MENCAPAI Rumah Pena, di Bukit
Petaling, Kuala Lumpur, rupanya perlu juga usaha dan kesabaran. Termasuk
berjalan kaki di trotoar. Aku kira itu pengalaman fisik tersendiri, memperkaya
kekuatan batin. Sumber inspirasi bila saja ada kehendak untuk menulis puisi
agak sebuah. Keh keh keh…
Apalagi sepanjang jalan beberapa meter yang kutempuh,
membuat terciptanya suatu kesempatan dapat aku manfaatkan, berjalan sambil
merokok. Sejak masuk boardingpass Bandara Internasional Minangkabau
(Indonesia), keluar KLiA2 (Malaysia), terus KL Central, penginapan, kali inilah
pertama aku dapat untuk merokok. Cihuiii!!!
Merasa merdeka. Jarang-jarang orang terlihat aku temui di sini, merokok sambil
berjalan.
Berangkat dari penginapan dengan naik taxi. Sampai 2 kali pusing ---berkeliling macam orang
tawaf---dulu Jalan Bukit Petaling, akhirnya turun di areal parkir Restoran Tupai-tupai. Alasan sopir
(pemandu) taxi, dia tak tahu. Terlihat sebuah bangunan tua di samping restoran,
menarik perhatianku. Bangunan tanpa penerang dan tertutup. Setelah kudekati
bagian depannya, terbaca tulisan penunjuk “Persatuan
Wartawan Melayu.” Aku merasa akrab saja. Mungkin tersebab aku pernah dulu
berhabis masa di dunia jurnalistik, menjadi wartawan pada suratkabar terbitan
daerahku. Serasa bertemu dunia yang sama.
Tentu bangunan tua itu telah berdiri dengan sejarahnya.
Sejarah yang panjang. Sama hal dengan Persatuan Wartawan Melayu itu sendiri
sebagai sebuah persatuan, menghimpun mereka-mereka yang berjuang di jalan dunia
jurnalistik. Bangunan tua, selalu menarik perhatianku bila terjumpa. Apalagi disadari
Kuala Lumpur merupakan kota metropolitan, pusat bertumpu gerak nadi Negara
Malaysia. Tak akan bisa menghindar diri dari pembangunan-pembangunan, yang akan
selalu membutuhkan lahan dan merubuhkan bangunan lama, demi bangunan belantara
beton kota. Bangunan lama bagiku lebih familiar. Lebih merasa ada rohnya. Tidak
sama pada bangunan beton pencakar langit (tower/menara), yang terasa bagiku
symbol kemegahan dan kemewahan. Aku merasa asing karenanya. Perasaanku menjadi
sejuk, kutemui dalam kegelapan bangunan tua malam ini, kantor Persatuan
Wartawan Melayu di samping restoran yang berpenerang gemerlap itu.
Tujuanku ke Rumah Pena. Rumah yang dituju terletak di
bahagian belakang restoran tapi tak ada jalan. Dari tempat turun taxi ini, harus
berjalan kaki setengah lingkar bukit kecil itu dari trotoar di jalan depannya.
Hingga sampai pada jejeran mobil terparkir di bawah pepohonan yang rindang kaki
bukit kecil Petaling. Terlihat di antara kegelapan berbeda dengan lampu
penerang jalan, nun di ketinggian salah satu sisi bukit kecil, Rumah Pena. Lampu
penerang tak cukup. Bagi yang pertamakali datang ke sini pada malam hari,
pastilah berpendapat sama: gelap!
Halaman samping Rumah Pena, malam ini menjadi ajang
pertemuan para penyair antar bangsa. Penyair Asean. Para penyair silih berganti
baca puisi ke atas panggung. Ada panggung, ada meja-meja dan kursi di bawah
tenda, pada satu sisi disediakan meja untuk meletakkan makanan dan minuman,
lengkap juga mobil (lori) kedai buku. Pun di teras Rumah Pena, satu meja
tersusun buku-buku karya penyair untuk dijual bagi peminat sesama penyair.
Malam Puisi Asean
2016 di Rumah Pena, adalah rangkaian dari kegiatan Temu Penyair ASEAN 2016 yang ditaja ITBM-PENA-DBP. Suasananya
santai dan akrab. Ramai para penyair yang hadir. Terasa jauh dari kesibukan
Kota Kuala Lumpur. Nuansa sastra serta ajang pertemuan satu sama lain lebih
terkesan dominan.
Kedatanganku terlambat. Nyaris semula tidak akan datang ke
sini untuk menghadiri Malam Puisi Asean 2016. Cukup lama berhabis waktu di
KLiA2. Begitu juga perjalanan dari airport menuju KL Central. Dari KL Central
ke penginapan di kawasan Pudu telah memakan waktu lama. Teramat melelahkan. Jam
malam pun sudah termasuki. Akhirnya, terlerai juga semuanya. Tetap datang ke
Rumah Pena walau sudah terlambat. Walau tak sempat menikmati makan malam dan
menyeruput kopi yang hangat sekalipun. Tapi di sini, aku berkesempatan untuk
merokok, mendengarkan percakapan, juga melihat para penyair meski tak kukenal
satu persatu.
Kehadiranku di Rumah Pena, setelah mengisi buku tamu, aku
dikenalkan Amelia Hashim ---seorang
penulis wanita dari Kedah, dari utara Malaysia-- pada Mohamad Saleeh Rahamad, Presiden Pena (Persatuan Penulis Nasional)
Malaysia. Selain perkenalan, tak ada sempat bercakap-cakap dengan beliau.
Mungkin karena baru saling kenal. Bisa jadi dilain waktu.
Aku sengaja tak mengambil duduk di kursi yang disediakan.
Datang ke bagian depan, ke salah satu sisi panggung. Klik! Klik! Aku memotret
sejumlah momen. Di panggung sedang berlangsung musikalisasi puisi, disusul
pembacaan puisi dari rombongan penyair dari Riau. Sukar juga dengan
penglihatanku, karena lampu penerang yang tak membantu penglihatanku. Sehingga
aku tak dapat mengenali wajah para penyair yang hadir pada malam ini, terutama
yang berada di bawah tenda yang disediakan.
Pada saat berada di dekat lori kedai buku, antara meja
makan, aku menghadang langkah tubuh berdegap dan tinggi. Aku langsung sebut
namanya. “Nazeka Kanasidena!” ia pun terkejut, ketika mengetahui akulah orang
yang dikenalnya di fb selama ini. Nazeka, penyair dari Sabah, Malaysia.
Puisinya sudah diterbitkan ke dalam sebuah buku, berjudul, “ILTIZAM” terbitan
ITBM-PENA, 2015 atas nama Zubir Osman.
Menurut hematku, acara serupa dalam apresiasi sastra,
seperti yang dilaksanakan Rumah Pena ini, bila lebih dikemas lagi sungguh
menariknya. Panggung yang tinggi sepantasnya tidak dijadikan dalam situasi
santai serupa yang dimaksudkan. Mungkin lebih tepat, dibuat panggung instan di
tengah-tengah penonton. Karena ruang yang tersedia dan jumlah yang hadir,
sangat memadai. Akan lebih mendekati suasana “kesastraan” dan antara penonton
dengan mereka yang tampil tak ada jarak. Lebih komunikatif. Sebab kemungkinan
demikian lebih terbuka lebar, karena dilaksanakan di udara terbuka. Tidak dalam
gedung yang lebih bersifat formal.
MURAD SALLEH DARI JOHOR |
Pada suasana demikian, aku lebih memilih duduk pada bangku
permanen di halaman Rumah Pena, berdekatan dengan lori kedai buku yang
diparkir. Aku lebih mengandalkan pendengaranku ketimbang penglihatanku pada
yang berlangsung di atas panggung. Karena berjarak diantarai tenda. Lokasi
dudukku pun jauh lebih terang cahaya lampu.
Akupun dapat bebas merokok. Karena rokok pula, aku dapat
kenalan baru, kebetulan sama-sama duduk di bangku yang sama yakni seorang
penulis dari Johor, Malaysia. Dia juga kutemui sedang merokok. Dia pun suka
bersunyi-sunyi di bagian belakang, bagian yang terpinggirkan. Sama juga dengan
kebiasaanku bila datang pada keramaian.
Penulis dari Johor ini terlihat tenang. Bicara pun sangat
pelan. Topik pembicaraan dan style bicaranya, membuat percakapan lepas kami
berjalan dengan situasi yang menyenangkan. Tidak berupa diskusi tapi lebih
saling berbagi informasi pada situasi kesastraan dimana kami masing-masing
lalui. Memang tidak cukup waktu untuk percakapan itu. Pun tempat penginapan
kami berbeda. Namun esoknya, saat rehat jeda acara Forum Penyair Asean di
Auditorium Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur, di tangga depan, kami bercakap
sesaat. Beliau berharap suatu saat kami berjumpa lagi. Mana tahu aku sampai
menjejak daerahnya Johor. Seusai acara Temu Penyair Asean 2016, aku
berkesempatan untuk melakukan perjalanan budaya ke Kedah. Beberapa hari di
Kedah, barulah aku mengetahui nama penulis Johor ini Murad Saleh, setelah kami berteman fb. Aku belum membaca
karya-karyanya.
Malam di Rumah Pena, aku bertemu dengan penyair Fakhrunas MA Jabbar, namanya sudah lama
kukenal lewat dunia suratkabar terbitan Padang,
Sumatera Barat, sejak lama, ketika ia rajin dari Pekanbaru, Riau (Indonesia), dahulunya mempublikasikan karyanya.
Pertemuan pertama kami barulah terjadi pada tajuk acara yang sama kami hadiri
yakni, pada Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, Kuala Lumpur, yang ditaja Numera Malaysia.
Begitu juga bersamaan dengan Penyair Fakhrunas, berjumpa
dengan penyair Isbedy Stiawan ZS
dari Lampung (Indonesia). Namanya pun sudah lama kuketahui, karena dari Lampung
dia rajin kirim puisi ke suratkabar Padang, dimana aku pernah menulis dan
bekerja dulunya. Kami tidak akrab. Berbeda dengan sejumlah teman-temanku di
Sumatera Barat yang banyak dikenalnya. Padahal aku pertama berjumpa dengannya
sama-sama menghadiri Pertemuan Sastrawan
Indonesia 1997 di INS-Kayutanam, Sumatera Barat.
Ketika pembicaraanku berlangsung dengan penulis dari Johor,
Murad Saleh, aku melihat tak berapa jauh dari aku duduk, seorang wanita sedang
dibantu tuntun berjalan dari salah satu sisi Rumah Pena, akan meninggalkan
lokasi acara. Dia dituntun anak lelakinya. Aku datang menghampiri untuk menyapa,
karena beliau pernah aku kenal. Asmira
Suhadis. Seorang yang dikenal penulis skrip di Malaysia dan rajin
memposting di akun fbnya. Sebelumnya, kami pernah berjumpa sama-sama menghadiri
Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur yang diselenggarakan di Dewan
Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur. Sepertinya, ia lupa denganku. Biasalah. Bagiku
hal itu tidak penting. Yang jelas aku sudah bersilaturahmi dengan orang yang
kukenal dan kujumpai. Beberapa hari kemudian, di kotak comen status fbku,
beliau menyapaku. Mungkin baru menyadari bahwa malam di Rumah Pena itu adalah
aku yang menyalaminya.
Termasuk malam ini, aku berkesempatan bertemu dengan Lily Siti Multatuliana SutanIskandar
yang datang dari Melaka, Malaysia, dimana beliau menetap bersama keluarganya lebih
kurang 11 tahun. Kami sudah akrab sejak dari pertemanan fb dan sudah beberapa
kali berjumpa, sejak pertamakali berjumpa di Jeumpa d Ramo, Bangsar, Kuala
Lumpur, ketika Anugerah Puisi Dunia Numera 2014. Begitu juga saat beliau pulang
ke tanah leluhurnya Pariaman, kota
pesisiran pantai barat Pulau Sumatera (Indonesia), yang menjadi kota
kelahiranku. Beliau bersekutu dengan Penama ---Persatuan Penulis Melaka—dan
Numera Malaysia. Sangat aktif menghadiri kegiatan-kegiatan sastra dan baca
puisi di Malaysia dan Indonesia dalam kurun waktu terakhir ini.
Dalam
kesamaran, berjalan ke arah malam yang larut.
Baris-baris
puisi sudah dibacakan di Rumah Pena.
Abrar Khairul Ikhirma
Dragon-Pudu,
03/09/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar