MINGGU tanggal 17 Oktober 2016.
Hari bersejarah bagi prosesi Tabuik Pariaman, dalam decade terakhir ini.
Tersebab kali pertama pada hari puncak, sejak pagi sampai waktu maghrib,
Pariaman dilanda hujan. Tidak seperti biasanya. Pada hari yang dikenal
masyarakat, hari keluarnya 2 buah Tabuik Gadang, yang dinamakan acara “Bahoyak
Tabuik,” tak pernah terjadi hujan dan prosesi tak pernah tertunda akibatnya. Kini rupanya harus "menderita" disiram hujan.
Kalau pun
terjadi hujan pada malam hari sebelumnya atau pada waktu dinihari, pada pagi
harinya, biasanya hujan berhenti. Bila pun terjadi hujan lagi, setelah prosesi
berakhir, dimana kedua Tabuik sudah dibuang ke laut pada waktu matahari
terbenam.
Akibat
terjadi hujan yang berulang-ulang di hari puncak prosesi Tabuik 2016, kedua
Tabuik tertunda melaksanakan pemasangan dua bahagian konstruksi Tabuik, yang
dinamakan Tabuik Naik Pangkek.
Akibat
hujan, pemasangan baru dapat dilaksanakan pada pukul 14.00 wib, selepas waktu
sholat zhuhur.
Sampai
akhirnya Tabuik dibuang ke laut, cuaca hampir tak bersahabat.
Menurut
tradisinya, Tabuik Naik Pangkek dilaksanakan selesai waktu sholat subuh. Ada
juga yang menyebutkan malahan sebelum waktu subuh dan selesainya saat azan
subuh berkumandang.
Jika berpedoman
pada tradisinya, Tabuik Naik Pangkek dilaksanakan setelah waktu sholat subuh.
Pada waktu itu, terlihat pemandangan, terutama sebahagian besar kaum ibu-ibu,
dengan masih memakai mukena datang
bersama-sama dimana Tabuik Naik Pangkek dilaksanakan. Prosesi ini menjadi
perhatian masyarakat, menjadi daya tarik tersendiri, karena masyarakat kedua
Nagari ingin terlebih dahulu melihat Tabuik kebanggaannya, sebelum siangnya
dilanjutkan untuk Bahoyak Tabuik.
Dalam
beberapa tahun terakhir ini, setelah era kepemimpinan mendiang Bupati Anas Malik (1980-1990), Bupati
Kabupaten Padang Pariaman, yang mempelopori “bangkitnya” kembali tradisi Tabuik
di Pariaman sebagai upaya pelestarian budaya daerah, untuk memacu pembangunan, telah
banyak perubahan penyelenggaraan yang “dilakukan” dikehendaki atau tidak, sebagaimana tradisinya
yang dikenal sebelumnya.
Tabuik Pasa,
seperti biasanya pada prosesi Naik Pangkek, tetap mempertahankan setelah sholat
subuh dari tahun ke tahun. Melaksanakan dengan tata cara lama, dalam menyatukan
dua bahagian konstruksi Tabuik. Namun belakangan, disebut tetap Naik Pangkek,
yang dilakukan adalah “Manyorongkan.” Bahagian atas berada di atas mobil dumptruck, bahagian bawah di atas aspal
jalan.
Sementara
Tabuik Subarang dalam beberapa tahun terakhir, sudah melakukan “waktu siang,”
dimana cahaya matahari sudah terang. Melaksanakan dengan cara “sorong.”
Main Sorong,
memang dianggap lebih mudah dan lebih cepat. Tidak membutuhkan tenaga ekstra
untuk mengangkat. Cukup mencocokkan dua bahagian Tabuik, kemudian dibantu
“hidrolik” dumptruck mengangkatnya. Ada sejumlah pendapat mengenai hal itu yang
pernah menyampaikan hampir senada, kalau hanya memperlihatkan Tabuik sekadar
konstruksi “hiasan” yang “dipajang,” kenapa tidak dalam keadaan “utuh” saja baru
diperlihatkan pada masyarakat dan pengunjung?
Dengan
perubahan yang dilakukan itu, sebenarnya tidak sesuai lagi dengan penamaan
prosesi Naik Pangkek. Anehnya kenapa kita (termasuk dalam publikasi) tidak memakai
penamaan baru itu saja, agar sesuai tradisi baru pula, dengan menyebut prosesi
“Sorong” (?) walau masih berpijak diatas tradisi lama.
Sama juga
dengan Naik Pangkek yang sudah “main sorong.” Hoyak Tabuik sebenarnya tidak
lagi “dioyak” seperti “kebesaran namanya” tapi lebih tepat diperuntukkan sebagai
“pajangan,” dari tahun ke tahun, walau tetap menyebutkan “Hoyak Tabuik.” Yang
ada Tabuik setelah disatukan dua bahagiannya, lebih banyak diberdirikan saja
sebagai “benda mati.” Hanya tempatnya saja dipindah-pindah untuk beberapa
titik. Tak ada lagi atraksi gandang tabuik yang memukau, bersemangat dan
menghipnotis menyertai Tabuik yang dinamakan Hoyak Tabuik.
Pada tahun 2015 lalu, sampai hari puncak Tabuik, Pariaman
mendapat kabut asap kiriman, akibat kebakaran hutan di provinsi tetangga. Cuaca
dan udara pun dalam kondisi yang sangat mengganggu. Termasuk bagi masyarakat
Pariaman, daerah yang berada di pesisir barat pantai pulau Sumatera. Langsung
atau tidak langsung, mempengaruhi jalannya prosesi Tabuik dan terganggunya
kenyamanan para pengunjung, untuk berdatangan ke Pariaman.
Tahun lalu kabut asap, tahun ini Pariaman selalu disiram
hujan. Bahkan disertai angin kencang. Sejak awal prosesi Tabuik bulan Muharam
tahun 2016 ini, awal bulan Oktober, memang luarbiasa. Hujan. Sehingga prosesi
dan kegiatan hiburan hampir tak terlaksana dengan maksimal. Bahkan sampai pada
hari Puncak sekalipun, yang biasanya tak pernah terhalang hujan, sejak pagi
sampai malam, hujan datang berturut-turut.
Tabuik sudah
banyak dirubah. Ada banyak suara menyebut, perubahan itu untuk penyesuaian. Mulai
dari momentum tradisi menghimpun partisipasi masyarakat Piaman Laweh, meliputi wilayah Tiku
– Lubuak Basuang (Kabupaten Agam), Kabupaten
Padang Pariaman, Kota Pariaman dan Koto
Tangah – Kuranji -Pauh V – Lubuak Bagaluang - Lubuak Kilangan – Bunguih Taluak
Kabuang (Kota Padang) serta masyarakat di rantau (perantau Piaman), kini Tabuik
sudah berganti menjadi agenda Pemerintah Kota Pariaman. Dibiayai APBD.
Mencatat
yang lainnya perubahan itu misalnya, acara “Basalisiah” prosesinya seperti
boleh ada boleh tidak. Pun waktu “selesainya” lebih sering cepat daripada
terjadi terlambat. Daraga Tabuik yang semula hanya dibuat di rumah pewaris
Tabuik, dipindahkan ke tempat lain. Pembuatan Tabuik, semula berbaur dengan
pemukiman masyarakat, kini “dijauhkan.” Hari pelaksanaan Tabuik yang semula 10
hari, mulai 1 Muharam sampai 10 Muharam, disesuaikan dengan program yang
dikehendaki, seperti tahun 2016 ini, menjadi 15 hari.
Yang jelas,
sejak awal prosesi Tabuik dilaksanakan sampai Tabuik diakhiri tahun ini, di
Pariaman selalu turun hujan. Adakah kaitannya dengan perubahan yang dilakukan
sekarang, sebagai “pertanda,” karena merubah tradisi yang sudah dilaksanakan
turun temurun dari “pendahulu,” dimana mereka nenekmoyang itu, bisa jadi ketika
memulai dulunya “memasang” niat dan “membaca sumpah” (?). yang kita tak tahu
atau tidak mau tahu.
Wallahualam
bissawab….
“Mane ketehe yuaaang…!!! Ancau kabirau je
lah. Wak ndak samo di dalam doh, wa’den tagak lua je nyeh. Ang kan lah tahu juo
mah, lah itu maineee. Indak kecek den, kecek pepatah lamo komah; Nan bagarih
tantu makanan pahek, samo kito caliak an, buah masak lamo lambek jatuah juo ka
tanah. Keh keh keh…”
(terjemahannya:
Belajarlah dengan Cimeeh Piaman – walau apapun bentuk dan tujuan permainan,
jangan dimain-mainkan bahkan dipermainkan. Sakral atau pun tidak)
Boleh
percaya, boleh tidak.
abrar khairul ikhirma
pengamat budaya dan urang piaman
17 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar