“OOOIIIKKK…!!!” suaranya spontan
terkejut tatkala aku menghadang langkahnya sembari kusapa Sang Penyair dari Semporna, Sabah
--- daerah terletak di ujung Timur Pulau
Kalimantan (Borneo)--- saat malam baru saja berangkat menjadi sempurna di
Kuala Lumpur.
Suatu yang tak sukar bagiku untuk mengenal rupanya dan nama
penyair ini. Beliau sangat rajin memposting karya-karya fotografie, puisi dan
buah pikirannya di media social (medsos). Tidak hanya sekadar rajin. Bila
mencermati dari setiap postingannya di akun fb-nya, beliau sangat gigih untuk
berbagi informasi, perihal dinamika daerahnya, sejarah dan
pengalaman-pengalamannya, termasuk juga untuk berdiskusi.
Sehingga aku mudah mengenalnya. Suatu kebiasaan bagiku, aku
akan respek pada seseorang bermula dengan apa yang telah dihasilkan. Lalu
bagaimana proses dari setiap yang dicapai, sesuai dengan lompatan-lompatan
pikirannya, yang ditunjukkan dengan cara bertutur, baik lisan maupun tulisan.
Tidak semua orang mau berbuat hal demikian. Juga tak semua orang memiliki
kemampuan dengan tujuan pada hal-hal yang mencerdaskan orang lain, lewat
informasi maupun komunikasi, semacam terjadi di ikatan pertemanan media social
dewasa ini.
Karenanya, aku tak keberatan bersedia menyapanya lebih awal,
ketimbang kemudian dia menyadari kehadiranku. Itulah perjumpaan kami
pertamakali. Sama-sama menjadi peserta di Malam
Puisi ASEAN 2016, bertarikh Jum’at malam 2 September 2016, yang berlangsung
di Rumah PENA-Kuala Lumpur.
(Foto: Amelia Hashim) |
Nazeka Kanasidena,
nama pena dari Zubir Osman, Sang Penyair
dan fotografer, saat itu sedang mencari teman sesama dari Sabahnya diantara
keramaian para penyair dan tetamu. Karena ia memerlukan ada yang memotret kala
ia baca puisi nantinya. “Untuk documentasi,” katanya. Spontan saja, aku
menyatakan bahwa aku juga bermaksud akan memotretnya bila nanti dia sudah
berada di panggung.
Tetapi niatku itu rupanya kemudian tidak terwujud. Karena
sesudah bercakap sejenak di perjumpaan pertamakali itu, aku mendapat seorang
teman baru, kemudian aku kenal namanya setelah kami berteman fb, Murad Salleh, seorang penulis dari
Johor. Percakapan kami saling respek
---bertopik dunia penciptaan sastra--- penuh keakraban membuat aku terlupa
untuk datang ke depan panggung. Aku baru tahu Nazeka sudah selesai saja baca
puisi, lewat pengeras suara dari MC (Master Ceremony).
Dunia fotografie, dunia yang memerlukan tak hanya sekadar
alat modern dan mahal. Pun tak sekadar mengandalkan penguasaan teknik camera
sebagai alat. Diperlukan juga wawasan pemikiran, pendekatan seni dan kebudayaan,
feeling terhadap objek dan peristiwa. Tanpa adanya dasar-dasar demikian, kecil
kemungkinan kita dapati hasil foto dengan tema dan teknik yang berkualitas.
Jutaan foto indah dengan teknik yang tinggi, telah banyak dihasilkan para
“tukang foto,” mudah kita jumpai, terutama di jejaring internet. Namun karya
foto berkualitas “berbicara” tak sekadar keindahan, tak semudah mendapatkan
foto “landskap” dan foto “selfie” yang bertaburan di berbagai media.
(Foto: Amelia Hashim) |
Menurut hematku, mencermati karya-karya fotografie Nazeka
selama ini, berdasarkan postingan di akun fb-nya, adalah termasuk karya foto
yang “berbicara.” Ada realitas yang direkamnya. Ada pesan hendak
disampaikannya. Tanpa harus meninggalkan unsure artistic dan teknik sebuah
foto. Mengingatkan perkataan fotografer professional Indonesia, yang pernah
bekerja lama di Majalah TEMPO, Jakarta, “Mat Kodak,” Ed Zoelverdi, “Foto berisi berita, mencatat peristiwa dan sejuta
makna.”
Sejak awal akun fb Nazeka aku terima masuk dalam list pertemananku, Nazeka memposting karya-karya
fotonya selalu disertai dengan teks. Teks-teks tersebut berupa karya sastra
puisi dan catatan-catatan sejarah/pemikiran. Berupa bentuk-bentuk
“kegelisahannya” sebagai seseorang yang “mengamati” kehidupan social, politik,
ekonomi, budaya dan pembangunan, yang sedang berlangsung.
Jujur saja, selama pertemananku di medsos sejak aku terima
akun fb Nazeka di dalam akun fb-ku, rasa “pertemanan” lebih tersebab oleh karya
foto yang dipublikasikannya. Karena aku sendiri dewasa ini lagi sedang tertarik
“memerhatikan” hasil-hasil karya fotografie yang lewat di beranda fb-ku. Sementara
teks-teks yang menyertai setiap foto, hampir tak pernah secara intens aku baca.
Maklumlah, dalam hal membaca teks aku memiliki problem yang sangat kompleks
dewasa ini. Itupun seringkali aku
sampaikan kepada banyak orang, sesuatu yang bertolak-belakang, dibandingkan
dengan masa-masa terdahuluku, buas dengan pelbagai bahan bacaan.
Karya foto, baik teknik maupun topic yang dihasilkan seorang
Nazeka, pada umumnya berlatar kehidupan yang terjadi di masyarakat “kelas
bawah.” Masyarakat di pesisir pantai, khasnya di kawasan Semporna. Kawasan
dimana terdapat etnik “orang laut,” yang disebut juga dengan Suku Bajau. Rupanya demikian juga pada
Nazeka, dia pernah mengungkapkan sekali masa bahwa ia pun menyukai hasil-hasil
fotoku, dengan objek alam dan kehidupan pesisiran ---pantai barat Pulau
Sumatera--- yang seringkali aku tampilkan sebagai objek foto. Itu artinya,
kedekatan kami tersebab dilatarbelakangi “dunia laut.”
SAMA MEMANDANG LAUT BUDAYA NUSANTARA |
Pada kurun waktu ini, Nazeka dalam mengekspresikan
“kegelisahannya” melalui media fotografie sebagai gambar dan karya tulis
sebagai karya sastra puisi. Bahasa gambar dan bahasa kata.
Kedua media tersebut
berdampingan menjadi alat untuk berkarya, sesuai dengan sudut pandang yang
dimilikinya.
Sebagai sokongan apresiatif, aku pun pernah menyatukan teks puisi
dan gambar ke dalam media video, berjudul “Nazeka Kanasidena: Penyair dari Sabah,”
yang sudah kuposting di youtube.
Sebentuk sumbangan untuk masyarakat sastra, masyarakat Melayu dan masyarakat
dunia.
Di Loby Auditorium Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur, waktu
siang 3 September 2016, kami bertemu bicara di anak tangga loby, masa jeda
acara Forum Penyair Asean, diantara keramaian para peserta acara. Tentu saja
topic pembicaraan kami perihal “kehidupan orang laut” di nusantara. Meskipun
tidak seilmiah kaum akademik atau para ahli sejarawan, pembicaraan kami sangat
komunikatif dan menyenangkan. Karena memang, nusantara terbangun pada mulanya
adalah dengan adanya “manusia-manusia laut.” Penyebaran manusia memanfaatkan
laut.
Walaupun kini sudah terbagi-bagi tempat masing-masing
bermukim ke dalam Negara-negara namun masyarakat nusantara, sesungguhnya adalah
serumpun. Salah satunya, menurut
pendapatku, “Langkah-langkah kesastraan
yang dilakukan semacam ITBM-PENA-DBP, Malaysia, dengan menyelenggarakan acara Temu
Penyair Asean, merupakan upaya penyatuan kebudayaan dengan jalan kreatifitas
dan silaturahmi sesama Penyair dari Negara-negara se Asean.”
Dalam pembicaraan singkat bertemu muka ini, termasuk dalam
sejumlah kontak lewat fb selama pertemanan fb, Nazeka selalu “berkobar”
membicarakan tentang “orang laut.” Itu tak bisa dipungkiri, Nazeka merupakan
salah seorang regenerasi dari suku “orang laut” nusantara. Seorang yang gigih
dalam menelusuri sejarah perjalanan kebangsaan. Nazeka dilahirkan di Pulau
Omadal, Semporna, Sabah, 21 April 1970. Merupakan keturunan Bajau Kuvang atau
A’A SAMA KUVANG. Selain menulis puisi dan artikel menjadi fotografer, beliau
merupakan Cikgu atau seorang guru di
daerahnya.
Perjumpaan Nazeka denganku dalam tajuk Temu Penyair Asean
2016 ini, teramat menggembirakannya. Nazeka Kanasidena adalah nama pena dari
Zubir Osman. Aku dihadiahkannya sebuah buku perdananya berupa kumpulan puisinya
berjudul, “ILTIZAM.” Selain ucapan terimakasih, aku sampaikan, Insyaallah bila
ada kesempatan aku akan mencoba membacanya.
Waktu senja, para peserta Temu Penyair Asean 2016 pulang ke
penginapan dan kembali selepas waktu sholat Maghrib, untuk melanjutkan dengan
acara “Deklamasi Puisi Asean 2016,” rangkaian acara sampai tengah malam.
Auditorium DBP seketika menjadi senyap. Ada satu dua petugas terlihat di loby.
Tak ada percakapan. Memilih diri untuk bersunyi senyap sendiri-sendiri. Aku
memilih tidak pulang ke penginapan. Tak ada para penyair. Yang ada diriku
sendiri. duduk sendiri di tangga luar auditorium Dewan Bahasa Pustaka Kuala
Lumpur. Senja itu, bertarikh Sabtu 3 September 2016. Udara panas dengan sisa
air hujan di ujung tangga.
Dalam suasana cahaya matahari menghilang digantikan cahaya
malam, lampu penerang sudah dinyalakan. Kubuka buku ILTIZAM karya Nazeka. Aku
tidak membilah-bilah halamannya, karena aku tidak bertujuan serius membacanya.
Hanya sebagai alat pelerai kesendirian saja. Halaman yang terbuka, itulah puisi
yang akan kubaca. Rupanya terbuka halaman 32-33. Di halaman buku setebal 200
halaman itu, terdapat puisi:
ALAM
Aku tenggelam
dalam kebesaran alam
merunduk fikir
bergetar sukma
bilang ego
sirna kesombongan diri
aku hanya setitis air
dalam lautan tujuh benua
aku hanya segumpal awan larat
dalam mega selaksa bahana
mana pun kupalingkan wajah
di situ jua tertumbuk akalfikir
tentang siapa empunya.
Jika kupandang sarwajagad
aku hanyalah sebutir debu
kuteroka diriku seutuhnya
tidak kuberdiri tanpa iradat-Nya
Pada Dia Sang Pencipta
kulebur diriku dalam zat-Nya
tidak perlu kucari Dia
hingga jauh ke belantara
kerana aku sendiri
datang dari Dia
dan akan kembali kepada-Nya.
Tong Talun
12012014
NAZEKA KANASIDENA (SABAH) ABRAR KHAIRUL IKHIRMA (INDONESIA) AMELIA HASHIM (KEDAH) LILY SITI MULTATULIANA (MELAKA) DI DEWAN BAHASA DAN PUSTAKA, KUALA LUMPUR |
Sebagai
proses wawasannya, baik dalam berfikir, rasa dan bertindak, Nazeka pada
sejumlah pernyataannya menyebut, ia mengagumi hasil kesastraan yang ditulis
sastrawan dari Indonesia. Ia membaca lumat dan berulang-ulang, karya-karya Pramoedia Ananta Toer dan pujangga,
Prof. Dr. Hamka (H. Abdul Malik
Karim Amrullah).
Nazeka
pernah mengungkapkan, dia sangat ingin berkunjung ke tanah kelahiran Buya
Hamka, sebagaimana pernah aku ceritakan, sebuah kampung bernama Sungai Batang, yang berada di salah satu
sisi Danau Maninjau, Sumatera Barat
(Ranah Minangkabau), Indonesia. Sampai kini ramai dikunjungi orang berbagai
Negara dan bangsa. Salahsatunya berasal dari Malaysia. Menikmati alam,
menziarahi rumah kelahiran Buya Hamka dan perpustakaannya, yang kini sudah
dijadikan sebagai museum.
Aku sendiri
pun pernah juga terbetik terkatakan bahwa suatu saat hendaknya aku dapat pula
sampai menjejak tanah Semporna di Sabah. Karena “terpesona” akan hasil-hasil
fotografie Nazeka dan catatan-catatan sekitaran sejarah perjalanan kehidupan
alam dan budaya setempat. Tentu saja aku terkilan-kilan ingin mengabadikan
sebuah potret dengan latarbelakang kebanggaan Sabah yakni, Gunung Kinabalu. Disuatu hari nanti.
Nazeka belum
datang ke Maninjau. Aku pun belum pergi ke Sabah. Kami sama-sama belum
mewujudkan keinginan itu. Rupanya, kami yang selama ini hanya saling mengenal
melalui fb, malah bertemu pertamakali di Kuala Lumpur pada acara yang sama kami
hadiri Temu Penyair Asean 2016.
Siapa yang
menduga???
Tak ada sama
sekali kami menyangka dan merancangnya.
Pantarei…
Abrar Khairul Ikhirma
Sintok-Kedah, 07/09/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar