Setiap berada di Kota Bengkulu, aku
selalu berkunjung ke Benteng Marlborough,
peninggalan penjajahan Inggris di Bengkulu ini. Bukan hanya aku pecinta
bangunan tua tapi sejarah benteng ini, selalu menarik pikiranku ke masa silam,
situasi dan kondisi satu bahagian dari tanah airku, Indonesia.
Selama berada di Kota Bengkulu, aku setiap hari berkunjung
ke benteng ini dan kawasan sekitarnya. Mengelilinginya dan menikmati suasana
kota yang tidaklah ramai. Mengunjungi benteng, otomatis juga mengunjungi
kawasan pasar dan pemandangan laut Samudera Hindia. Pasar, Benteng dan Laut,
memiliki satu keterkaitan. Tidak salah Inggris mendirikan benteng ini, tersebab
berada pada posisi yang sangat strategis di masa lalu.
Benteng Marlborough (Inggris:Fort
Marlborough) adalah benteng peninggalan Inggris
di kota Bengkulu.
Benteng ini didirikan oleh East India Company (EIC) tahun 1713-1719 di bawah pimpinan
gubernur Joseph Callet sebagai
benteng pertahanan Inggris. Konon, benteng ini merupakan benteng terkuat
Inggris di wilayah Timur setelah benteng St. George di Madras,
India.
Pertamakali mengunjungi Benteng Marlborough di pertengahan
tahun 1990-an. Kunjungan pertamaku itu bersama (alm) A.Alin De, tokoh teater
Sumatera Barat yang juga seorang pelukis. Dihantar seniman teater Ilhamdi
Sulaiman ---beberapa tahun terakhir ini bergiat pada seni pertunjukan
monolog--- yang waktu itu sudah hijrah dari Sumatera Barat ke Provinsi
Bengkulu.
Kedatanganku ke Bengkulu bersama A.Alin De, memenuhi
undangan untuk menonton pertunjukan Teater Alam Bengkulu di Taman Budaya
Bengkulu. Teater Alam Bengkulu, didirikan Ilhamdi Sulaiman, menghimpun
bakat-bakat seni untuk tampil berteater ke atas panggung pertunjukan.
Selepas hari pertunjukan teater dan diskusi, kami
menggunakan waktu melihat-lihat Kota Bengkulu. Salah satunya mengunjungi daerah
Kampong ---sebutan yang kami dengar untuk kawasan lama Kota Bengkulu. Kawasan
kota lama ini berdampingan dengan Benteng Marlborough dan pesisir pantai
Samudera Hindia.
Di depan pintu masuk benteng waktu kedatangan kami, masih
ada pohon besar yang sudah berusia tua tertegak di sana. Pohon yang rindang.
Sejuk untuk bersantai. Pohon itu kini sudah tak ada lagi. Terakhir aku pernah
baca beritanya di media, pohon itu yang sudah berlobang di bahagian bawahnya
akhirnya “mati terbakar.”
Benteng Marlborough berada di atas ketinggian berupa bukit.
Bukit tersebut adalah bukit buatan. Benteng menghadap ke arah kota Bengkulu dan
memunggungi samudera Hindia. Benteng ini pernah dibakar oleh rakyat
Bengkulu; sehingga penghuninya terpaksa mengungsi ke Madras. Mereka kemudian
kembali tahun 1724
setelah diadakan perjanjian.
Tahun 1793,
serangan kembali dilancarkan. Pada insiden ini seorang opsir Inggris, Robert Hamilton, tewas. Dan
kemudian pada tahun 1807,
residen Thomas
Parr juga tewas. Keduanya diperingati dengan pendirian
monumen-monumen di kota Bengkulu oleh pemerintah Inggris. Salah satu monument yang
masih dapat dijumpai sampai saat sekarang, tak jauh dari benteng, dikenal
masyarakat Bengkulu sebagai “Makam Bulek.”
Tahun 2013 aku agak lama berada di Kota Bengkulu. Aku
menginap di rumah saudara yang rumahnya berada di Malabro. Malabro adalah
kawasan pasar dan pemukiman yang berada arah Selatan Benteng Marlborough. Masih
terdapat bangunan pecinan. Bangunan-bangunan lama yang mestinya sudah perlu
penegasan dijadikan sebagai situs budaya selain Benteng Marlborough dan Makam
Bulek. Sudah mesti dilindungi pemerintah daerah, sebagai kawasan Cagar Budaya.
Arah Selatannya lagi
dari pecinan Malabro, sebahagian besar pemukiman penduduk, perantauan Orang
Minang. Mereka sudah turun temurun berada di Bengkulu. Salah satunya keluarga
yang saat aku kunjungi berada di Bengkulu saat itu.
Selama berada di Malabro itulah, setiap hari aku selalu
berkunjung ke kawasan Benteng Marborough. Baik waktu pagi, siang, petang maupun
beberapakali pada saat malam hari. Entah aku merasa senang menikmati
suasananya, entah memang bagiku objeknya menarik. Yang jelas, lelak liku
bangunan benteng, setiap sudutnya menghadiahkan suasana dan pemandangan yang
tak membosankanku.
Jika sudah bosan berada di Benteng, aku akan turun ke arah
pantai. Dulu pertamakali mendatangi Marlborough, bahagian benteng sisi arah
samudera ini, terhampar karang dan masih didapati air laut dan ombaknya.
Tetapi saat sekarang, akibat susutnya air laut dan
pembangunan dam pemecah ombak, telah terbentuk kawasan luas daratan. Pemerintah
sudah membangun jalan, fasilitas wisata dan taman-taman. Bila malam hari, warga
kota, ramai bersantai di kawasan ini. Ada ramai pedagang kaki lima berjualan
kuliner makanan dan minuman.
Dalam sejarah panjang kehadiran Benteng Marlborough ini,
juga sejarah bagi perjuangan rakyat Bengkulu dimasa sebelum Kemerdekaan
Republik Indonesia. Marlborough akhirnya dari Inggris berpindah tangan kepada
kekuasaan Hindia Belanda. Setelah keduanya melakukan perjanjian pertukaran.
Belanda menyerahkan Singapura kepada Inggris dan Inggris menyerahkan Bengkulu
kepada Hindia Belanda.
Marlborough masih berfungsi sebagai benteng pertahanan
hingga masa Hindia Belanda tahun 1825-1942, Jepang tahun 1942-1945, dan pada perang
kemerdekaan Indonesia.
Sejak Jepang kalah hingga tahun 1948, benteng itu manjadi
markas Polri. Namun, pada tahun 1949-1950, benteng Marlborough
diduduki kembali oleh Belanda.
Setelah Belanda pergi tahun 1950, benteng Marlborough
menjadi markas TNI-AD.
Hingga tahun 1977,
benteng ini diserahkan kepada Depdikbud untuk dipugar dan dijadikan bangunan cagar
budaya (*)
@ abrar khairul ikhirma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar