73 Tahun Sasterawan Malaysia ke 11 Ahmad Khamal Abdullah
Mula pertama membuka mata
Tangis menyongsong udara
Geliat tubuh lunak selunak hati
Peluk bungkus badungan
Kain lekat terasa nyaman
Bersenandunglah wahai kasih sayang
Julang berjulang meninggi ke awan
Anak lelaki sinar rembulan
Tak setapak enggan membayang
Ayah bunda melepas di pintu
Jejak pergi menjauh sunyi berlalu
Entah kapan kan pulang
Membungkah rindu harapan
Sudah habis dawat di cawan meja
Sudah bertumpuk kertas di almari
Sudah tak kan sudah cerita
Hidup tak berpintu berjendela
Ilmu tak berbatas dunia
Pun sampai ke negeri cina
Anjuran bergema shalawat
Berbatas akhirat
Merentangkan benang tujuh warna ke segara tak berbatas
Tujuh rupa jalan harus ditempuh setelah subuh
Mekar kembang dalam bejana pucuk menjelma daun
Ranting berubah menjadi dahan dan dahan jelmakan batang
Tegak berdiri di tanah bumi Allah
Kun fayakun !!!
Telah dicipta perahu membawa untung perasaian
Di samudera kehidupan tempatmu berlayar
Layar kembang menyongsong gelombang
Haluan satu ke tujuan Maha Tahu
Dalam batin engkau menemu
Tak ada negeri tak berjiwa
Tak ada rumah tak berdebu
Tapi kau selalu menghayatinya pada kalbu
Tak hendak pergi selalu bersamamu
Dian yang tak kunjung padam
Titik kecil di tengah kegelapan
Berjalan menerobos gulita
Di sana hidup kan bermakna
Perahu membawa pada musim kering di laut yang basah
Perahu menuju arah yang satu di musim tak menentu
Perahu terhempas di gelombang arus nan kuat
Perahu oleng di alun persaudaraan
Tapi engkau bertahan dalam ketuaan musim
Meremukkan tubuh di udara yang berkisar
Berganti musim dan bertukar cuaca
Meski peta tua masih tersimpan di dalam laci
Di bilik masa silam tak terkunci
Engkau yang terus mencari
Engkau yang terus mencatat
Engkau yang terus tegak berdiri
Engkau yang terus kukuh semangat
Walau hutan beton menghadang
Menjulang langit menerjang pandang
Walau hutan beton mengepung
Beku mendinding sukma terkurung
Walau hutan beton isi tapak bumi
Tiada tumbuh pohon nan rindang berseri
Mula pertama membuka mata
Tangis menyongsong udara
Geliat tubuh lunak selunak hati
Peluk bungkus badungan
Kain lekat terasa nyaman
Bersenandunglah wahai kasih sayang
Julang berjulang meninggi ke awan
Anak lelaki sinar rembulan
Tak setapak enggan membayang
Ayah bunda melepas di pintu
Jejak pergi menjauh sunyi berlalu
Entah kapan kan pulang
Membungkah rindu harapan
Sudah habis dawat di cawan meja
Sudah bertumpuk kertas di almari
Sudah tak kan sudah cerita
Hidup tak berpintu berjendela
Ilmu tak berbatas dunia
Pun sampai ke negeri cina
Anjuran bergema shalawat
Berbatas akhirat
Merentangkan benang tujuh warna ke segara tak berbatas
Tujuh rupa jalan harus ditempuh setelah subuh
Mekar kembang dalam bejana pucuk menjelma daun
Ranting berubah menjadi dahan dan dahan jelmakan batang
Tegak berdiri di tanah bumi Allah
Kun fayakun !!!
Telah dicipta perahu membawa untung perasaian
Di samudera kehidupan tempatmu berlayar
Layar kembang menyongsong gelombang
Haluan satu ke tujuan Maha Tahu
Dalam batin engkau menemu
Tak ada negeri tak berjiwa
Tak ada rumah tak berdebu
Tapi kau selalu menghayatinya pada kalbu
Tak hendak pergi selalu bersamamu
Dian yang tak kunjung padam
Titik kecil di tengah kegelapan
Berjalan menerobos gulita
Di sana hidup kan bermakna
Perahu membawa pada musim kering di laut yang basah
Perahu menuju arah yang satu di musim tak menentu
Perahu terhempas di gelombang arus nan kuat
Perahu oleng di alun persaudaraan
Tapi engkau bertahan dalam ketuaan musim
Meremukkan tubuh di udara yang berkisar
Berganti musim dan bertukar cuaca
Meski peta tua masih tersimpan di dalam laci
Di bilik masa silam tak terkunci
Engkau yang terus mencari
Engkau yang terus mencatat
Engkau yang terus tegak berdiri
Engkau yang terus kukuh semangat
Walau hutan beton menghadang
Menjulang langit menerjang pandang
Walau hutan beton mengepung
Beku mendinding sukma terkurung
Walau hutan beton isi tapak bumi
Tiada tumbuh pohon nan rindang berseri
Kau selalu menyemai bibit baru
Kau selalu merawat agar hidup
Kau selalu berharap rimbun
Kau selalu biarkan teduh
Kau selalu
Dan selalu
Di sini
Di negeri tak bertepi
Engkau tetap berjaga di gerbang itu
Melayarkan perahumu ke hutan-hutan beton
Melabuhkan kata ke ruang-ruang hampa
Menghidupkan lentera di tiap dinding beku
Menyerak jala di ujung ombak bertahun
Melepas kail ke ikan-ikan artificial
Selalu berlabuh ke sebongkah hati
Ke sekarang keteguhan manusia
Jiwa berjiwa jiwa jiwa berkata
Tak diam tak karam
Tak ragu tak padam
Tak kaku
Tak semu
Tak pupus
Tak hangus
julang Melayu
ke bahtera nan dituju
Tak sontak
Tak retak
Tak ombak
Tak badai
Tak henti.
73 tahun
Kau
Kini.
[Padang, 08 April 2014]
Kini.
[Padang, 08 April 2014]
Puisi ini salah satu puisi yang
terhimpun dalam buku kumpulan puisi “Kain Cindai Panjang Tujuah,” karya Abrar
Khairul Ikhirma, terbitan indie Cati Bilang Pandai, Padang, Sumatera Barat,
tahun 2015.Buku puisi menghimpun puisi-puisi yang ditulis ketika menghadiri
Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar