Seingatku, aku pernah menulis review
pameran lukisan Pelukis Hasso Morschek
dua tulisan, dimuat di dua suratkabar terbitan Padang, Sumatera Barat yakni,
suratkabar Harian Singgalang dan Harian Semangat.
Ternyata sejumlah pandanganku, yang kutuliskan pada artikel
di suratkabar tersebut, setelah menyaksikan pameran lukisan Pelukis Hasso di
Gedung Pameran Taman Budaya Sumbar ---Sumatera Barat--- dikutip dan termuat
pada buku sang pelukis berjudul “Hasso, Rajo Sampono nan Putiah”
yang disusun oleh Drs Am Yosef Dt. Garang.
Buku yang berisikan gambar-gambar repro dari lukisan Hasso,
dicetak full-color. Berikut terdapat sejumlah pandangannya terhadap
kepelukisannya dan inspirasi dari lukisan-lukisannya. Juga diikuti pandangan
pengamat terhadap karya-karya lukisnya.
Selain terdapat kutipan pendapatku dalam buku Hasso ini,
juga ada pendapat dari teaterawan dan pelukis dari Sumbar yakni, A.
Alin De.
AM YOSEF DT GARANG |
Am Yosef Dt. Garang, penyusun buku lukisan Hasso, merupakan
seorang pelukis Sumbar dan menjadi salah seorang guru di SMSR ---Sekolah
Menengah Seni Rupa--- Padang.
Selain pelukis dan seorang guru, dia juga di era
tahun 1980-an, aktif menulis artikel perihal kesenirupaan di suratkabar
terbitan Padang.
Buku Haso yang terbit pada tahun 1988 ini sesuai dengan
daftar keterangan di dalam buku, disumbangkan kepada berbagai Kantor Kedutaan
Asing yang berada di Indonesia.
Lembaga-lembaga kebudayaan dan seni, berbagai
kantor redaksi media dan para pengamat seni.
Aku pernah diundang ke rumah dan studionya di Wisma Indah,
Ulak Karang, Padang bersama teman penyair dan jurnalis, Prayuda Widyastitu MIA.
Pada kesempatan tersebut, selain berdialog dengan Hasso, kami juga melakukan
wawancara, yang kemudian dimuat di suratkabar Singgalang. Pada kesempatan yang
sama, pelukis Hasso memberikan bukunya kepadaku.
HASSO MORSCHEK |
Hasso Morschek, lahir tahun 1938 di Hannover, Jerman. Tahun
1983, merupakan fase baru bagi kehidupan Hasso. Bekerja sebagai seorang ahli
untuk proyek Indonesia dari pemerintah Swiss.
Beliau terpesona oleh kehidupan
dan alam Minangkabau ---Sumatera Barat--- dan menuangkannya dalam karya beliau
berkali-kali.
Hasso jatuh cinta dan menikahi seorang wanita Minangkabau
tahun 1985. Hasso semakin “gila” menuangkan inspirasinya yang diserapnya selama
bermukim di Tanah Minang. Ia sangat produktif melukis dan memulai melukis
dengan ukuran kanvas yang besar.
Elemen kebudayaan dan kepercayaan dari rumah baru bagi
beliau tersebut menjadi bagian penting bagi kehidupannya. Hingga perjalanan
dunia melukis kian mendorongnya, untuk melakukan pameran lukisan-lukisannya
selama berada di Padang.
Hasso akhirnya terpanggil untuk menuju Pulau Bali. 1996,
Hasso meninggalkan Padang, Sumatera Barat, meninggalkan museum kecilnya dan
membuat gaya baru dalam senilukis yang disebutnya nihilism, terpengaruh oleh Pulau Bali.
Hasso meninggal dunia tahun 2002 di Bali, oleh penyakit yang
cukup misterius. Meninggalkan istrinya, 3 anak dan 2 anak laki-lakinya yang
sudah dewasa dari pernikahan pertamanya.
Salah satu anak pelukis Hasso yakni, Sabai Morschek, kelahiran
Padang, dikenal sebagai aktris film dan FTV berkebangsaan Indonesia, setelah
bermain di film layar lebar pertamanya Sang
Dewi, 2007. Sabai yang bersuamikan Ringgo Agus Rahman ini, pada film
tersebut meraih penghargaan sebagai “Pendatang Baru Wanita Terpilih” di
Festival Film Jakarta, 2007 (*)
@abrar khairul ikhirma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar