Di salah satu sisi tangga bahagian
luar, merupakan pintu masuk auditorium, aku berdiri dalam kesendirian. Sendiri
tak bersunyi senyap. Aku menikmati suasana di sana sini, sekitar kawasan tangga
yang ramai orang. Mereka terlibat pembicaraan santai penuh keakraban, karena
sudah saling mengenal. Di ujung kedua sisi tangga terparkir 2 mobil dimodifikasi
menjadi kedai buku keliling. Dikelola DBP dan ITBM. Rak-rak buku, terisi buku beragam
jenis terutama berkait dunia kesastraan.
Sama sekali aku tidak merasa asing dalam situasi serupa ini.
Tidak juga merasa sangat akrab. Karena memang dalam setiap keramaian, aku lebih
senang hanya “memperhatikan” sekaligus “menikmati.” Sehingga aku senantiasa
tidak akan reaktif, “memperkenalkan” diri atau pun memanfaatkan ambil
“perhatian” di depan orang ramai dengan apapun alasannya. Bukan kepribadianku. Pilihan
paling akhir ialah, mencari posisi pada lokasi aman, agar dapat duduk tenang
sambil merokok. Walau pun tak merasa keberatan untuk tersenyum pada tiap orang
yang bertemu pandang atau pun menyapa dengan baik.
Seketika, pada saat hari berangkat siang di Kota Kuala
Lumpur, sinar matahari membakar, bangunan beton tegak kaku menguapkan rasa
panas, mataku tertuju pada seseorang ---kebetulan aku duduk di bandul sisi
tangga, menghadap ke arah kedatangannya ---lelaki tua itu berpenutup kepala,
berkostum pakaian gunting China, berjenggot tak hitam lagi, dengan gayanya spesifik.
Datang dengan langkah tergesa-gesa, seakan mencari seseorang atau sesegera
mungkin sampai ke tujuan, sudah datang terlambat.
Aku memastikan lelaki tua menuju tangga auditorium itu
adalah
Mazlan Noor. Pelukis
Malaysia. Aku tak menduga beliau juga hadir dalam tajuk acara puisi ini dan
kami dapat berjumpa di sini. Namanya mulai aku kenal, sejak dia bergabung dalam
list-pertemanan akun fb-ku. Di dalam fb ku ada sejumlah teman-teman dari
Malaysia sudah terlebih dahulu bergabung. Tidak banyak jumlahnya. Karena aku
sendiri berusaha untuk membatasi diri, dalam menerima pertemanan. Tak heranlah
untuk bergabung dengan akun fbku, adalah kesukaran. Mungkin juga sasaran untuk
sumpah serapah, tersebab aku telah banya menolak permintaan.
Pertalian pertamaku menerima akun Mazlan Noor, memastikan
dia adalah seorang pelukis. Sama juga pada waktu sebelumnya, menerima akun Nazeka Kanasidena ---Zubir Osman--- dari
Sabah, karena dia seorang fotografer. Dalam perjalanan waktu, barulah aku
mengetahui, keduanya juga “bermain” dengan teks. Teks dimaksudkan ialah puisi
dan catatan pendek. Dari banyak orang yang pernah aku perhatikan, khususnya
pada dua bidang seni itu, tidak banyak memiliki kemampuan bersamaan. Bila
melukis ya hanya menghasilkan lukisan. Bila memotret ya hanya menghasilkan
gambar foto.
Padahal kemampuan “menulis” adalah satu bukti, seseorang
“memiliki” intelektual tak sekadar hanya mampu menghasilkan secara teknis ---
misalnya, lukisan atau foto. Sebab
menurut hematku, karya-karya terbaik dan bermutu, hanya dihasilkan oleh mereka
pemilik ide ---pengalaman dan pemikiran--- Tanpa didasari oleh hal itu,
kemampuan teknis hanya akan berhenti pada tingkatan “indah” dan “baik.” Tidak
pada pencapaian yang ingin disampaikan
seorang seniman “seharusnya” dengan kreatif pada suatu karya yang
diciptakannya. Menulis adalah menyampaikan pokok persoalan-pemikiran.
Melatihnya dalam keseharian. Meningkatkan kepekaan. Ketajaman.
Aku pernah mengenal seorang pematung. Karya patungnya
menurutku memberikan alternative. Kreatif. Pada saat itu nama dia mulai
dikenal. Tatkala teringat akan kesehariannya, aku menjadi “hambar” karenanya
untuk membedakan dari yang lain. Dia pernah tidur “menumpang” pada satu bilik
yang dijadikan perpustakaan pribadi. Di sekelilingnya berada aneka macam buku,
majalah atau pun suratkabar. Namun tak pernah terlihat bagiku dia membaca,
membawa buku, bahkan buku terjatuh di dekatnya pun tak akan diselamatkan pada
tempat yang baik. Begitu juga dalam pembicaraannya, tak terkesan ia memiliki
pemikiran dan pengetahuan wawasan yang luas. Biasa saja. Hambar dan kering.
Berbeda pertemuanku dengan pelukis bohemian Indonesia,
pelukis Nashar. Lukisan-lukisannya
abstrak, penuh warna-warni. Ia amat menyukai dengan judul “Irama Alam.”
Sebahagian besar lukisannya tidak disukai kolektor dimasa beliau hidup. Ketika booming seni lukis terjadi di Indonesia,
beliau tidak ikut menikmati manisnya uang hasil penjualan lukisan karyanya.
Namanya tercatat dalam peta seni lukis Indonesia tapi namanya tak komersil
dalam bursa. Karena lukisannya tidak menjadi rebutan banyak orang. Nashar asal
corat-coret kanvas saja ? Mengatakan lukisannya beraliran abstrak, sebagai
penghindaran bahwa sesungguhnya ia tak beride, berpemikiran dan tidak kreatif ?
Pelukis Nashar tidak hanya seorang pelukis. Dia juga pemikir
kesenian. Beberapakali bertemu beliau dalam perbincangan, di beberapakali momen
dan tempat berbeda, terkesan ia memiliki wawasan yang luas. Pengamatan, analisa
dan kesimpulannya sangat tajam. Lukisannya boleh-boleh saja beraliran abstrak
tapi di balik itu, lukisan-lukisannya dihasilkan dari kematangan intelektual.
Aku pun pernah membaca tulisannya yang terhimpun ke dalam buku, “Surat-surat Malam,” diterbitkan
Penerbit Pustaka Djaya, Jakarta. Sangat inspiratif.
Itulah perlunya untuk mengetahui terlebih dahulu seseorang,
tidak hanya sekadar nama. Bagiku sederhana saja. Di medsos ---media social--- ibaratkan
mencari jarum dalam jerami. Susah menentukan akun-akun benar dan orang yang
benar. Tentu saja perlu diketahui “selera” pemilik akun. Ada banyak akun-akun
fb, diprediksi semula bertujuan berteman, tahu-tahunya hanya sekadar “media
penyiaran” satu arah. Itu artinya, akunku dijadikannya sebagai salah satu
“fansnya.” Tidak bertujuan pertemanan.
Mengapa pelukis dan fotografer ? Kedua profesi itu tidak
asing bagiku. Aku sendiri pun memiliki jalan itu. Sehingga berkesimpulan
“pertemanan” semacam dengan Mazlan Noor dapat bertalian. Pertemanan sulit
terjadi pada perbedaan. Sekadar tahu tapi tidak berteman. Karenanya, alam sudah
menunjukkan pelajaran berharga dalam hidup kita, air yang tak mendapatkan posisi kerendahan, tidak akan mengalir. Jika
tidak mengendap ke dalam tanah, akan lenyap menguap ke udara.
Pada rentang pertemuan lewat media fb, postingan aktifitas
Mazlan Noor tak pernah senyap. Dia rajin mempublikasikan aktifitasnya. Sekilas
mungkin oleh banyak orang perihal itu membosankan. Padahal bila berelahati
mencermatinya dengan pikiran positif, Mazlan salah seorang yang memanfaatkan
fasilitas teknologi dengan baik, dengan tujuan sebagai pelukis mendekatkan
karya dengan masyarakat, sebagai Mazlan peribadi mencatat perjalanan dan
aktifitas yang dilalui.
|
DI FORUM TEMU PENYAIR ASEAN 2016 |
Antara kami berdua, memang belum pernah terjadi percakapan
lewat inbox. Hanya beberapakali saja
di kotak comen status. Itupun say hello.
Jadi, aku belum memiliki gambaran banyak hal terhadap dirinya sebagai pelukis,
pun belum mengenal lebih jauh perihal lukisan-lukisannya. Namun berdasarkan
pengamatanku, pada apa-apa yang diposting melalui akun peribadinya secara terus
menerus, setidaknya, aku dapat sekilas mengikuti jejak kesenimanannya.
Aku seorang yang menolak statemen mengatakan bahwa, apa yang
diupdate pada media medsos bukanlah suatu ukuran dalam melihat seseorang.
Karena bagiku, aku lebih sependapat filosofi garam. Dibekukan atau pun
dimasukan ke dalam air, rasanya tetap asin. Bentuk boleh berubah, sedang
prinsipnya tetap. Benang merah karakter dan pemikiran seseorang akan tercermin
pada ungkapan ataupun perbuatannya. Juga pilihannya!
Merujuk dari sejumlah karya sketsa hitam putih pelukis
Mazlan yang pernah dipublikasikan di akun fbnya, sketsa karyanya sangat kuat
secara teknik, tarikan garis dan perspektifnya. Pemilihan objek pun tidak
sembarangan. Membawa pesan-makna. Membedakan sebuah potret dari hasil camera
teknologi. Misalnya, betapa ia tertarik mensketsakan rumah-rumah nelayan, saat
mendatangi kawasan pesisiran. Sentuhan mood
itu tentu tidak hanya tersebab melihat objek artistic belaka. Ada latarbelakang
keprihatinan pada dinamika social, ekonomi dan keberlangsungan hidup segelintir
masyarakat, diantara gegap gempita kemajuan-kemajuan di sisi lainnya.
Melihat sketsa dengan objek rumah dan kawasan masa kecilnya,
Kampung Serkam, Melaka, misalnya.
Kita dapat menangkap di balik dinamika social, ekonomi, manusia dan alam
sekitarnya, Mazlan secara universal mencitrakan akan kerinduan. Sesuatu paling
murni bagi setiap manusia. Suasana kerinduan masa lalu. Kerinduan itu dapat
kita maknakan secara universal. rindu kita akan lingkungan yang damai dari
gebalau kehidupan perkotaan. Dimana perihal tak dapat dielakkan di permukaan
bumi ini. Bangunan penyekap beton yang dihuni dengan rutinitas. Pertumbuhan
manusia menempati kawasan terbatas. Kaku. Hampir-hampir “mematikan”
keterhubungan manusia dengan alam. Manusia dengan sesamanya. Serba sibuk. Serba
nafsi-nafsi.
Pada dua contoh saja, dua karya sketsa Mazlan yakni dengan
objek
Candi Borobudur (Indonesia) dan
bangunan tua di Pakistan. Dapat menjelaskan bahwa Mazlan juga memiliki
perhatian pada kekayaan arsitektur, sejarah dan fungsinya. Terasa objek yang
ditampilkan menjadi khas dan menarik.
Karena semakin berkurangnya di berbagai
belahan bumi, sentuhan seni masa silam, tergantikan dengan arsitektur baru
mewakili zamannya yang modern. Sementara lebih luas lagi, dapat pula dimaknakan
merupakan karya seni symbol akan topic tak pernah padam, pada soal-soal
keagamaan dan relegius. Di balik ketajaman goresan sketsanya, tersimpan
memancing ingatan kita pada hal-hal semacam demikian: manusia dengan agamanya.
Manusia dengan keyakinannya.
Dalam kepelukisannya, Mazlan dapat dipujikan, silih berganti
berkesempatan untuk bepergian ke berbagai tempat, daerah, bahkan antar Negara. Beliau
menamakan dengan “Kembara.” Perjalanan yang dilakukan, semakin memperkaya
pendekatan social, pendekatan orang per orang, termasuk pengalaman batin kian
mengental, kemahiran untuk melukiskan pun semakin matang. Membuktikan Mazlan
bukan pelukis yang senang berkutat di dalam studio. Berkurung diri. Berasyik
sendiri. Tanpa terlibat persoalan dunia luar dalam setiap proses kreatifnya.
