“Apakah nasib sudah berubah menjadi
suatu takdir?” Seketika pertanyaan itu terlintas menohok dalam pikiran nakalku,
setelah melewati pintu gapura dan memasuki halaman Taman Budaya Bengkulu.
Bagi kami yang beraktifitas berkesenian di Taman Budaya
Sumbar, nama Ilhamdi bukanlah nama yang asing. Beliau jebolan Bumi Teater
asuhan teaterawan Wisran Hadi. Semasa kuliah adalah salah seorang pendiri
kelompok teater Proklamator di Universitas Bung Hatta, Padang. Kemudian
membentuk Bojo Group di Taman Budaya. Lalu hijrah ke Bengkulu. Bekerja sebagai
pegawai di Taman Budaya Bengkulu. Mendirikan kelompok Teater Alam. Beberapa
tahun terakhir ini, dia bersolo karier. Ilhamdi memilih jalan sebagai Monologer
setelah menetap di Jakarta.
Kedatanganku ke Bengkulu pertamakali itu bersama teaterawan
Sumatera Barat (Sumbar) A. Alin De.
Kami berdua diundang untuk menyaksikan pementasan Teater Alam Bengkulu, yang
disutradarai Ilhamdi Sulaiman. Dipentaskan di Taman Budaya Bengkulu. Dimana
kelompok teater ini beranggotakan orang-orang muda berbakat, berstatus pelajar
di sekolah menengah. Malam pementasan, gedung pertunjukan ramai penonton. Tidak
mengecewakan.
Yang kuingat waktu itu, pada waktu siang esoknya,
berkesempatan sendirian mencapai beberapa titik lokasi dalam areal taman. Arena
teater terbuka yang tak terawat. Ada tumbuhan ilalang di sana sini. Lalu
lingkungan yang sangat minim dengan tumbuhan. Dalam hatiku saat itu, memang
inilah ciri khas yang benar pada Taman Budaya kita dan sarana-sarana kesenian
pada umumnya. Tidak terawat dan tidak terurus.
Entah hanya bercanda atau memang begitu adanya, ada
seseorang waktu itu yang mengatakan padaku, pada waktu malam hari, di semak
belukar di arena Teater Terbuka itu, terlihat serombongan babi liar. Aku
menjawabnya dengan bercanda, “Jangan-jangan babi itu juga ingin berbudaya.”
Sudah demikian, ketersediaan lampu penerang pusat kebudayaan
itu sudah dapat diterka. Pada malam hari lebih banyak gelap gulita. Apalagi
kalau kegiatan kesenian tidak pernah dilangsungkan setiap saat. Kita pun tahu,
pada umumnya, pertunjukan-pertunjukan kesenian diselenggarakan pada malam hari.
Untuk Taman Budaya Bengkulu, menurutku saja pada situasi di
tahun 1992 itu, hanya Gedung Pertunjukan yang terletak di bahagian depan itu
sajalah yang menjadi “harta” sebagai fasilitas bagi mereka yang ingin
menyelenggarakan pertunjukan kesenian. Gedung itu mungkin masih belum terlalu
lama dibangun, sehingga kelihatannya masih baik-baik saja. Walaupun ada di
beberapa bahagian mengalami kerusakan.
KUNJUNGAN TAHUN 2013 |
Pada beberapa petang hari, kami yang menginap di salahsatu
rumah di Tanah Tumbuh, berjalan kaki ke Jalan Padang Harapan dimana Taman
Budaya Bengkulu berada. Maksud kami waktu itu, ingin ada suasana seperti
biasanya seniman di Taman Budaya Padang, bersantai pada satu tempat dalam
kompleks Taman Budaya. Berkumpul dan bercakap-cakap apa saja sesama seniman,
baik senior maupun junior.
Lokasi yang kami pilih yakni tak jauh dari (kini) pintu
gapura, sebelah kanan. Ada tanah
ditumbuhi rumput, tampaknya sengaja ditinggikan semacam tanggul pembatas dengan
tanah kosong. Sebelahnya lagi halaman Gedung Pertunjukan. Di atas berupa
tanggul tanah itu, ditanam beberapa batang pohon bunga tanjung. Kelihatannya
antara hidup dan mati. Tingginya kurang dari 3 meter. Di sanalah kami
bercengkrama dan berdiskusi lepas bersama keluarga Teater Alam.
Pada kesempatan berkunjung ke Kota Bengkulu tahun 2013,
suatu siang, aku sengaja untuk “menjenguk” Taman Budaya Bengkulu. Hanya sekadar
melihat-lihat saja. Suasananya tidak jauh beda. Dalam Gedung Pertunjukan
terlihat ada kegiatan persiapan acara kesenian. Aku berjalan-jalan melewati
jalan yang ada hingga mampir ke bangunan berupa kantor.
Ada 2 pegawai sedang bercakap-cakap. Aku perkenalkan diri.
Serta merta, aku melihat sebuah foto terpajang di dinding. Maka aku katakan
bahwa orang yang sedang bermain alat music keyboard di foto itu, adalah
temanku. “Namanya Iskandar.” Semasa di Taman Budaya Padang, Iskandar adalah
seorang pemain teater, merupakan actor pada pementasan Teater Padang pimpinan Hardian
Radjab. Kedua pegawai itu membenarkan orang yang kumaksudkan. Menjelaskan
bahwa temanku itu sudah wafat. “Ya,” kataku, “Aku sudah mengetahuinya.”
Sewaktu akan meninggalkan Taman Budaya, dalam kunjungan yang
singkat itu, aku seperti awal kedatangan tadi sejenak menatap tanaman bunga
tanjung tak jauh dari gapura, sudah membentuk diri menjadi pohon.
Daunnya rapat
dan hijau. Tanggul yang dulu itu tak terlihat di bawahnya. Tidak berapa beda
tingginya dibandingkan dengan halaman Gedung Pertunjukan. Sejumlah daun-daun
keringnya, berserakan di sana-sini.
Dalam kesempatan berada di Kota Bengkulu tahun ini (2017),
salah satu agendaku berkunjung ke Taman Budaya Bengkulu. Tidak salah kemudian,
yang pertama ingin kulihat yakni barisan pohon bunga tanjung. Kini pohon itu
sudah besar, daunnya sangat rindang kala panas terik kedatanganku menjelang
waktu sholat Zhuhur.
Yang kudapati Taman Budaya dalam keadaan senyap. Pintu
gapura tertutup. Hanya pintu kecil yang terbuka. Di depan gapura berdiri dua
pedagang gerobak. Penjual air tebu dan pedagang rokok. Aku minta izin untuk
masuk. Berjalan ke dalam. Tidak ada siapa-siapa. Mulanya, aku berharap ada
seniman-seniman terlihat latihan atau tengah bersantai bercakap-cakap di salah
satu sudutnya. Tidak ada.
Selain senyap, kondisi Gedung Pertunjukan semakin terlihat
bagaikan sebuah gudang yang tak terpakai. Halamannya tidak bersih. Nun di ujung
sana, bangunan kosong. Tak terlihat ada orang. Semula aku akan melangkah lebih
jauh ke dalam. Akan tetapi sesampai di tengah halaman, aku berbalik. Lalu
sejenak melangkah berteduh di bawah pohon bunga tanjung.
Di bawah pohon itu kini, ada dibuat bangku yang dilekatkan
dengan lingkar pohon. Tidak dalam keadaan bersih, seakan tempat itu merindukan
sapu lidi. Daun-daun kering berserakan di sana sini.
Mungkinkah keadaan serupa ini adalah sudah nasib Taman
Budaya kita di daerah-daerah di seluruh Indonesia, yang ditakdirkan semakin
mengalami kehancuran karena otonomi yang “diagungkan” ?. Karena silih berganti
Kepala Daerah dan pemimpin-pemimpin yang tak memiliki “perhatian” dan latar
belakang budaya ? Apalagi Taman Budaya tidaklah sebuah instansi pemerintah
“pencetak uang” seperti instansi lain yang menghasilkan “proyek.”
Kemanakah para seniman ? Sungguh sayang, di bawah
kerindangan pohon bunga tanjung yang semakin membesar ini tanpa seniman! (*) copyright: abrar khairul ikhirma, agt.2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar