1 Agustus 2017, tidaklah suatu
penanggalan keramat. Tapi pada tanggal itulah, untuk pertamakali aku mendatangi
Sungai Suci. Arah utara dari pusat Kota Bengkulu.
Beberapakali berada di Kota Bengkulu tapi tak ada kesempatan
ke Sungai Suci. Nama Sungai Suci sudah lama menjadi agenda. Tentu saja tersebab
ada kata “Suci” pada nama daerahnya, tidak pada kata “sungai” dimana kata suci
dilekatkan.
Tidak mungkin nama itu ada begitu saja. Sudah pasti memiliki
keterkaitan pada peristiwa atau suatu hal spesifik pada tempat, daerah atau pun
menyangkut orang di masa lalu. Sehingga disebut dan diceritakan turun temurun
pada kehidupan keseharian masyarakat setempat.
Daerah Sungai Suci adalah salah satu kawasan pantai dari
Samudera Hindia, di bahagian selatan pantai barat Pulau Sumatera. Terletak di
Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Tidak
sulit untuk dicapai bagi yang berkeinginan mendatangi tempat ini untuk
bersantai menikmati waktu libur.
Kawasan ini sudah lama banyak dikunjungi orang, hingga
“dijadikan” sebagai salah satu objek wisata daerah. Dari pusat Kota Bengkulu
hanya sejarak 15 km dan dari Bandara Fatmawati Soekarno, lebih kurang sekitar
25 km.
Dari jalan raya Bengkulu – Padang, ada sekitar 500 meter
jalan menuju lokasi kea rah pantai. Melalui pemukiman penduduk dan tanah kebun
mereka. Karena tidak ramai, serasa memasuki daerah kampong dan kebun. Udara
terasa sejuk. Pemandangan hijau dengan pohon tanaman. Kiri kanan jalan kecil
yang dapat dilalui kendaraan roda empat.
Jauh sebelum kedatanganku hari ini ke Sungai Suci, pada
berbagai kesempatan berbeda, aku pernah bertanya perihal Sungai Suci pada
sejumlah orang yang sudah lama bermukim di Bengkulu. Diantaranya ada hanya
kenal sekadar nama tapi belum pernah mendatangi tempat ini. Mereka bercerita
bahwa konon dulunya, ada orang-orang meyakini air sungai di tempat itu dianggap
suci. Digunakan sebagai obat untuk si sakit sebagai jalan penyembuhan. Karena
hal itu dinamakan Sungai Suci.
Boleh percaya, boleh tidak. Namanya juga kepercayaan orang
pada masa dahulu. Aku sampai pada titik yang disebut dan kutemukan hari ini di
kawasan pantai Sungai Suci. Daerah pesisiran yang selalu terancam oleh
gelombang abrasi Samudera Hindia ke daratan.
Tempat ini semasa booming batu akik, menjadi lokasi orang
mencari batu-batu yang dapat diasah dan dijadikan sebagai batu permata.
Aku tak menemukan sungai sebagaimana yang disebutkan sebagai
sungai. Hanya sebuah saluran air dari daratan, bermuara ke laut. Tidak lebar.
Hanya beberapa meter saja. Karenanya aku menyebutnya hanya sebagai saluran air.
Bisa jadi di masa lalu memang merupakan sebuah sungai, jauh lebih lebar dengan
ukuran yang terpandang olehku ini. Sebab namanya alam dan perubahannya
memungkinkan untuk terjadi.
Uniknya, di depan air yang bermuara ke laut, terlihat sebuah
batu besar sebagai penghalang ombak, hingga tak memasuki muara. Posisinya
secara alamiah, dapat dikatakan suatu yang artistic. Sementara kiri kanan
saluran itu kini, sudah diberi batu-batu yang didatangkan dari tempat lain
untuk pengaman dari serangan abrasi oleh pemerintah.
Hanya beberapa meter saja dari mulut muara, terdapat sebuah
jembatan kecil. Jembatan ini merupakan rangkaian dari sarana jalan penghubung
dari jalan raya Bengkulu-Padang menuju pantai ini. Jalan yang sudah diaspal.
Berdiri dari jembatan kecil tak lebih 5-6 meter ini, memandang ke arah bahagian
hulunya, sebuah lekukan kontur tanah rawa. Tumbuh belukar tanaman sagu yang
rimbun.
Bila aku memperhatikan sekeliling, mulai dari jalan raya
sampai ke daerah pantai, dalam tanah-tanah kebun milik masyarakat itu, sangat
banyak terlihat tanaman kelapa sawit. Apalagi jika ditelusuri sepanjang aliran
air ini sampai ke hulunya, kiri kanannya tak jauh beda. Mayoritas tanaman
adalah kelapa sawit.
Kita sadar atau tidak, yang jelas dalam berbagai ulasan
menyangkut keterjagaan lingkungan bahwa tanaman kelapa sawit adalah tanaman
yang hidup “menghisap” ketersediaan simpanan air di dalam tanah atau tanah
rawa. Tidak suatu hal yang ganjil lagi saat ini, di berbagai daerah yang selama
ini terdapat kawasan tanaman sawit, telah berdampak mengeringkan sumber-sumber
air. Padahal air merupakan kehidupan.
Hal yang aku saksikan saat berada di Sungai Suci ini,
setidaknya pabila kita sadar dan pemegang kebijakan (beritikad) benar ingin
memelihara daerahnya, sudah mesti merobah konsep perkebunan dan pertanian ramah
lingkungan. Seperti Sungai Suci ini
semakin kering, telah hilang “kesuciannya.” (*) copyright: abrar khairul
ikhirma - 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar