MENGHADIRI Temu Penyair se Asean 2016 di Kuala Lumpur, 2 – 3 September 2016,
aku hanya seorang peserta biasa. Hadir dan menjadi pendengar yang baik saja.
Menyerupai kucing jinak. Tidak sebagai pembentang kertas kerja, juga tidak
sebagai pembaca puisi. Walau pun ada sesi baca puisi yang diselenggarakan di Rumah Pena dan di Auditorium Dewan Bahasa Pustaka. Namun perihal itu
tidaklah mengganggu perasaan dan pikiranku, walau tidak memiliki ruang untuk
“berunjuk gigi” pada momen besar di hadapan peserta lainnya. Biasa-biasa saja.
Aku sendiri juga tak hendak baca puisi.
Malam Puisi Sungai Melaka 2016 |
Kalau pun aku diberi kesempatan untuk membaca puisi di
hadapan khayalak, aku kira aku juga tidak akan dapat memukau penonton kecuali
hanya suaraku saja yang terdengar, bersenjatakan soundsystem mengalahkan suara penonton yang tak mau hingar bingar
pula. ---Biasanya kebanyakan aku perhatikan di sana sini berbagai acara, orang
lebih banyak asyik dengan kesibukannya sendiri. Sibuk bercakap-cakap dan
membuka akun fb, atau bersantai diluar ruang, selama acara berlangsung.--- Seperti umumnya terjadi para pembaca puisi
kita di atas panggung menjelmakan dirinya, seumpama “hanya berani melawan orang yang tak hendak berkelahi.” Menang tapi tak ada lawannya. Keh keh keh…
Bisa jadi suaraku memang tidaklah bagus, tidak enak didengar
walau sudah dibantu pengeras suara. Aku pun tak hendak pula “menutupi”
kekurangan suaraku itu dengan berpenampilan lewat pakaian sebagaimana seorang
penyair, bila hadir pada acara-acara seni “harus” melengkapi dengan trend,
sebuah sal melilit leher ---aku lebih
senang mengistilahkan dengan selendang, mencimeeh
satire, penyair bergaya penari--- seakan begitulah yang dinamakan penyair.
Aku kira, hal-hal semacam itu tidaklah menentukan pada penyair dengan karyanya,
begitupun penyair dan pembacaannya.
Malam Puisi Sungai Melaka 2016 |
Begitupun, aku juga tak memiliki kemampuan “meniru-niru” style pembacaan penyair Indonesia, semacam
Sutarji Calzoum Bachri. Sutarji,
selain memang memiliki kekuatan suara dan acting yang hebat, juga sangat menguasai
ruang panggung dan suasana, semasa ia pernah “memukau” dunia panggung baca
puisi. Meniru dengan tujuan, agar para penonton terkaget-kaget, terkesima atau
pun terheran-heran dengan serba tak mengerti, sedang apakah seseorang di
hadapan orang ramai ???
Atau “merendra-rendrakan
diri,” aku juga tidaklah mampu agar pembacaan puisiku dapat menghipnotis
banyak orang, seperti penyair Rendra yang legendaries melakukan, dapat
membacakan puisinya dengan pemahaman yang baik, berakting panggung dengan
sempurna, hingga para fotografer memiliki kesempatan untuk mendapatkan momen
foto berkarakter, pun menurutku memang karya-karya yang dibacakan Rendra
sendiri, dalam bentuk tulisan saja sudah memiliki kekuatan untuk didengarkan
pada masa itu. Apalagi kalau dibacakan oleh penyairnya sendiri dengan baik.
Rendra juga actor dan dramawan.
Membaca puisi ke hadapan orang ramai, sudah pernah aku
lakukan sejak dari bangku sekolah menengah di kota kelahiranku. Puisi yang
pertama yang aku bacakan adalah puisi “Kerawang-Bekasi,” dari penyair Chairil Anwar di hadapan guru-guru dan
semua pelajar sekolah menengah tempat aku bersekolah. Setelah masa-masa hidup
dalam berkesenian di Taman Budaya Padang,
di ibukota provinsi, aku selain suka membacakan puisi Chairil, juga suka
membacakan “Meditasi,” puisi penyair Abdul
Hadi WM dan “New York 1971,” karya penyair Sapardi Joko Damono dan “Huesca,” John Conford terjemahan Chairil Anwar, selain sejumlah sajak-sajak
penyair WS Rendra.
Namun mulai tahun 1996, setelah aku menerbitkan buku
kumpulan puisiku, “Sajak Penyair 15 Ribu,” aku menarik diri dari kehidupan
kesenian di daerahku. Memilih jalan kehidupanku sendiri. Aku tak lagi hadir
pada pelbagai acara yang diselenggarakan atau pun tak lagi terlihat dalam
komunitas kesenian atau pun keseharian. “Aku naik gunung.” Hidup dalam
pertapaanku yang tak pernah diketahui dan dapat ditemui lagi, terutama oleh
teman-teman kalangan kesenian.
Termasuk, aku pun menghentikan aktifitasku untuk
mempublikasikan karya-karyaku ke media cetak terbitan daerah maupun nasional.
Sejak itulah aku tak lagi pernah membacakan puisi ke hadapan orang ramai.
Adakalanya, aku hanya membaca puisi untuk diriku sendiri. Sebagai
perintang-rintang hari, menjelang hari petang. Perihal itu seringkali kukatakan
saja, aku sudah menjadi “Pangeran Kegelapan.”
Masa SMP suka Baca Puisi |
Dalam rangkaian agenda
Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di
Kuala Lumpur ---yang akhirnya aku hadiri,--- adalah pemunculanku pertamakali ke
hadapan orang ramai berkonteks kesenian, setelah bertahun-tahun sama sekali
tidak pernah, bahkan dengan momentum itu, aku dapat terbitkan buku berisi
sejumlah catatan kebudayaan “Izinkanlah
Aku Bicara,” khusus berisi tulisan pemikiranku berkait momen yang ditaja
Numera Malaysia tersebut. Aku ditawarkan oleh SN Dato Ahmad Khamal Abdullah untuk membacakan puisi, ketika
diadakan sesi baca puisi, diluar gedung Kuala
Lumpur Perfoming Arts Centre (KLPaC). Namun aku tak tergerak hati untuk
baca puisi. Kataku spontan, “Aku bisanya hanya menulis puisi saja, tidak untuk
membacanya.”
Walau pun pembacaanku tidaklah berhasil, karena dari awal
“direcoki” keterbatasan waktu dan tidak memiliki kacamata baca, menyulitkan
membaca teks, akhirnya pertamakali aku membacakan puisi di atas panggung yang
menurutku adalah peruntukannya untuk pertunjukan music, malam 17 September 2016
pada Malam Puisi Sungai Melaka 2016
yang ditaja PENAMA, Persatuan Penulis Negeri Melaka.
Acara baca puisi itu,
bersempena dengan Festival Antarbangsa Sungai Melaka 2016,
aku hadiri semula dengan tujuan hanya sekadar melihat kegiatan kesastraan khususnya
pembacaan puisi, sekaligus bersilaturahmi dengan teman-teman kesenian. Tetapi
rupanya ada peluang untukku membacakan puisi dengan tema Melaka. Untunglah
sebelumnya, tepat perayaan di Hari Kemerdekaan Malaysia, 31 Agustus 2016, aku
menulis puisi panjang tentang Melaka dalam perjalanan sejarahnya
---terinspirasi tahun 2014 aku pernah sesaat datang ke Melaka. Maka
kubacakanlah puisi agak sepenggal dari karya puisi panjangku, “7 Potret Pelancong Melaka Dalam Secangkir
Kopi.”
Malam Puisi Sungai Melaka 2016 |
Jujur saja, kalau untuk membaca puisi di hadapan orang
ramai, aku lebih suka membacakan karya penyair lain, daripada membacakan karya
puisiku sendiri. Mungkin sangat jauh berbeda dengan para penyair-penyair selama
ini. Rajin untuk tampil ke depan membacakan puisinya sendiri. Sementara aku
bertolak-belakang dengan semua itu. Dalam masa rentang kepenulisanku, aku dapat
menghitung hanya 4 kali membacakan puisiku sendiri.
Pertama diminta, pada Lomba Baca Puisi Pelajar SMP/SMA 1987,
Yayasan Pasamayan Padang se Sumatera Barat. Dimana salahsatu puisiku dijadikan
sebagai teks puisi lomba. Kedua, peluncuran buku Antologi Penyair Sumatera Barat tahun 1993. Salahsatu puisiku
terdapat dalam buku itu. Ketiga, Malam Puisi Temu Gapena - Penulis Sumatera
Barat, 1995 dan Keempat peluncuran buku Antologi
Hawa, Sangkaduo, dimana satu puisiku termuat di dalamnya.
Malam Puisi
Sungai Melaka 2016, menjadi catatan bagiku.
Setelah 20
tahun tak pernah membaca puisi lagi ke hadapan orang ramai, aku kini membaca
puisi.
Puisi yang
dibacakan pun karyaku sendiri.
Untuk ke 5
kali dalam hidupku membacakan puisi sendiri sepanjang masa kepenulisanku.
Rupanya
itulah menurutku puisi. Kata berbaris. Kata bermakna.
Hampir
persis dengan Sungai Melaka. Airnya tenang tapi mengalir.
Mengalir
dari hulu sampai ke muara.
Memasuki
selat.
Berjumpa
laut.
Abrar Khairul Ikhirma
Bukit Katil Melaka
19
September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar