Menulis novel adalah hal mudah bagi
mereka yang memang biasa menulis novel. Aku kira, tidak bagi orang yang tidak
memiliki kebiasaan. Mereka pastilah menemukan kesulitan mengolah ide-idenya ke
sebentuk karya tulis novel. Menulis novel, memerlukan istilahku “nafas panjang,”
yakni kemampuan mengembangkan, memberi isi, menjaga plot, tentu juga supaya lancar
dibaca, sekaligus menarik untuk dibaca oleh semua orang.
Di masa aku mengalami masa-masa
sulit, masa pergulatan batin dan kegetiran hidupku, akhirnya, aku mendapat
sebuah sarana berupa personal computer
(PC) baru, dengan spesifikasi tertinggi di zamannya, dualcore. PC rakitan seharga Rp.5.500.000,- Harga yang sangat mahal
bagiku. Tetapi seakan memberikan aku sebuah jalan terang, untuk mengatasi
segala konflik batin yang sedang terjadi agar tidak berlarut-larut.
Diantara masa-masa hidup di
kegetiran yang kusebut “masa-masa hidup
sepanjang Jalan Veteran,” itu, mendorongku untuk menggarap salah satu ide.
Aku ingin menenggelamkan diriku untuk melanjutkan dunia kepenulisanku untuk
menulis novel.
Memiliki PC baru mendorongku
dengan semangat baru. Semangat kesungguhan untuk memilih menulis sebagai suatu
cara “mengatasi” berbagai konflik batin yang sedang melanda hari-hariku.
Termasuk tantangan, yang kini aku baru “berani” menuliskannya. Jauh sebelumnya,
suatu kali aku diundang bertemu ke kantornya oleh Sutan Zaili Asril,
seorang yang sudah lama kami saling mengenal. Seorang yang ternama bagi kami di
Sumatera Barat dengan segala aktifitasnya.
Sahabat yang kini sudah almarhum
itu, pada saat itu menjadi Pemimpin Umum Suratkabar Harian Padang Ekspres. Di hujung dari berbagai percakapan kami yang akrab,
beliau menanyakan apakah aku memiliki naskah novel. Lalu kujawab banyak. “Mana???”
tanya beliau. Langsung saja aku ajukan sebuah opsi kepada sahabat yang sudah
menjadi wartawan senior, kolomnis, pengarang novel dan pemerhati soal-soal social
dan budaya itu, “Maukah Uda belikan awak
sebuah PC, gantinya sebuah novel untuk diterbitkan di Padang Ekspres sebagai
cerita bersambung?"
SUTAN ZAILI ASRIL (Repro: Warta Kota) |
Spontan saja Uda Zai ---panggilan akrab beliau, menjawab “Bisa!”
Kemudian beliau menjanjikan uangnya dapat diambil seminggu kemudian..
Ternyata saat menemuinya lagi di kantornya di Jalan
Proklamasi tempat kami sering bertemu, Uda Zai meminta maaf, karena sesuatu dan
lain hal. Alasannya dapat kuterima dan kupahami. Sama sekali beliau tidak mengelak
dari “keinginannya” yang tidak hanya berupa keinginanku sendiri.
Sama sekali aku tidak merasa
kecewa. Bagiku, jawabannya “Ya” itu saja sudah sangat berarti bagiku. Karena
dia menjawabnya tanpa banyak pertimbangan. Tanpa ada jeda antara opsi yang
kuajukan dengan jawaban yang diberikannya. Spontan. Aku nilai sangat murni
bahwa beliau sangat respek kepada pribadiku. Terutama berulangkali dia
menceritakan bahwa dia adalah salah seorang pembaca dari tulisan-tulisanku yang
pernah dipublikasikan di suratkabar. Mengakui, dia sangat cemburu pada style kepenulisanku yang sulit dapat
ditirunya.
Ada beberapakali pertemuanku dengan Zaili tapi aku tak pernah
menagih cerita perihal PC. Terakhir pertemuanku, aku mampir ke kantornya
sebagaimana biasanya semenjak beliau “mengundangku” datang untuk dapat bertemu.
Aku menyerahkan print novel yang sudah kutulis dengan PC yang bukan “pembelian”
beliau sebagaimana pembicaraan terdahulu, dalam keadaan terjilid dengan baik
dan sebuah compactdisk berisi naskah
yang diprint. Dia menyambut dengan gembira. Lalu kami bercakap-cakap penuh
keakraban. Aku “numpang” bersholat Ashar di ruang kantornya. Selesai itu aku
pamitan. Itulah pertemuan terakhirku dengan almarhum sampai akhir hayatnya.
Novel yang kutulis kuberi judul, “Hikayat Sebuah Peti.” Menggabungkan dua buah ide yang ditemui pada
tempat berbeda dan waktu yang berbeda. Nanti bila kubukukan, judulnya akan
kurobah menjadi, “Novel Tragedi Tigabelas
Bab.”
Di seruas jalan dalam Kota
Padang, ada sebuah rumah sejak lama begitu menarik perhatianku. Hampir 24 jam
--pagi, siang, malam, dinihari-- aku melewati depan rumah itu. Adakalanya,
nongkrong di warung emperan pertokoan di seberang jalannya, waktu malam-malam menikmati semangkok mie dan
segelas kopi.
Mulai tahun 1980 sampai tahun
2008 --sampai saat cerita ini selesai ditulis-- pintu pagar besinya tak pernah
ditutupkan. Selalu dibiarkan terbuka begitu saja. Keganjilan itu telah membuat
tanda tanya dalam diriku. Pemiliknya membuat pintu tapi enggan untuk menutup
dan membukanya, sebagaimana biasanya tiap hari terjadi sebagai rutinitas orang
pada setiap rumah dimana-mana.
Hal itu tersimpan dalam pikiranku
sampai bertahun-tahun.
Suatu malam di tahun 2003, di
petang kamis malam jum’at, kemudian aku ketahui saat itu sekitar pkl. 02.00 wib
dinihari, di tempat yang lain lagi, saat menuju pulang ke rumah, melewati
seruas jalan yang dianggap masyarakat merupakan daerah angker.
Jalan raya itu menikung dengan
salah satu sisinya adalah perbukitan dan di kakinya terdapat sebuah kuburan
tua. Di sisi yang lainnya mengalir sebuah sungai, dimana dua buah sungai
bertemu untuk selanjutnya, mengalir
dalam satu alur menuju muara dan lepas ke laut Samudera Hindia.
Antara bukit dan sungai,
dipisahkan ruas jalan. Dalam kesenyapan malam, aku melihat di pinggir jalan ada
sebuah mobil pick-up tengah berhenti di bawah lampu mercury yang bersinar
terang. Dua orang tengah sibuk kutak katik mesin di bawah jok depan. Nampaknya
mobil mereka sedang ada masalah.
Pada saat itu, aku mengayuh
sepeda unto ---sepeda ontel, buatan England,
sepeda lama, jika saat dikayuh dari sumbu belakang, terdengar bunyi
tik-tik-tik. Sambil melintas mataku tertuju pada bak mobil itu. Di dalamnya ada
sebuah peti kayu. Mungkinkah isinya berupa mayat? Mana tahu kedua orang itu
adalah pembunuh.
Dua hal itu telah menginspirasiku
untuk menuliskan kegelisahan yang selalu menjadi tanda tanya, menggelitik daya
kreatif kepenulisanku.
Novel yang kutulis tidaklah
berupa cerita misteri. Bukan pula kisah percintaan. Juga tidak politik. Apalagi
soal-soal keagamaan. Aku menuliskannya, hanya berupa rangkaian berbagai tokoh.
Simbolik dari perilaku manusia keseharian saja. Novel yang tak memiliki tokoh
utama. Juga tak menampilkan sosok tokoh suci. Yang ada hanya deretan setiap
tokoh-tokoh, tak luput dari sisi buruknya.
Aku menggunakan waktu menulis
setiap di sebahagian waktu malam hari di sebuah rumah seorang diri. Aku dapat
menyelesaikan novelku malam-malam itu dalam masa satu bulan. Terlalu lama,
karena aku menulis seringkali tidak bisa sepenuhnya memanfaatkan waktu dengan
maksimal. Saat menulis aku sendiri merasa ketakutan. Seakan aku berada dalam
cerita yang kutuliskan. Hampir tiap saat merinding bulu romaku. Cepat-cepat
kumatikan PC dan bergegas untuk tidur. Bahkan sering tak bisa tidur sampai pagi
hari.
Supaya novel yang kutulis sesuai
dengan yang kuingini, tidak membosankan dan plot cerita dapat terjaga dengan
baik, aku bekerja keras untuk membaca ulang dan memperbaikinya. Ada banyak kemudian
aku delete, melakukan sejumlah tambahan. Proses editing aku lakukan
berulang-ulang kali sampai memakan waktu 11 bulan, hingga aku putuskan, aku tak
akan merobahnya lagi. Suatu pekerjaan kepenulisan yang sangat menyita waktuku.
Terutama waktu malam hari, sebagaimana kebiasaanku untuk menulis.
ABRAR YUSRA (Repro: Wikipedia) |
Yang membahagiakanku dari kerja
keras ini ialah, naskah novelku dapat kuselesaikan dengan baik. Salah satu
karya yang pernah kuhasilkan antara tahun 2007-2008 silam. 4 eks print naskah
terjilid. Satu eks aku berikan kepada sahabatku Sutan Zaili Asril.
Satu eks
kupinjamkan pada seseorang, pada saat proses menulis, dia meminta dirinya
sebagai orang pertama yang membaca karyaku itu, lalu silih berganti berpindah
tangan pada sejumlah orang yang meminta diberikan hak istimewa untuk membacanya,
jika novel yang kutulis selesai aku tulis. Print naskah ini hilang tak
diketahui siapa terakhir yang memegangnya.
Satu eks print lagi kulepas untuk
berpindah-pindah tangan untuk dibaca teman-teman, pada orang-orang yang
mengetahui bahwa aku menulis novel. Nasibnya pun tidak jauh beda. Print inipun
lenyap tidak diketahui. Satu-satunya satu eks print yang kusimpan, sempat
kulepas untuk dibaca sejumlah orang, hingga akhirnya kuputuskan tidak lagi meminjamkannya.
Dari pengakuan sejumlah
teman-teman yang pernah membacanya, mereka sampai membaca dua tiga kali walau
print naskah tersebut sejumlah 266 halaman ketikan. Tanda teman-teman yang
berkesempatan membaca naskah print novelku memberikan apresiasi mereka pada karya yang kutulis, walaupun dalam hanya
sebentuk print, novelku telah menghasilkan honorarium tidak kurang dari
Rp.6.000.000,- dalam tempo 6 bulan di akhir tahun 2008. Sama sekali aku tidak
meminta setiap pembaca membayar tapi tidak menyangka setiap selesai membaca,
mereka memberikan donasi kepadaku, serendah-rendahnya Rp.50.000,- tapi
mayoritas antara 100-200 ribu rupiah per satu orang.
Pada saat sastrawan dan penulis
biografie (alm) Abrar Yusra datang ke
Padang, menyelesaikan penulisan biografie seorang tokoh, aku perlihatkan print
naskahku yang terjilid padanya. Dipegangnya sesaat sambil menatap cover jilid, “Abang sibuk mengejar deadline menulis buku
biografie, tak sempat membacanya. Tapi tinggalkan saja dulu, pinjam,”
katanya di depan pintu kamar penginapan, sepulang kami membezuk teaterawan dan
penyair Muhammad Ibrahim Ilyas yang
dirawat di Rumah Sakit Yos Sudarso Padang.
Malam tiga hari kemudian, aku
datang menemui Abrar Yusra di penginapannya. Si Abang, begitu kami
memanggilnya, saat pintu kamarnya dibuka dan mengetahui aku berdiri di depan
pintu, ekspresinya demikian gembira. Buru-buru ke dalam kamar dan kembali
dengan naskah print novelku di tangannya, “Novel yang indah, bung! Novel rancak yang pernah den baca,” kata Abrar Yusra dengan wajah berseri-seri.
Segera mengajakku pergi keluar
penginapan. Tujuan utama mesin ATM di bank yang terletak di Simpang Kandang.
Lalu berlanjut makan sate, nasi soto dan minum sekoteng di kedai emperan jalan,
sekitar bangunan Bioskop Raya di Pasar Raya Padang. “Novel bung telah menghentikan kerja den dua malam menulis biografie,
padahal waktu sudah tidak memungkinkan lagi. Biografie itu harus siap,”
Abrar Yusra bercerita padaku diantara kami bersantap, “Ya, konsekuensinya harus
tambah 2 hari dan balik Jakarta tertunda.”
Padahal aku sama sekali tidak bertanya, tidak juga berharap
beliau membacanya dan bercerita apa-apa tentang novel tersebut. Hanya sekadar
memperlihatkan saja kepadanya tanda bahwa aku masih tetap menulis. Katanya,
diantara kesibukannya menulis, mulanya dia hanya iseng-iseng saja membalik print
itu. Tahu-tahu, dia terpikat untuk meneruskan membacanyanya. Menghentikan
pekerjaannya menulis. “Dua malam, den tamatkan membacanya,” katanya tanpa
terkesan merasa rugi waktu. Lalu memasukkan uang ke sakuku, yang kemudian aku
ketahui berjumlah, Rp.1.500.000,-
LEON AGUSTA (Repro: Tempo) |
Tidak sampai sebulan kemudian, “Mana novel Arkhi yang diceritakan Abrar
(Yusra) pada saya,” tanya sastrawan dan penyair (alm) Leon Agusta, setelah dia memelukku erat. Pada perjumpaan pertama
dan terakhir kalinya, setelah bertahun-tahun kami tak lagi bertemu dan tak
berkontak, di salah satu kamar Hotel Muara Padang. Tempat Leon Agusta dan Abrar
Yusra menginap dari Jakarta, untuk menghadiri peluncuran buku biografie. Saat
yang sama juga ada fotografer dan penggerak seni Edi Utama.
Maka tiada pula aku mendengar bagaimana sambutannya terhadap yang pernah kutulis. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar