Dr. Haji
Abdul Karim Amrullah dijuluki
sebagai Haji Rasul, adalah ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di
Indonesia. Ia juga merupakan pendiri Sumatera
Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Ia bersama Abdullah
Ahmad menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan
dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.
Aku kira sejak 5 tahun terakhir ini, tak dapat kuhitung kalinya telah sering “singgah” sekadar
“menjenguk” makam ayahanda dari Buya Hamka ini. Diantara mereka-mereka yang
silih berganti pernah mendatangi tempat ini dan tepian Danau Maninjau.
Semata-mata kunjungan
yang aku lakukan karena senang saja. Selama ini aku sangat menyukai mendatangi
tempat-tempat “orang bersejarah” dan tempat-tempat “bersejarah.” Seperti yang
kusempatkan berkunjung ke Makam Haji Rasul, setiap kali aku berada di Maninjau
atau hanya sekadar melintas tepian Danau Maninjau, Kabupaten Agam, dari
Bukittinggi – Pariaman atau sebaliknya.
Apalagi sejak
lama, aku sudah mengetahui lewat bacaan perihal Haji Rasul dan kisah-kisah
anaknya yang termashur yakni Buya Hamka. Mereka adalah orang-orang yang hebat
di zamannya. Telah berbuat banyak dalam melakukan pengembangan intelektual dan
keagamaan. Tidak hanya untuk Minangkabau tetapi untuk kepentingan dunia Islam
di Tanah Air dan dunia.
Abdul Karim
Amrullah lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau,
Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879 bertepatan dengan 17 Syafar 1296
Hijriah. Pada masa kecilnya, beliau diberi nama Muhammad Rasul, namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya
diganti menjadi Abdul Karim Amrullah. Beliau juga dikenal dengan panggilan Inyiak De-er (Dr.), karena pada tahun
1926 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di
Mesir dalam bidang agama. Ayahnya bernama Syekh Amrullah atau Tuanku Kisai atau
dalam beberapa literatur sering ditulis dengan Syekh Amrullah Tuanku Kisa-i,
seorang guru tarekat Naqsyabandiyah di Maninjau.
Daerah tepian
Danau Maninjau sungguh memikat hatiku. Dibandingkan dengan Danau Singkarak, aku
lebih menyukai dalam banyak kesempatan menyusuri tepian Danau Maninjau.
Ketika
pertamakali aku mencoba menelusuri jalan menuju Sungai Batang, waktu itulah aku
melihat tempat “bersemayam” Haji Rasul, ayahanda dari Hamka ini.
Makam Haji Rasul
ini terletak di pinggir jalan Pasar Maninjau – Sungai Batang. Di sekitar makam
berdampingan dengan rumah keluarganya. Hal ini ada baiknya, sehingga lingkungan
makam terlihat terawat dengan baik.
Aku menyukai tempat
ini. Suasananya sangat tenang, damai dan pandangan pun langsung bisa mengarah
ke danau. Hanya berjarak beberapa meter saja dari makam dengan tepian danau.
Sehingga hempasan alun danau terdengar sebagai music alam yang harmonis.
Selain
berdampingan dengan bangunan rumah keluarga, juga terdapat bangunan kayu yang
klasik berupa perpustakaan. Walau pun sudah sejumlah kali kedatanganku ke
tempat ini berkunjung, namun kuakui, aku belum sekalipun masuk ke dalam
perpustakaan. Belum pernah mengetahui buku-buku apa saja yang tersimpan di
dalamnya.
Sebenarnya Muhammad
Rasul termasuk anak yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Ia belajar
di pendidikan elementer tradisional
dan mengaji di surau-surau.
Sekitar usia 10 tahun, ayahnya menyuruh beliau
mengaji Al-Qur`an kepada Muhammad Shalih dan Haji Hud di Tarusan, Pesisir
Selatan.
Setahun kemudian, ia belajar berbagai ilmu agama kepada ayahnya, Syekh
Amrullah di Sungai Batang, Maninjau. Pada usianya memasuki 15 tahun ia
berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama atas perintah ayahnya.
Dalam
kepergiannya ini, ia tinggal di Mekkah selama lebih kurang 7 tahun (1894-1901)
dan selama di sana ia belajar kepada beberapa orang guru, diantaranya adalah
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Muhammad
Djamil Djambek (ketiga guru itu berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat),
Syekh Abdul Hamid, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Shalih
Bafadal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa’id Yamani.
Sekembalinya dari
Mekkah tahun 1901, ia dinobatkan sebagai seorang ulama muda dengan gelar Syekh
Tuanku Nan Mudo, sedangkan ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah diberi gelar Syekh
Tuanku Nan Tuo dengan suatu upacara. Tuanku Nan Tuo beraliran lama, sedangkan
Tuanku Nan Mudo seorang pemuda yang membawa aliran baru.
Pada tahun 1904
ia kembali ke Makkah dan pulang ke kampungnya tahun 1906. Kepergian yang kedua
kalinya ini, disuruh ayahnya untuk mengantar adiknya belajar di sana. Namun,
kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mengajar pada halaqah sendiri di rumah
Syekh Muhammad Nur al-Khalidi di Samiyah atas izin dari Ahmad Khatib. Namun
demikian, ia sering bertanya kepada gurunya, Syekh Ahmad Khatib mengenai
masalah-masalah yang rumit.
Sejak tahun 1911,
Haji Rasul yang “memakai” nama menjadi Abdul Karim Amrullah menetap di Padang
Panjang dan memimpin pengajian surau Jembatan Besi. Pada tahun 1911-1915
bersama-sama Abdullah Ahmad, mendirikan majalah Al-Munir di Padang. Kemudian,
ia juga menerbitkan majalah Al-Munir Al-Manar di Padang Panjang bersama
Zainuddin Labay el-Yunusi tahun 1918.
Pada tahun 1925,
ia melawat ke Jawa untuk yang kedua kalinya. Di Yogyakarta, ia bertemu dengan
tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama dengan H. Fakhruddin. Pada tahun itu juga ia
mendirikan Muhammadiyah di Sungai Batang, Maninjau melalui lembaga Sendi Aman
yang didirikan tahun 1925. Lembaga ini berkembang dengan cepat dan sekaligus
menjadi basis pertama Muhammadiyah di Minangkabau.
Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaharuan Islam. Sistem sekolah reformis Muslim yang melahirkan Persatuan Muslim Indonesia atau PERMI. Ia juga aktif menentang komunisme serta intervensi yang dilakukan Belanda dalam hal pendidikan.
Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaharuan Islam. Sistem sekolah reformis Muslim yang melahirkan Persatuan Muslim Indonesia atau PERMI. Ia juga aktif menentang komunisme serta intervensi yang dilakukan Belanda dalam hal pendidikan.
Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah meninggal dunia pada 2 Juni 1945
di Jakarta. Beliau dimakamkan di Kecamatan Tanjung Raya, Jorong Nagari,
Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Pada mulanya makamnya berada di Jakarta dan kemudian dipindahkan ke Maninjau. Di sisi makam beliau dimakamkan adiknya yang bernama Syech Yusuf Amrullah yang lahir pada tanggal 25 April 1889 dan wafat pada tanggal 19 Oktober 1972.
Salah satu putranya, yaitu Hamka (nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. (*) bahan data: wikipedia – abrar khairul ikhirma, 2017
Pada mulanya makamnya berada di Jakarta dan kemudian dipindahkan ke Maninjau. Di sisi makam beliau dimakamkan adiknya yang bernama Syech Yusuf Amrullah yang lahir pada tanggal 25 April 1889 dan wafat pada tanggal 19 Oktober 1972.
Salah satu putranya, yaitu Hamka (nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. (*) bahan data: wikipedia – abrar khairul ikhirma, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar