BOLON orang pertama dan satu-satunya,
sampai masa akhir hayatnya, menyebut diriku “pujangga.” Penamaan maha tinggi
dalam dunia kesastraan. Tidak semua orang memperoleh sebutan itu. Suatu
mustahil pula aku dapat meraihnya. Tetapi
Bolon walaupun hanya seorang guru mengaji di kota kami tidak demikian
adanya. “Kamu pujangga,” kata Bolon padaku semasa masih berkemeja putih,
bercelana pendek biru tua, pakaian seragam siswa sekolah menengah. Sejak itu tak pernah Bolon menyebut namaku.
Hanya memanggilku “Pujangga” dimana pun dan kapan saja.
HARDIMAN BOLON |
Sampai hari ini, aku sama sekali tidak mengetahui akan
definisi “pujangga” itu. Termasuk hal bagaimana seseorang dapat disebut sebagai
seorang “pujangga.” Saat belajar di sekolah menengah dulunya, pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia, dalam
kesastraan yang diajarkan, aku hanya mengenal istilah “Pujangga Lama” dan “Pujangga
Baru.” Sebuah masa untuk menyebut periodesasi karya sastra. Sedang
masa-masa selanjutnya, hampir-hampir tak pernah aku dengar lagi orang menyebut
pujangga.
Pada masa usiaku sangat muda, terutama masa sekolah
menengah, saat mengalami “kegilaan” dengan dunia baca membaca, mulai merintis
jalan mengirimkan karya tulis ke suratkabar terbitan daerah, termasuk juga yang
bersifat berita. Aku selalu berjumpa seorang lelaki berwatak tenang tiap hari
di toko buku penjual suratkabar. Bila suratkabar di tangannya terkembang,
ekspresinya seakan melumat habis semua berita yang disajikan Koran di
hadapannya.
Bolon, nama lelaki itu. Orang-orang di kota kami juga
memanggilnya dengan Bolon. Kami selalu bertemu, jika aku singgah ke toko buku Pustaka
Yadi, di ujung jembatan di Pasar Pariaman ---sekarang bangunan toko itu
tidak ada lagi, sudah menjadi areal parkir, kompleks pertokoan . 2 petak toko
itu dulunya adalah satu-satunya menjual buku-buku bernafaskan keagamaan,
majalah dan suratkabar terbitan nasional dan daerah. Pemiliknya seorang sudah berusia tua, setua
tokonya yang apa adanya. Tidak rapi. Berdebu. Namun para pesuka membaca,
terutama ingin mengetahui berita-berita dari suratkabar, tetap saja datang.
Betah berlama-lama duduk di bangku yang terdapat di dalam toko.
Bolon adalah seorang guru mengaji di Surau Pasa atau ada juga sebahagian menyebutnya dengan Surau Anjuang, berdampingan dengan
Masjid Pasa Pariaman di Kampuang Perak. Ketika masa itu, anak-anak Kenagarian
Pasa dari empat jorongnya; Kampuang
Perak, Pasia, Lohong dan Karan Aua,
belajar mengaji di Surau Pasa. Sekarang 4 jorong ini telah berubah status menjadi
4 Kelurahan mengikuti status Kota Pariaman yang semula menjadi ibukota
Kabupaten Padang Pariaman, kini menjadi berdiri sendiri sebagai salah satu
wilayah tingkat II, dalam Provinsi Sumatera Barat.
Bolon diketahui kemudian pindah mengajar anak-anak mengaji
di Masjid Piaman di Simpang Kampuang Cino. Mereka yang pernah belajar mengaji
dengan Bolon sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Dulunya anak-anak, kini
sudah remaja, dewasa, bahkan sudah hidup berkeluarga. Itulah sebabnya nama
Bolon hampir semua masyarakat
mengenalnya, terutama masyarakat di Kenagarian Pasa maupun sebahagian
Kenagarian V Koto Aia Pampan yang berdampingan dengan Kenagarian Pasa.
Sejak aku mengenal Bolon, beliau memang suka bergaul dengan
anak-anak. Memahami segala tingkah polah mereka. Walau pun Bolon terlihat
dengan karakter yang tegas, sesungguhnya ia pun senang untuk bercanda pada
setiap orang. Karena setiap hari beliau membaca berita suratkabar, ia pun
memiliki pengetahuan luas. Tidak menjadi seorang yang ketinggalan informasi.
MEMIMPIN DO'A DI TABUIK PASA 2014 |
Banyak kisah-kisah sempat aku dengar diceritakan para murid
yang pernah belajar mengaji dengannya. Tentu saja kisah kenakalan dan
kekurang-ajaran selama mereka belajar mengaji pada Bolon. Murid yang nakal dan
kurang ajar bagi Bolon sudah hal biasa ditemuinya. Namun ia tak pernah
berdendam dan sakit hati. “Itu dinamika mengajar anak-anak,” katanya suatu kali
pernah aku tanyakan perihal itu pada Bolon. “Yang penting, mereka bisa mengaji.
Setidaknya mereka sudah ada dasar untuk tahu bahwa beragama Islam memiliki Al
Qur’an, dapat menjadi pedoman hidup mereka,” katanya dengan santai, ketika aku
bertemu Bolon di tahun 1995, sepulang dari Jakarta.
Salahsatunya Bolon menceritakan pengalamannya, sewaktu
mengajar mengaji malam hari, tiba-tiba lampu penerang mati. Dari terang
mendadak gelap. Muridnya langsung ribut. Saling berbuat kejahilan. Sebuah
sandal jepit tiba-tiba terlempar ke wajahnya. “Kadipangakan lai…,” kata Bolon. Artinya, mau diapakan lagi.
Selain Bolon pernah membaca karya puisiku yang diterbitkan
suratkabar daerah, hampir tiap momen aku baca puisi di kota kami, Bolon selalu
terlihat. Terkadang hanya berhenti sejenak, kemudian melanjutkan lagi
perjalanannya dengan sebuah sepeda tua. Itulah membuat Bolon lebih suka
menyebut namaku “pujangga,” ketimbang namaku yang sebenarnya.
Bertahun-tahun aku tak pernah pulang ke kota kelahiranku.
Aku menduga Bolon tak akan lagi memanggilku dengan Pujangga. Rupanya tidak.
Pada beberapa kali penyelenggaraan prosesi Tabuik ---pesta tradisi setiap bulan
Muharam--- Bolon bertugas memimpin do’a pada acara “Ma Ambiak Tanah” dan “Ma
Ambiak Batang Pisang.” Karena aku hadir di lokasi pada momen ini, kami bertemu.
“Lai Pujangga Kodak awak tadi tu,” kata
Bolon padaku. Artinya, “Ada Pujangga potret saya saat tadi itu.” Karena aku
selama acara berlangsung sibuk mengambil gambar dengan camera foto.
Ada sejumlah petang hari kami bertemu secara kebetulan
sekitar Pasar Pariaman. Bolon tidak lagi mengayuh sepedanya tapi hanya
menuntunnya. Berjalan dengan berpegangan sepeda. Sewaktu lewat di depan tempat
menjual makanan buka puasa atau berpapasan di jalan saat aku berjalan kaki.
Kesehatannya sudah menurun. Ia pun dalam bicara tak lagi lancar. Setiap bertemu
denganku ia tetap terhenti sejenak. Aku selalu menyapanya meskipun aku tak pernah
menjadi muridnya. Kami berteman baik.
Rabu 22 Juni 2016, sekitar sesudah sholat Isya, aku mendapat
kabar duka. Bolon telah dipanggil ke Rakhmatullah menghadap Sang Khali’ dalam
usianya 60 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…., Saat mengetahui kabar
itu, aku berada sekitar pasar segera saja menuju rumah almarhum di Lohong, Kota
Pariaman, tidak jauh dari pasar. Sekejap rumah duka menjadi ramai. Seketika
hujan turun menderas. Hujan reda sudah menjelang dinihari. Alam seakan menangis
dengan kepergiannya.
Tahulah aku bahwa nama Bolon rupanya adalah Hardiman. Meskipun mengenalnya sejak
tahun 1976 silam. Tahun terakhir sebelum almarhum Bolon menurun kesehatannya,
ia tidak lagi mengajar mengaji di masjid. Ia mengajar anak-anak mengaji dari
rumah ke rumah. Itu dijalaninya penuh disiplin.
Kini Bolon Sang Guru mengaji kita sudah tiada, tiada lagi
orang yang kita lihat melintas dengan sepeda kesayangannya dari rumah ke rumah dikala
petanghari dan dari rumah ke masjid saat waktu sholat. Bolon dimakamkan di
Parak Jua, Kamis 23 Juni 2016.
Al-Fatehah, untuk Bolon yang memanggilku dengan “Pujangga.”
abrar
khairul ikhirma
Kenangan di hari ulangtahunku
Selasa 8 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar