Tiga kali sudah aku mengunjungi bekas
kamp pengungsi Vietnam di Pulau Galang, Riau Kepulauan. Dengan tahun yang
berbeda. Dengan kesenyapan yang sama.
Dibandingkan dengan nama-nama
pulau di Riau Kepulauan, Pulau Galang adalah nama pulau yang paling melekat
dalam ingatanku. Karena pada paruh akhir tahun 1970-an berita Perang Vietnam
dan pengungsi Vietnam hampir selalu menjadi berita utama Koran-koran daerah
maupun nasional di Indonesia. Sebagai “penggila” pembaca berita suratkabar
daerah dan nasional masa itu, berita “hangat” itupun sendirinya tak terlewatkan
untuk kubaca.
Sungguh pun punya perhatian pada
berita yang “mengharu-biru” itu, aku sendiri sejak masa itu tak pernah
“bermimpi” untuk suatu hari dapat menjejak Pulau Galang. Namun perjalanan hidup
memang sulit diduga dan diperkirakan. Tahun 2013 aku menjejak pertamakali Pulau
Batam. Pulau Batam pernah popular sebagai kawasan perdagangan bebas dan
industri semasa berstatus otorita. Dimasa-masa itu dari berbagai daerah di Indonesia,
banyak orang berdatangan ke Pulau Batam “mengadu nasib” bekerja dan berdagang.
Pulau Batam di “tangan” BJ
Habibie, yang menjadi Kepala Otorita Batam, sekaligus dikenal sebagai
konseptornya, telah menyatukan tiga pulau berdekatan Pulau Batam, Pulau Rempang
dan Pulau Galang hingga, menjadi satu kesatuan. Ditandai dengan dibangunnya Jembatan Barelang
(Batam-Rempang-Galang). Sampai kini merupakan icon. Tempat “wajib” dikunjungi
bagi mereka yang pertamakali menjejak Pulau Batam.
KAPAL YANG DIGUNAKAN PENGUNGSI VIETNAM KE INDONESIA |
Selama berada di Kota Batam, aku
mengunjungi sejumlah tempat. Salahsatunya berkesempatan mendatangi “Kampung
Vietnam,” sebutan masyarakat Batam untuk menyebut nama lokasi bekas camp
pengungsi dari Negara Vietnam.
Memang jaraknya dari Kota Batam
terasa sangat jauh dan melelahkan. Namun bagi yang menyukai perjalanan keluar
kota, adalah suatu mengasyikkan. Dalam perjalanan kita akan disuguhkan
pemandangan teluk dari ketiga pulau, lalu perbukitan batu dan tanah merah.
Pepohonan tidak banyak tumbuh di sana sini, sehingga udara terasa panas.
Dari jalan raya yang
menghubungkan Kota Batam sampai ke ujung Pulau Galang, Kampung Vietnam hanya sejarak lebih kurang sekitar 60 meter.
Dari pintu gerbang kita sudah disambut dengan kerindangan pepohonan. Udara pun
terasa sejuk.
19 April 1975 pecah perang
saudara di Vietnam. Perang berlangsung panjang dan kejam. Ribuan warganegara
Vietnam berusaha menyelamatkan diri dari keadaan yang terjadi di negaranya.
Sejak itu ribuan pengungsi meninggalkan negaranya, menuju Negara-negara yang
dapat menerima “pengungsiannya.”
Pengungsi Vietnam menyelamatkan
diri dari kekejaman tentara komunis Vietkong, banyak memilih keluar negaranya
melalui jalan laut. Dengan kapal dan perahu mengharungi Lautan Cina Selatan,
dengan berisi pengungsi melebihi kapasitas kapal dan perahu.
Tidak sedikit kapal dan perahu
pengungsi dalam pelayaran mereka mengalami kerusakan, bahkan hilang tenggelam
begitu saja. Ada jatuh sakit dan mati kelaparan, kehabisan air dan makanan.
Diantaranya yang selamat setelah mengharungi samudera selama satu bulan,
gelombang pertama pengungsi Vietnam mencapai Pulau Natuna, Kepulauan Riau,
Indonesia, 21 Mei 1975. Berjumlah 75 orang menggunakan satu buah perahu kayu.
Gelombang pengungsi Vietnam ini
semakin lama semakin banyak, tersebab Perang Vietnam kian berkecamuk. Kehadiran
pengungsi Vietnam ini akhirnya menjadi “masalah” di sejumlah negara tetangga
Vietnam, yaitu Malaysia, Thailand dan Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsapun
kemudian turun tangan. Organisasi PBB yang mengurusi pengungsi UNHCR mengadakan
rapat beberapa negara di Bangkok. Menetapkan satu pulau di Indonesia dijadikan
tempat pengungsian.
Pulau Galang seluas 250 ha di
tahun 1970-an relative kosong. 80 ha digunakan sebagai camp pengungsi.
Pengungsi Vietnam ini disebut juga sebagai “Manusia Perahu,” sudah tersebar di
berbagai lokasi, akhirnya disatukan di Pulau Galang, hingga tercatat sebanyak
250 ribu jiwa. Biaya makan pengungsi, pendidikan dan kesehatan dibiayai oleh
PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa).
Memasuki kawasan bekas camp
Pengungsi Vietnam, seperti melakukan safary alam. Tidak banyak lagi bangunan
yang dapat dilihat. Banyak yang sudah terlanjur hancur. Yang ada kini semak
belukar dan pohon-pohon tanaman tumbuh subur. Konon tanaman tersebut, dulunya
ditanam oleh para pengungsi, selama berada di pengungsian.
DI DEPAN VIHARA DI KAMPUNG VIETNAM MASIH TERAWAT BERSAMA RAFQI CHANIAGO YANG MENETAP DI KOTA BATAM KAMI PERNAH SAMA-SAMA BEKERJA DULU DI SURATKABAR HARIAN SINGGALANG PADANG |
Mungkin agak terlambat keputusan
pemerintah untuk menjadikan Kampung Vietnam ini sebagai satu destinasi yang
dibuka untuk wisatawan. Ketika asset yang ditinggal satu persatu “hilang
lenyap” barulah keinginan datang. Sejumlah bangunan yang letaknya
terpisah-pisah segera “diselamatkan.”
Sebuah museum yang dapat
“menuntun” pengunjung ke masa pengungsian di camp ini pun didirikan. Dilengkapi
sebuah kandang rusa tak seberapa jarak dari lokasi museum, sebagai daya tarik
didirikan. Rusa-rusa ini sudah berkembang biak. Berdampingan dengan sebuah
kapal yang digunakan pengungsi dari negaranya masuk ke Indonesia.
Kampung Vietnam ini dulunya cukup
lengkap fasilitasnya. Selain fasilitas barak-barak pengungsi, terdapat juga
rumah sakit, sekolah, rumah ibadah berbagai agama, pemakaman umum, termasuk
sebuah penjara untuk yang melakukan kejahatan.
Kawasan ini dulunya tertutup bagi
orang luar, kecuali fasilitas rumah sakit di mana masyarakat umum bisa
menggunakan fasilitas tersebut secara gratis. Tempat ini dalam penjagaan TNI
Polri, diawasi secara ketat oleh PBB.
Camp Pengungsi Vietnam tahun 1996
akhirnya ditutup. Setelah 16 tahun sejak mula kedatangan mereka di Pulau
Galang. PBB memulangkan pengungsi ke tanah air mereka setelah perang berakhir.
Tiga tahun berturut-turut, aku
berkesempatan mendatangi Kampung Vietnam bekas camp pengungsi Vietnam ini,
2013-2014-2015, hanya terlihat bangunan ibadah yang cukup terawat sampai kini,
karena pemeluk agamanya ada yang memanfaatkan sebagai tempat ibadah.
Sedangkan bangunan-bangunan
lainnya, sungguh menyedihkan. Semestinya bangunan tersebut harus tetap dirawat,
apalagi sudah dijadikan suatu destinasi bagi wisatawan ke Kota Batam. Terutama
bagi warga Vietnam yang ingin melihat jejak “kelam” sejarah bangsanya di masa
lalu (*) copyright: abrar khairul ikhirma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar