Kata orang, kehidupan teater di Sumatera Barat masih hidup. Boleh saja pendapat
itu benar. Kalau “mati,” bagaimana nasib segelintir “seniman” yang telah
terlanjur “mengaku diri” sebagai orang teater selama ini? Gelar teaterawan menjadi “label” mereka, tentu
harus juga dirobah menjadi “bekas teaterawan.” Mungkinkah?!
ANEKDOT itu
muncul, mengingat kehidupan teater di Indonesia dewasa ini semakin memasuki
masa suram. Orang yang dulu bergiat di teater sudah pindah jalur, serupa tapi
tak sama. Bahkan ada banting stir. Dunia tontonan panggung teater, tidak lagi
menarik perhatian.
Masyarakat
“keburu” terbius oleh sajian-sajian dari tabung kaca, yang dinamakan pesawat
televisi. Nyaris 24 jam seharian mendatangi rumah-rumah, ruangan kerja atau
ruang-ruang tunggu publik tanpa harus datang ke gedung pertunjukan teater.
Sejumlah orang
teater kini bergiat di acara TV. Mereka dapat terkenal dan mendapatkan honor.
Kalau dulu, suatu prestise bila dapat
main di film layar lebar meskipun honor kecil. Tapi kini dengan mudah dapat
bayaran lumayan, tanpa proses berbelit, tanpa harus mengenal teater
sesungguhnya, semua orang dapat memiliki kesempatan “mengadu nasib” menjadi
pemeran di sinetron –sinema elektronik-- di berbagai rumah produksi. Kemudian
ditayangkan oleh stasiun TV. Ditonton banyak orang di banyak tempat.
Kehidupan seni
teater moderen di daerah, sesungguhnya belum mendapatkan hal yang terbaik.
Masih bergerak dalam wilayah kelompok studi dan apresiasi. Di Sumbar, dalam
rentang beberapa tahun, kelompok-kelompok teater memang terbentuk. Umurnya
lebih banyak dihitung bukan dari jumlah kegiatan pementasannya. Tetapi ketika
terbentuk yang ditandai dengan pementasan pertamakalinya.
Kalaupun
melakukan pementasan, hanya pengulangan belaka yang pernah digarap terdahulu.
Hasilnya juga tidak lebih baik. Umumnya, pelaku adalah salah seorang yang
pernah menjadi pemain, dalam suatu pementasan naskah teater yang
dipertunjukkannya. Andaikan saja orang seperti itu tidak pernah menjadi pemain
dengan naskah yang sama, mungkin (diduga) dia tak akan pernah dapat menjadi
sutradara.
Di Sumbar, pernah bertumbuhan
kelompok-kelompok teater. Bumi Teater yang didirikan Wisran Hadi dkk di tengah tahun 70-an, dengan markas Pusat Kesenian
Padang, menjadi “pemicu” lahirnya generasi teater. Hingga di sejumlah kabupaten
diluar Kota Padang muncul penggiat seni. Sebut saja, Sanggar Paris di Pariaman dan Angkasa
Bina Seni di Bukittinggi, pernah mengalami masa kejayaan. Diikuti sanggar
di sekolah-sekolah terkemuka juga tak kalah aktifnya.
Atmosfir
berteater di daerah ini, sebenarnya muncul ketika diselenggarakan Festival
Teater atau momen sejenis. Baik yang diselenggarakan di daerah maupun demi
memenuhi undangan ke Jakarta –ke Taman Ismail Marzuki, misalnya. Namun momen
itu sudah sulit sekali tersua. Sejak terjadinya kehidupan sajian layar kaca,
teater semakin tersuruk dan terpuruk di dalam romantismenya yang
ironis.
Hal itu juga
dialami daerah ini. Nama-nama lama masih belum dapat dilanjutkan oleh nama-nama
(perbuatan) baru yang dapat dipertanggungjawabkan. BHR Tanjung, Wisran Hadi, A.Alinde, Hardian Radjab atau pun Edy Anwar, Edi Utama dan Raffendi Sanjaya. Selain memimpin sanggar, mereka juga menjadi sutradara. Begitu pula untuk
aktornya, Alwi Karmena, Asbon Budinan
Haza, Muhammad Ibrahim Ilyas, Ilhamdi Sulaiman dan, Rizal Tanjung. Epigon mereka-mereka
itu masih terasa kental mempengaruhi generasi teater berikutnya.
Atmosfir
“berteater” 1970-an dan 1990-an sejak beberapa tahun terakhir di Sumbar, sebenarnya sudah “terkapar” dan
hanya tinggal sejumlah orangnya saja. Salah satunya seniman teater Muhammad Ibrahim Ilyas, yang dikenal
dengan panggilan Bram. Agaknya, dialah satu-satunya aktor teater Sumbar dicatat
oleh WS
Rendra, dalam bukunya “Mempertimbangkan
Tradisi” terbitan Gramedia, tahun 1983.