Mazlan pada setiap “kembara” harfiahnya, selalu membawa
peralatan untuk dapat mensketsa. Ia dapat melakukannya, kala berhenti sejenak
pada satu tempat, atau memang bersengaja mengunjungi suatu objek, bahkan pada
saat menunggu sang isteri berbelanja di supermarket, pada satu sudut lokasi tak
masuk akal, ia segera saja dapat berkarya sketsa.
Mazlan Noor telah menghimpunkan karyanya pada sebuah buku, “dan kembara kuteruskan,” diterbitkan
oleh Dewan Bahasa Pustaka Kuala Lumpur. Kembara perjalanan kreatifnya sebagai
seorang pelukis dan menyair ---koleksi puisi dan lukisan terpilih 42 tahun,
1973-2015— Setidaknya dengan kehadiran
buku itu pada jagat perbukuan dan dunia seni khususnya di Malaysia, merupakan
sumbangan memperkaya dunia literature, sekaligus pendokumentasian yang berguna.
(Perihal buku ini, aku hanya tahu lewat
postingan Mazlan Noor dan melihat dari jauh saja tersusun diantara buku-buku
lain di rak kedai lori keliling DBP, saat acara Temu Penyair Asean 2016).
Sementara memerhatikan foto lukisan-lukisannya dan sejumlah
moment sedang melukis di studionya, bila dihubungkan dengan tangkapan sepintas,
ketika melihat pertamakali cara berjalannya datang di tangga auditorium DBP
hari itu pertamakali, tergesa-gesa dan tangkas. Terasa bertolak-belakang.
Secara teknik, pada lukisannya dengan pewarnaan meriah dan segar itu, berupa
motif lingkar yang rumit, seperti spectrum, planet-planet saling tumpang
tindih, menjadi suatu kesatuan, membutuhkan ketekunan ekstra mengerjakannya.
Ketelitian dan kesabaran.
Hal semacam itu bagiku, menarik. Mazlan Noor meskipun “tergesa-gesa”
bukan berarti lukisannya berkarakter ekspresionis spontan. Justru di dalam
ketergesaan harfiah yang kulihat, ia sesungguhnya seorang yang tenang. Dapat
mengerjakan kerumitan dengan ketelitian. Tentu saja penuh kesabaran. Teknik
yang dikuasai akan memudahkan penghayatan proses kreatifnya dalam menyelesaikan
satu karya ke karya berikutnya. Karena tampaknya, Mazlan Noor selalu melahirkan
lukisan “berseri.”
Ada 2 teknik aliran yang diakrabinya pada karya lukisnya.
Pertama lukisan berupa motif spectrum, lingkar saling berhimpitan, dibentuk
garis-garis dan warna. Kedua semburan abstrak ekspresionis, seperti muntahan
lahar gunung merapi. Terbentuk dari percikan warna. Juga titik-titik yang
dibentuk sedemikian rupa. Liar tapi terarah. Lukisan dengan teknik ini kuat
dengan tata cahaya. Menggambarkan pengalaman dan perjalanan batinnya, hampir bersamaan
dengan kesehariannya bertajuk “kembara” itu.
|
AKU DAN MAZLAN NOOR |
Ketika sang pengembara itu berbalik arah, dari dalam lobi
auditorium DBP menuju tangga, aku tak keberatan untuk menemuinya. Kusapa
namanya dan kusebutkan namaku, kami berjabat erat. Ia spontan begitu
gembiranya. Namun kami tidak memiliki waktu berdialog panjang di ujung tangga.
Mungkin suasana dan momennya tidak tepat. Karenanya aku wujudkan dalam bentuk
tulisan ini. Mungkin ada waktu-waktu lain. Langsung lebih khusus menelusuri
lukisan, puisi dan pemikirannya. (*)
abrar khairul ikhirma
Seniman Rupa-rupa
25 Oktober 2016