sana
sini. Spanduk-spanduk bekas. Sampah. Puntung-puntung rokok. Pemandangan
sehari-hari, kumuh, lembab, nyamuk bergentayangan. Tidak hanya malam, juga
siang hari. Makanan kami sehari-hari di sanggar itu dengan selera sama, membaca
dan mengumpulkan berbagai bahan bacaan.
Sanggar itu memanfaatkan bangunan bekas stand pameran
industry, sisa dari areal Padang Fair tahun
1970-an, terletak di bahagian depan sudut arah utara Taman Budaya Padang, membelakang Jalan Diponegoro, berdampingan
dengan Jalan Pancasila. Itulah rumahku Sanggar Pasamayan, rumah kami berlima;
actor dan penggiat seni Asbon Budinan
Haza,teaterawan dan penyair Muhammad
Ibrahim Ilyas, pelukis dan penyair Asri
Rosdi,penyiar Fuaddy Chaidir Rosha
dan aku.
Diantara harta di rumah (sanggar) kami yang berserakan itulah,
aku menemukan buku tipis “Ngarai,”
kumpulan puisi Syarifuddin Arifin.
Kumpulan yang diterbitkan Kolase Kliq Jakarta tersebut, memuat sejumlah puisi
pendek-pendek. Tepatnya puisi-puisi spontan, lugas dan dengan kata pilihan.
Mungkin itulah pertamakali, aku benar-benar membaca karyanya
dengan intens. Karena berdasarkan puisi-puisi pada kumpulan Ngarai itu pula,
aku dapat menyimpulkan bahwa style
kepenulisan puisinya adalah pada puisi pendek. Sehingga ketika menemukan
sejumlah puisinya sekarang, yang sempat kubaca, terasa tidak menemukan
“dirinya.” Kekuatannya pada puisi pendek, karenanya menurutku ia “gagap” pada
puisi naratif dan balada.
Syarifuddin Arifin. Aku dan sebahagian besar mereka yang
mengenalnya di tahun 1980-an memanggilnya dengan Da If. Tidak asing bagiku.
Mula mengenal namanya di halaman Remaja Minggu Ini (RMI) asuhan
penyair Rusli Marzuki Saria, suratkabar
Harian Haluan. Koran tertua di
Sumatera yang didirikan A. Kasoema.
Berkantor di Jalan Damar, Kota Padang, Sumatera Barat.
Syarifuddin Arifin pada masa tahun 1980-an salah seorang
penulis RMI yang aktif. Dimasa itu suhu kreatifitas di Sumatera Barat
mempublikasikan karya di media cetak sangat kompetitif. Satu halaman suratkabar
disediakan satu kali sepekan, terasa sesak menampung karya penulis. Tumpukan
naskah cerpen, puisi dan artikel memenuhi meja redaktur di kantor redaksi.
Suatu kebanggaan, kalau tulisan berhasil “mengalahkan” karya yang lainnya belum
diterbitkan. Aku pun pernah tercatat sebagai salah seorang penulis di RMI
tersebut.
Sejak aku “bermukim” di Taman Budaya Padang ---kemudian
berubah nama menjadi Taman Budaya Sumatera Barat--- setahuku, meskipun
Syarifuddin Arifin pernah menerbitkan kumpulan puisinya, pada masa itu
terbilang langka penulis bukunya diterbitkan, namanya malah lebih dikenal
sebagai cerpenis, tidak sebagai
penyair.
Dia memang rajin untuk menulis cerita pendek dan
mempublikasikannya ke suratkabar. Bahkan beberapa cerpennya pernah memenangkan
sayembara. Diantara cerpen-cerpen itu, dikumpulkan dalam buku dan sudah diterbitkan. Kumpulan
cerita pendeknya, Bermula Dari Debu,
diterbitkan pada tahun 1986. Kemudian di tahun 1989, buku kumpulan cerpen
keduanya berjudul Gamang,
diterbitkan. Seingatku, buku kumpulan cerpen Gamang ini, pernah dihadiahkannya
untukku. Aku pun sempat menulis sedikit catatan perihal bukunya ini, untuk
dipublikasikan di suratkabar terbitan Padang.
Di tahun 1980-an sampai separuh awal tahun 1990-an, kami
sering bertemu walau pun tidak dalam kegiatan berkesenian. Aku bermukim di
Taman Budaya Padang dan Syarifuddin Arifin sehari-hari bekerja sebagai pegawai
di instansi pemerintah tersebut. Walau pun tidak rutin, namun diantara
hari-hari kehidupan di pusat kesenian itu, ada saja momen yang membuat kami
bertemu. Tentu saja kalau tidak saat sama-sama menikmati kopi di kedai kopi,
sudah pasti lagi duduk-duduk di bawah batang flamboyant tua, dimana hampir
setiap hari aku menjadi “penghuni” setia bawah pohon itu. Ada atau tidak ada
teman. Tidak dihitung siang atau pun malam. Bertahun-tahun lamanya.
Aku mengenal Syarifuddin Arifin dengan saudara-saudaranya.
Untuk satu masa, kemudian aku pernah sangat dekat dengan kakak sulungnya,
wartawan, penyair dan penggiat teater, Sjafrial Arifin. Kurang dari satu
tahun, aku bersamanya “berumah” di kamar 116 Inna Muara Hotel Padang. Tetapi hubunganku dengan kakak sulungnya
“berjarak” kemudian hari, tersebab aku tak berminat untuk bergabung dengan
kegiatannya di kesenian. Juga dengan kakaknya yang lain, Bachrum Rony Arifin,
pernah sama-sama bekerja di perusahaan suratkabar yang sama. Saat aku
“merantau” hidup di Jakarta, aku pun pernah “bermukim” satu masa di rumah
adiknya, Zulkarnaini Arifin, yang juga seorang wartawan.
Syarifuddin Arifin, lahir di Jakarta, 1 Juni 1956.
Berpendidikan STKIP Sumbar, Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Mengikuti
Lokakarya Penulisan Cerpen (1981) oleh Majalah Sastra Horison & Majalah
Kebudayaan Basis. Tulisannya dipublikasikan di berbagai media cetak (majalah
dan Koran) Jakarta dan Padang. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Indonesia
(BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di kelompok Bumi Padang, asuhan Wisran Hadi. Mengasuh dan menjadi
sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan, Padang. Mendirikan Sanggar
Penulisan MASA Padang (1984).
AHMAD TAUFIQ, A'YAT KHALILI, TERATAI ABADI SYARIFUDDIN ARIFIN, POUL NANGGANG & AKU. PENYAIR INDONESIA DAN MALAYSIA 2014 |
21 Maret 2014 perjumpaan kami setelah 18 tahun di pintu
masuk chek-in Bandara Internasional
Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia. Aku dan Syarifuddin Arifin akan terbang
dengan pesawat yang sama menuju Kuala Lumpur, dengan tujuan yang sama,
menghadiri Anugerah Puisi Dunia Numera, 21-24 Maret 2014 di Dewan Bahasa
Pustaka Kuala Lumpur. Kami berdua “terpilih” menerima anugerah diantara
sejumlah penyair Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam,
Belgia, Swedia dan Rusia.
“Mana puisi Arkhi,
Padang Sepanjang Jalan itu,” tiba-tiba saja Syarifuddin Arifin bertanya
padaku, saat berjalan menuju pintu boardingpass.
Padahal, kami tidak sedang bercakap-cakap mengenai puisi. Mengapa dia
menanyakan tiba-tiba ? Mengapa dia menanyakan puisi panjangku itu ? “Puisi itu
kan sudah wak bukukan dalam kumpulan
puisi, Sajak Penyair 15 Ribu,”
kataku, “Kenapa memang?” kataku balik bertanya. “Ambo sukolah jo puisi Arkhi tu…,” aku Syarifuddin, dia menyukai
karya puisiku yang ditanyakannya itu. Aku hanya merasa aneh saja, tidak tahu
apa maksud di balik semua hal itu.
Di pesawat terbang, kami duduk berdampingan. Dalam
penerbangan menuju Kuala Lumpur, aku berikan kepada Syarifuddin Arifin, dua eks
buku sederhanaku. Satu buku kumpulan puisi berjudul, Antara Bukik Punai. Satu lagi,
berjudul Izinkan Aku Bicara, buku berkait dengan penerimaan Anugerah
Puisi Dunia Numera 2014 yang sengaja aku tulis, susun dan diterbitkan.
Selama berada di Kuala Lumpur, kami menginap di Jeumpa d’Ramo di kawasan Bangsar.
Sekamar bertiga, aku, Syarifuddin Arifin dan Ahmad Taufiq. Syarifuddin
menghadiahkan aku buku kumpulan puisinya, Maling Kondang, terbitan Teras
Budaya Jakarta tahun 2012.
Selama berada di Kuala Lumpur, aku dan Syarifuddin Arifin
seperti mengulang kembali kebiasaanku “berteater spontan.” Apalagi dengan
kehadiran penyair Ahmad Taufiq dari Jember
dan A’yat Khalili dari Madura, Jawa
Timur, Indonesia, yang kemudian kukenal. Keduanya “segera” saja menjadi “media”
sebagai pengantar “celotehanku” berolok-olok seputar kurenah orang sastra dan
karya sastra. Tak kusadari apakah orang suka mendengarnya atau tidak. Aku tiada
sadar, keasyikan saja dengan dunia ekspresiku, meluapkan “cimeehku” dengan
suaraku yang keras, macam orang bertengkar.
Bisa jadi, hal semacam itu bangkit kembali dalam suasana
yang tepat. Bagi Syarifuddin Arifin styleku demikian tidaklah hal baru. Ketika
semua orang (seniman) sudah meninggalkan Taman Budaya Padang, dimana hampir
sepanjang hari pusat kesenian di tengah kota itu, seakan berubah menjadi
komplek pekuburan. Aku tetap “bertahan” sendirian hidup di sanggar, di sepetak
bangunan lapuk sudut bahagian depan Taman Budaya. Kesendirian diantara
kesunyian dan rasa lapar.
Di masa-masa situasi Taman Budaya itu, setiap petang hari
aku selalu dikunjungi uni Nita Indrawati Arifin, seorang
penulis dan kemudian menjadi wartawati. Terkadang Nita datang bersama penulis Indrawati
In. Di depan sanggar, di bawah langit terbuka, ada saja yang menjadi topic
percakapan kami. Biasanya yang selalu datang adalah Syarifuddin Arifin. Tekhnik
munculnya, dengan nada berseloroh berhiba-hiba agar Nita bersedia membelikan
minuman kopi setengah (cangkir kecil) dan setengah bungkus rokok. Setelah itu
ada saja olok-olok dan kata-kata satire diantara kami.
DI LCCT KINI KLIA2 KUALA LUMPUR, MALAYSIA |
Petang hari di depan “sarangku” itu adalah hari-hari
keakrabanku dengan Syarifuddin Arifin. Aku selalu menyebut dia, orang-orang
yang “mengintai” kedatangan Nita ke tempatku. Nita sendiri memang “dewa
penyelamat” bagi sejumlah orang pada masa itu. Dia selalu luluh hatinya, jika
kami belum makan, minum dan merokok. Seringkali dia menjadi donator bagi kami
serupa itu. Tidak terbalas jasanya sampai kini.
Sekali-kali turut bergabung teaterawan Muhammad Ibrahim Ilyas,
penyair Ade Soekma dan Zal Lambok ---Rizal Buyung. Yang jelas,
hampir setiap petang ada-ada saja yang “menjenguk” ke sarangku. Tak terbilang
apakah seniman junior atau seniman senior. Seakan-akan aku “penjaga kuburan”
yang harus ditemui. Jika aku tak ada di bawah pohon flamboyant ---tak jauh dari
pintu gerbang--- duduk bertapa, mereka pasti menuju bahagian sudut Taman Budaya,
menemukan dimana sarangku.
Jika sampai kini banyak orang mengenal Syarifuddin Arifin
tapi dapat dipastikan hanya kami bertiga ---aku, Muhammad Ibrahim Ilyas dan
Nita Indrawati Arifin--- saja yang tetap mengingat hal spesifik darinya. Kami
memanggilnya dengan “Da If” tapi jika sudah berseloroh terkadang dengan
panggilan akrab kami sebut dengan “Pudin.” Sebab kenapa ??? Ada saja di masa
lalu itu, saat di hadapan kami sewaktu-waktu ia akan berkata sendiri dengan
keluguannya, “Pudin…. Pudin…., kajadialah
ang ko.”
Entah bermaksud mengatakan kepada kami atau hanya gumamannya pada dirinya sendiri, akan jadi
apakah dia (*) copyright: abrar khairul ikhirma, agustus 2017
Ondeh mandeh, takana awak Jo maso lalu.
BalasHapusPadiah, sadiah, mamiliah, tapiliah, antahlah.
Ka jadi apo waang Puding....
Hahahaha