Bram menjadi
pemeran “Malin Kundang” dalam Pertemuan
Teater 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tulis Rendra dalam bukunya, “Para pemain rata-rata berseni dengan baik,
terutama pemegang peran Malin Kundang dan Puti Campo. Mereka memang mempunyai
perbawa pemeran utama. Tidak sekadar rupawan tetapi juga anggun. Vokal
rata-rata pemain bagus. Energi dan stamina juga bagus.”
Entah tersebab
pengakuan itu, Bram semakin jauh menapaki dunia teater. Ia senantiasa bergiat
dan menjadi orang yang mendorong ---memotivasi--- banyak kelompok teater. Dia sampai mengecap pendidikan teater di ISI
Yogyakarta. Ikut dalam sejumlah kegiatan teater dan seni, berikut tampil di
TVRI Yogyakarta. Bersama sutradara dari Jepang, Bram pernah berkolaborasi teater,
dengan mengambil cerita rakyat dari Jawa (Indonesia) dan Jepang. Kemudian
dipertunjukkan di kedua negara itu.
Dalam beberapa
tahun terakhir, Bram kembali ke Sumbar dan menetap di Padang. Cuma semangat
berteaternya tak berimbang dengan atmosfir teater di daerah yang tak memberikan
kehidupan. Yang tertinggal hanya sisa-sisa “kenangan masa lalu,” yang amat
sulit untuk dibangkitkan. Selain memerlukan “siasat” juga tendangan krisis
global dan perubahan masyarakat, bukanlah tantangan ringan.
Sebagaimana dikatakan
oleh tokoh teater Indonesia WS Rendra jauh di masa lalu bahwa, “Adalah memang kenyataan bahwa teater modern
di Indonesia miskin akan penonton, miskin akan kesempatan, miskin akan modal,
miskin akan keuntungan material, miskin akan peralatan teknis..., dan
sebetulnya juga miskin akan dramawan yang baik.”
Saat menjumpai
Bram pekan lalu bersama penyair dan penulis biografie Abrar
Yusra di Rumah Sakit Yos Sudarso Padang, ingatan tentang
teater dan kehidupan seni teater di Sumbar seakan terkenangkan. Terpikirkan
kembali, dalam keadaan zaman dewasa ini. Selain seorang aktor teater, ia tak
pernah berhenti berkeinginan, untuk menggarap pementasan dan berperan di atas
panggung teater. Ingin menjadi dramawan yang baik. Ia memang merasakan suatu
“kehidupan” penuh enerji ada di sana. Tetapi banyak enerji yang jauh lebih
kuat, diluar kehidupan kesenian dan kebudayaan, yang membuat upaya-upaya
“kebangkitan” menjadi tidak memiliki hasil apa-apa.
Bukan hanya
Bram, kita juga (sedikit banyak) menyadari dalam semua lini, sudah lama terjadi
pergeseran nilai-nilai, pola hidup dan pola pandangan setiap orang. Tidak hanya
melihat, juga telah merasakan segala akibat-akibat yang ditimbulkan. Baik
positif maupun negatif di dalam kemasyarakatan.
Semuanya,
adalah keadaan zaman.
Namun, sungguh
pun begitu, hanya orang-orang tertentu “tahan banting” yang akan tetap
bertahan, mencatat dan memahami setiap perjalanan dan perobahan yang terjadi.
Seniman dan pemikir sejati. Bram yang terserang sakit gejala diabetes dan
radang paru-paru, kini masih dalam perawatan. Dalam keringkihan itu, ia masih
melihat teater dan kehidupan kesenian sebagai jalan pencerahan.
Meskipun harus
berjuang “teramat” keras, kehidupan teater dan kesenian ataupun kebudayaan di
Sumbar, sampai (terutama) hari ini, sesungguhnya memerlukan “perawatan.”
Sama seperti
keadaan Bram kini.
* Bukittinggi, 20/11/2008
(Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat Harian Singgalang, Padang, di bulan November 2008)
Sungguh tulisan yang jujur :) membaca tulisan ini di tahun 2016 dengan backsound 'stressed out' dari 21 pilot. Liriknya begini, "wish we could turn back time to the good old day.. but they scream, wake up, you need to get money." :<
BalasHapusAntah....antah....antah...kata wisran di anggun.....a i u e o .....kata Bram yang kutonton bersama Emil Demitra dan akang Marzuki mahdi
BalasHapushahaha.... terimakasih uni
Hapus