Ada yang kita kenal oleh pertemuan
menjadi hubungan persaudaraan sampai akhir hayat tapi ada pertemuan yang
kemudian menjadi berakhir. Keduanya saling berkait dalam hidup, tiada sanggup
untuk memisahkan. Sayonara…
Suatu petang di pertengahan tahun
1990-an, dari arah “Simpang Sayonara” aku bersama dengan Kekasihku berjalan
kaki, dengan titik tujuan menuju taman, dimana masa itu aku banyak menghabiskan
waktuku di sana.
Simpang Sayonara yang kini tiada
lagi orang mengenal nama itu, karena tidak popular lagi. Sebuah persimpangan jalan
dengan lima jalan yang bertemu di tempat sama. Jalan Damar dari arah Utara,
Jalan Belakang Olo dari arah Timur, Jalan Pemuda dari Selatan dan dua jalan
kecil dari arah Barat. Kedua jalan kecil menghubungkan dari simpang jalan itu
menuju arah kawasan pantai. Itulah
Simpang Sayonara yang pada umumnya dikenal warga kota di tahun 1970-an.
Cahaya matahari kala petang,
sudah tidak membakar lagi. Namun panas yang menguap dari aspal jalanan dan dari
bangunan-bangunan beton, tidak sanggup diredam pohon-pohon mahoni yang berbaris
menjadi tanaman pelindung di sepanjang jalan Pemuda.
Pada masa itu, aku masih dapat
mencintai kota ini. Kota Tercinta, puisi abadi dari Penyair Leon Agusta. Beberapa
lekuk tempat biasanya sering kusinggahi dan sejumlah jalanannya masih memberi
ruang untukku dapat menikmatinya. Terutama kala malam hari. Aku sangat akrab
dengan trotoar di kiri kanan jalan. Sepi para pejalan kaki bila malam mulai
menuju larut. Pada saat-saat berjalan kaki itulah, aku dapat bercakap-cakap
dengan diriku tentang banyak hal. Tentu saja angan-anganku, kegetiran yang
silih berganti, diantara rasa lapar yang selalu datang dan kemudian hanya
diselesaikan dengan secangkir kopi yang hangat.
Di depan pintu halaman Hotel
Tiga-Tiga, saat menelusuri Jalan Pemuda petang itu, langkahku dengan Kekasih
terhenti. Percakapan kami pun terputus. Seorang bule, sebutan kami untuk orang asing, telah menghentikan langkah
kami.
Sang Bule menanyakan tentang
dimana letak universitas dan culture centre. Dengan dua pertanyaan
itu, aku dapat dengan cepat menilai Sang Bule, bukanlah seorang hippies. Maksudnya seseorang yang datang
ke suatu Negara hanya bertujuan untuk menikmati objek wisata, kuliner dan
bersenang-senang. Bule ini tentulah bertujuan lebih kepada mempelajari untuk
mengenal pendidikan dan kebudayaan. Tidak sekadar untuk bersenang-senang.
Sehingga aku sangat respek memberi kemudahan pada seseorang yang datang ke
negeri “asing” baginya ini.
Sang Bule berbahasa Indonesia
dengan terpatah-patah. Belumlah begitu fasih. Sedikit ia memberi gambaran,
bahwa kedatangannya ke Indonesia adalah untuk belajar bahasa dan mengenal
budaya setempat. Menurut pengajarnya di negerinya, jika ia ke Indonesia
datangilah university atau culture centre.
Dengan penuh keakraban, juga
dibantu Kekasihku yang dapat berbahasa Inggris, aku menjelaskan bahwa ada dua
universitas besar dan terkemuka di kota ini. Pertama Universitas Andalas
terletak di daerah yang bernama Limau Manih. Sebuah kawasan dataran tinggi.
Kemudian perguruan tinggi IKIP Padang, yang kelak di kemudian hari berobah nama
dengan Universitas Padang. Aku menunjuk ke arah utara, lurusan dari Jalan
Pemuda dimana kami tengah berdiri saat itu.
Culture Centre untuk kota ini
dinamakan Taman Budaya. Sebuah kawasan dengan sejumlah bangunan yang menjadi
pusat kesenian. Dari lokasi kami berdiri di pertengahan Jalan Pemuda itu, ke
arah selatannya, disanalah tempatnya. Hanya sejarak beberapa ratus meter saja.
Dapat ditempuh dengan hanya berjalan kaki. Kukatakan, aku dan Kekasihku ini hendak
menuju culture centre.
Aku teringat dengan sejumlah
pengalaman orang-orang yang pernah berkunjung belajar ke luar negeri.
Pengalaman yang kuketahui lewat artikel-artikel, pernah kubaca di majalah atau
pun suratkabar. Mereka belajar bahasa dan mengenal budaya setempat, diuntungkan
kesempatan mereka hidup di dalam keluarga warganegara Negara yang
dikunjunginya.
Walaupun hanya percakapan singkat
di pinggir jalan Pemuda itu, aku memberi saran kepada Sang Bule, sebaiknya mendapatkan
keluarga untuk menumpang selama tinggal di sini. Tidak hanya menginap di hotel.
Karena tujuannya mempelajari bahasa dan budaya.
Kiranya, pada esok petangnya,
ketika aku sudah lupa dengan peristiwa petang kemarin, aku lihat Sang Bule
sudah bercakap-cakap akrab di salah satu sudut bangunan pertunjukan seni di
Taman Budaya. Dimana tempatku berhabis hari bertahun-tahun. Bule itu
bercakap-cakap dengan Nina Rianti yang sudah kuanggap kakakku selama ini. Nina
sering datang ke Taman Budaya, jika ada kegiatan pertunjukan kesenian.
Pada saat itulah kemudian kuketahui
nama si Bule adalah Benhard,
warganegara Swiss. Benhard akhirnya
menjadi salah seorang saudara kami. Atas kebaikan pasangan seniman suami isteri
Alda Wimmar Irawan Noer dan Nina Rianti, Benhard selama berada di kota kami,
bertempat tinggal di rumah mereka di Tunggua Hitam, yang juga rumah tempatku
selalu pulang kala malam mulai turun untuk suatu masa.
Benhard pernah kami bawa
bersama-sama berlibur naik kereta api ke Pariaman. Sebuah kota di pesisir barat
Pulau Sumatera. Kota terletak di pinggir laut Samudera Hindia. Benhard teramat
senang melihat ombak memecah di pantai. Lautnya bersih. Semasa Benhard muda
adalah seorang atlet, pernah terpilih menjadi atlet ke Oliampiade Munchen, sayang
karena terjadi kelainan pada bahagian tulangnya pada masa persiapan, ia gagal
mewakili negaranya di pertandingan tingkat dunia. Dengan berani Benhard untuk
beberapa saat berenang di laut, menghampiri kapal ikan sedang jangkar.
Selama di rumah Nina, Benhard
belajar berbahasa Indonesia. Benhard di negaranya, sebelum datang ke Indonesia
sudah banyak menghafal berbagai kata-kata Indonesia. Karenanya Benhard dengan
cepat bisa berbahasa Indonesia. Selama Benhard berada di rumah itu,
mendatangkan kegembiraan tersendiri. Karena selalu saja terjadi percakapan
terhenti sejenak, Benhard buru-buru masuk kamar membaca kamus bahasa, lalu
keluar dari kamar dengan tertawa terbahak-bahak.
Tanpa ada yang memberi petunjuk,
Benhard setiap pagi selalu keluar dari rumah. Ternyata diketahui Benhard pergi
ke Airport Tabing. Ia berjalan menempuh jalan tikus, diantara semak belukar,
mencapai landasan pacu pesawat, kemudian menyeberang dan terus memasuki ruang
umum untuk para penumpang dan pengantar di bandara. Jalan itu digunakan oleh
sejumlah penduduk setempat di belakang bandara sebagai jalan pintas ke jalan
raya. Sejak aku menjadi penghuni rumah Nina sampai akhirnya pergi tidak lagi
tinggal di sana, aku sendiri tak pernah mengetahui dimana posisinya, apalagi
melalui jalan ke bandara itu sampai sekarang.
Di ruang bandara itulah Benhard
dapat menulis surat, berkirim kabar ke teman dan keluarganya di Swiss, lalu
mengirimkannya dengan faxsimile.
Alasannya, ruangannya sejuk berairconditioner
dan dapat duduk menghadap meja, menulis dengan posisi nyaman. Di rumah tak ada
meja yang cocok, terlalu rendah, sedang postur tubuhnya tinggi.
Lewat surat menyurat itulah,
Benhard menceritakan kepada kami, tanggapan teman-temannya di Swiss, bagaimana
dia menceritakan pengalaman pertamanya memanjat pohon kelapa di samping rumah.
Dia panjat untuk dapat mengambil buah muda, mendapatkan air dan isi buah kelapa
yang segar. Usaha kenikmatan itu harus ditebusnya dengan sejumlah bagian kulit
di tubuhnya luka-luka lecet, digigit semut besar berwarna merah yang
menyakitkan dan terjatuh ke tanah karena tak bisa turun dengan baik. Lalu
menjadi demam.
Benhard pun menceritakan kepada
kami, bagaimana teman-temannya protes, ketika mendengar kami tidak memanggilnya
dengan nama Pak Benhard tapi dengan
panggilan Mak Anjang. Benhard
menanyakan apakah itu Mak Anjang ???
Mak Anjang adalah salah satu
panggilan khas orang kampong kami di tanah Minang. Orang-orang yang berpostur
tinggi melebihi dari tinggi orang kampong kami pada umumnya, selalu mau atau
tidak mau akan digelari dengan nama Mak Anjang. Apalagi dalam keseharian
masyarakat Minang, orang hampir sulit untuk menyebut dan memanggil seseorang
sesuai dengan namanya. Senantiasa ada-ada saja nama dan gelar khusus yang
diberikan kepada seseorang.
Kami tidak mengetahui, apakah
Benhard dapat menerima penjelasan kami. Termasuk apakah dia menyenangi atau
tidak, ketika kami memanggilnya Mak Anjang sampai kemudian ia kembali ke
negaranya Swiss.
NAGARI PASIA AMPEK ANGKEK CANDUANG, AGAM |
Ketika waktu berlalu. Aku sudah
tidak lagi pulang ke rumah Nina. Sudah lama sekali. Di suatu petang hari,
seorang wartawan senior yang kukenal, mendatangi kedai dimana aku saat itu
sehari-hari mengurus sebuah usaha percetakan kecil, tidak jauh dari Simpang
Sayonara. Wartawan itu Sjaiful Bachri.
Dia dikenal sebagai seorang wartawan olahraga di suratkabar Harian Haluan. Dia
tidak turun dari Vespa kendaraan roda dua yang dikendarainya. Hanya berhenti di
depan kedai.
Uda Pul, begitu aku memanggilnya, memberitahu bahwa sejak pagi ada sepasang
suami isteri orang bule, datang ke redaksi suratkabar tempatnya bekerja, ingin
bertemu denganku. Tak satupun orang redaksi dan wartawan yang tahu dimana
keberadaanku dapat ditemui, meskipun umumnya namaku mereka sangat kenal,
walaupun aku tidak bekerja di suratkabar itu. Jadi mereka tidak dapat
mengantarkan kedua bule itu untuk dapat bertemu denganku. Namun bule itu tak
hendak juga meninggalkan kantor suratkabar. Tetap bertahan sampai ia
mendapatkan keterangan yang pasti mengenai diriku. Hingga akhirnya bertemu Uda
Pul dan Uda Pul rupanya diam-diam sering melihatku berada di kedai percetakan
ini. Karenanya dia menemuiku menyampaikan kabar itu.
Aku menemui sepasang bule yang
mencariku itu di kantor redaksi suratkabar Harian Haluan, yang terletak di
Jalan Damar. Aku tidak menyangka, ternyata Benhard si Mak Anjang bersama
isterinya! Seketika aku tertawa. Aku teringat disuatu kali dulu semasa di rumah
Nina, kami bertanya perihal isterinya, Benhard menjawab, “Isteri saya meninggal
di Swiss….,” Mendengar itu kami merasa bersalah telah menanyakan sesuatu yang
bisa membuatnya sedih. Kami terdiam.
Sesaat Benhard bergegas masuk ke
dalam kamarnya. Semua yang ada di ruang tengah rumah tak satupun bersuara. Ketika
Benhard kemudian keluar dari kamar, kami hanya memandangnya. Sedang Benhard tiba-tiba
tertawa mencairkan ekspresi kami yang sudah tegang. Lalu berkata, “Isteri saya
tidak meninggal di Swiss. Saya sudah baca kamus, maksudnya isteri saya tinggal
di Swiss,” serempak pecahlah tawa kami.
Bertiga kami meninggalkan kantor
redaksi suratkabar Haluan menuju jalan Belakang Olo. Jaraknya lebih kurang
hanya seratus meter. Aku dan Benhard bercakap-cakap. Dia menanyakan pukul
berapa kedai percetakan ditutup. Aku jawab pukul lima. Di depan kedai dia
berkata, “Masih satu jam lagi waktu kerjamu berakhir. Baiklah kami tunggu,”
katanya.
Walaupun aku berkata tidak
apa-apa, bahwa kedatangannya tidak membuatku terganggu kerja, karena kedai
percetakan ini aku pimpinannya, namun Benhard dan isterinya tetap tidak hendak
menggangguku di jam kerja. Benhard dan isterinya menunggu di kedai minum di
halaman rumah, satu petak antaranya dari tempatku bekerja.
Pada petang hari, setelah kedai
percetakan tutup, kami bertiga akhirnya bercerita penuh rasa kekeluargaan di
kedai minum, di udara terbuka halaman sebuah rumah di Jalan Belakang Olo.
Benhard bertanya keadaanku. Termasuk menanyakan apakah aku sudah menikah dengan
kekasih saat kami bertemu pertamakali dulu itu.
Ketika kuceritakan tragedy yang
menimpaku, ia pun teramat faham. Ekspresi pasangan suami isteri itu turut
berduka. Benhard dalam usianya itu, kulihat matanya berkaca-kaca. Ia menangis
dalam kesedihan. Disanalah aku akhirnya mengetahui, bahasa kesedihan itu di
dunia tetap sama walau berbeda bangsa dan Negara.
Di kesempatan itu, kami saling
bercerita tentang hubungan manusia, tragedy dan budaya masing-masing Negara kami.
Aku banyak hal mendapatkan pandangan realistis dari Benhard tentang semuanya.
Setidaknya aku sangat mengetahui, betapa ia memiliki perhatian dan kesungguhan
antara hubungan persaudaraan mendalam. Benhard tidak hanya menghibur
kesedihanku tetapi mengajakku pada pemandangan yang terbuka terhadap kodrat
manusia.
Karenanya, aku membiarkan begitu
saja saat waktu siang ditelan oleh waktu malam. Ditandai dengan lampu-lampu
menyala, kendaraan hiruk pikuk yang melintasi jalan di hadapan kami, malam
segera jatuh di pelukan Kota Padang. Tahun-tahun di akhir tahun 1990-an.
Diantara hari-hariku berada di
Kota Bukittinggi, kota yang diapit dua gunung termashur, Gunung Marapi dan
Gunung Singgalang. Daerah yang berada di ketinggian 1000 dpl itu menjadi daerah
berhabis waktuku untuk suatu masa berikutnya. Aku tak pernah bosan berkeliling
kota ini. Termasuk berlama-lama di kawasan Ngarai Sianok seorang diri. Aku setia
menunggu embun berangkat dari kawasan ngarai pada pagi hari. Atau bertahan
menyaksikan cahaya matahari petang berganti dengan gelap malam di pinggir
sungai di dasar ngarai.
Setelah semuanya cukup bersama
dingin, barulah aku beranjak untuk keluar dari ngarai. Kemudian berhabis malam
di sekitar taman Jam Gadang. Menikmati anak-anak bercengkrama, muda mudi hilir
mudik, pedagang makanan dan mainan. Adakalanya aku duduk-duduk di dekat pemain saluang,
music tradisional Minang. Mendengarkan dendangnya dengan pantun-pantun yang
sangat akrab bagiku.
Setiap berada di Bukittinggi,
salah satunya aku menginap di rumah sahabatku Asraferi Sabri. Hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Tetapi
wilayah administratifnya sudah berbeda. Termasuk daerah Agam Tuo. Daerah
Kabupaten Agam. Sahabatku masa itu memilih bermukim di kampungnya. Diapun
terpilih menjadi Wali Nagari Pasia, Ampek Angkek. Wali Nagari di kampong halamannya.
Merupakan kenagarian terkecil di Kabupaten Agam. Hanya memiliki 3 jorong. Daerah
yang termasuk dataran sekitar Gunung Marapi.
Bersebelahan dengan Nagari Pasia,
terdapat Nagari Batu Taba. Masih termasuk dalam satu kecamatan yakni Kecamatan
Ampek Angkek Canduang. Sering aku melintasi nagari Batu Taba sebagai jalur alternative
menuju Kota Bukittinggi dari arah Kota Padang atau sebaliknya. Jalan itu
menghubungkan Kubang Putiah, Sungai Pua dan bertemu jalan raya
Padang-Bukittinggi di Koto Baru. Kesemuanya adalah daerah perkampungan dan
lahan-lahan pertanian yang berada di seputaran Gunung Marapi. Sepanjang jalan
aku dapat bertemu view areal sawah ladang, rumah-rumah gadang, masjid tua dan
suasana keramahan alami.
DARI BATU TABA KE KUBANG PUTIAH, AGAM |
Suatu siang, dari Nagari Pasia,
aku menuju Nagari Batu Taba. Nagari Batu Taba terdapat banyak home industry masyarakatnya. Penduduknya
produktif dengan usaha rumahan berupa
konveksi. Tergerak saja hati untuk bersengaja ke Batu Taba. Aku ingin menemui
salah seorang anak dari Nina Rianti, kakak angkatku semasa dulu hidup di Padang.
Sudah lama dia menetap di Batu Taba. Terutama sejak beliau menikah.
Tidak begitu payah menemukan
rumah yang akan kutuju. Aku dapat bertemu dengan Nanda Irawan, anak Nina Rianti. Tidak hanya bertemu Nanda saja,
rupanya hari itu hari baik. Setelah beberapa tahun putus kontak sejak bertemu
di Jalan Belakang Olo, hari itu aku bertemu lagi dengan Mak Anjang Benhard.
Rupanya dia sejak lama banyak menghabiskan waktunya di Bukittinggi, selain
berkeliling Negara-negara di Asean dan pulang ke Swiss.
Di beranda rumah Nanda, aku dan
Benhard bercakap-cakap banyak hal. Diantara percakapan itu, ia mengeluarkan
sejumlah potongan-potongan berita, yang diguntingnya dari berbagai majalah dan
suratkabar, baik terbitan Indonesia maupun terbitan luar negeri. Tak kukira,
Benhard sangat perhatian kepada perihal kerusakan tatanan social masyarakat dan
alam lingkungan. Semangatnya pada soal-soal semacam itu sangat terlihat jernih.
Benhard menceritakan
perbandingan, bagaimana pada waktu berbeda ia mendatangi suatu kota di
Thailand. Kedatangan pertama, ia masih dapat penginapan dengan sewa yang wajar.
Sewa yang sesuai dengan kemampuannya sebagai orang asing yang hendak berlibur.
Tetapi akibat ekspouse dunia media travelling ---memperlihatkan sebuah potongan
berita dari majalah terkenal negeri barat yang diguntingnya--- di waktu
berikutnya ia datang, di berbagai tempat penginapan dan hiburan penuh sesak
oleh turis-turis dari negeri barat. Otomatis struktur social masyarakat berubah
seiring pertumbuhan ekonomi semacam itu. Harga-harga meningkat. Salah satunya
ia merasa tidak nyaman berlibur karena sudah ramai dan untuk mendapatkan
penginapan murah, sudah jauh dari pusat kota.
Tidak ketinggalan, ia juga
menyinggung persoalan kesehatan dan gerakan anti merokok. Ia memperlihatkan
kepadaku sejumlah kotak kemasan rokok yang dibawanya dari berbagai Negara.
Memperlihatkan betapa tidak efektifnya gambar-gambar yang disertakan pada kotak
kemasan itu. Kenyataannya masyarakat di berbagai tempat masih mengkonsumsi
rokok.
Ketika aku bercanda, kenapa hanya
kotak kemasan kosong yang diperlihatkannya kepadaku. Kemana isinya? Benhard
menjawabnya dengan cepat, dia beli dalam keadaan utuh tapi isinya dibuang.
Pertemuan di Rumah Nanda di Batu
Taba itu di pertengahan bulan Juni 2012, setelah 14 tahun kemudian semenjak Benhard
mencariku ke kantor redaksi Harian Haluan di Jalan Damar, Padang. Selama itu
kami tak pernah bertemu atau pun berkontak. Termasuk juga setelah 2012 bertemu
di Batu Taba sampai saat aku menuliskan kisah Mak Anjang dari Swiss ini. Kami
tak pernah berjumpa dan berkontak.
Yang kuketahui terakhir kalinya
saat itu hanyalah, Benhard bersama keluarga Nina, hubungan kekeluargaan mereka
semakin erat. Benhard telah mendorong keluarga Nina untuk membuka usaha tenunan
tradisionil Minang yakni kain songket. Bahkan mereka telah dapat menyusun dan
menerbitkan sebuah buku Songket Minang. Suatu sumbangan terhadap literature yang
berharga bagi asset budaya daerah, maupun nasional.
Walaupun aku tidak banyak waktu
dengan Mak Anjang Benhard, semenjak pertemuan awal kami sampai pertemuan
terakhir di tahun 2012 di Batu Taba itu, aku tetap bersyukur terhadap
persahabatan. Di dalam hubungan kekeluargaan yang baik itu, yang berhujung
kepada pengembangan usaha tenun kain songket yang mereka usahakan, aku pernah
ada diantaranya.
@abrar khairul ikhirma
Dari Pesisir Pantai Barat
21 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar