Sungguh! Selalu tersua dalam hidup
ini, sesuatu yang sukar dibayangkan dan diluar yang pernah direncanakan. Hidup penuh
keajaiban atau…??? Apakah makna dari semua ini.
PANGERAN MOHAMMAD BIN ABDUL AZIZ AIRPORT, MEDINAH |
Sembari menunggu koper-koper
rombongan kami semuanya terkumpul dari bagasi pesawat, diuruskan petugas biro
perjalanan, diantara udara yang semula terasa sejuk, berubah bertalu-talu
berhembus angin gurun, membuatku merasa mengigil meskipun memakai baju
penghangat.
Saat kala terbilang dinihari itu,
dalam kedinginan di pelataran parkir bus airport Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz, bandara yang terletak di Timur
Laut Kota Madinah, tak ramai, selain hanya rombongan jemaah yang turun dari
pesawat Saudi Arabia Airlines.
Beberapa orang diantara kami
rombongan jemaah Umroh yang bertolak dari Bandara Kualanamu, Medan, Sumatera
Utara, memilih untuk tidak naik ke atas bus sambil menanti koper-koper mereka.
Bersantai disekitar bus yang akan membawa rombongan ke hotel, dimana kami akan
menginap beberapa hari selama berada di Kota Madinah.
Aku menyempatkan diri menikmati
kesunyian areal parkir itu. Ada beberapa bus terlihat parkir, di beberapa
tempat yang terpisah. Ada diantara udara dingin itu, seorang sopir dengan
tenang bersholat di pelataran yang bersih. Pohon-pohon kurma yang baru ditanam,
masih terlihat ditopang oleh penyangga. Konon bandara ini masih terbilang baru
selesai dibangun.
Dalam perjalanan dari bandara ke
hotel, di dalam bus, aku tak memiliki ruang gerak yang cukup untuk melakukan
pemotretan sepanjang perjalanan. Karena saat ini, posisi aku duduk bersama
ibundaku, dimana ibu duduk dekat jendela. Susah bagiku untuk memotret dengan
cameraku, pun tak sepenuhnya dapat melihat hal-hal yang dapat diamati.
Andaikan aku ingin memaksakan
diri untuk memotret, bisa saja aku mencari-cari posisi dan kesempatan. Namun
kali ini, sejak keberangkatan, aku sendiri sudah memposisikan diriku, aku tidak
akan bertujuan memotret sebagaimana hobiku membuat dokumentasi seperti
biasanya. Aku sudah menekankan pada diriku, aku bertujuan untuk melaksanakan
ibadah bukan untuk berpotret ke Medinah dan Mekkah.
Ada banyak orang terlihat bagiku
dari awal sampai akhir, selama perjalanan Umroh, demikian sibuk menggunakan
camera ponselnya berselfie-selfie
disaat melaksanakan tawaf maupun bersa’i. Alhamdulillah…, aku sama sekali tidak tergoda,
meskipun aku memiliki tablet maupun camera pocket, yang selalu berada di tas
kecilku dibawa kemana pun pergi.
Sejak awal keberangkatan dari
Medan, aku sudah berniat, ingin sampai pulang ke tanah air, selama aku tidak
dalam keadaan istirahat tidur dalam melaksanakan perjalanan ibadah Umroh, aku
akan berzikir semampuku. Karenanya, aku berusaha untuk tidak melakukan hal-hal
yang dapat merusak tujuan yang telah aku niatkan semula. Alhamdulillah…, aku
dapat mengalahkan kesenanganku untuk memotret dan memikirkan hal-hal lain.
Sekali lagi Alhamdulillah…, semoga semuanya terjauh dari yang bersifat ria dan
semoga Allah mengampuninya.
Beberapa menit bus bergerak
perlahan keluar dari kawasan bandara, terdengar suara pemandu Umroh kami
melalui loudspeaker bus, mengucapkan salam, memberi sedikit keterangan gambaran
perihal tujuan kedatangan dan hal-hal mengenai Kota Medinah. Termasuk berkait
dengan Rasulullah yang menjadikan Kota Medinah sebagai daerah bertempat tinggal
sampai akhir hayatnya. Juga Masjid Quba dan Masjid Nabawi, kebun kurma dan
Jabbal Uhud.
Diam-diam, tak dapat kupungkiri,
sewaktu menjejakkan kaki seturun dari pesawat dari Indonesia, aku menitikkan
airmata. Aku tidak tahu, airmata apakah itu. Apakah kegembiraan ataukah
kesedihan. Jiwaku terliputi dalam perasaan yang sulit untuk kugambarkan kepada
siapapun. Hanya Allah yang tahu untuk semua yang ada dalam diriku.
Yang kuingat saat itu hanyalah,
ampunilah diriku, hidupku, sebagai seorang anak kepada kedua orangtuaku.
Terimalah ibadahku yang kulakukan hanya sebisaku, seadanya, sekekuranganku sama
sekali tak pernah menghafal satu do’apun, kecuali suara hatiku sendiri yang
dapat kusampaikan kepadaNya, Yang Maha Mengetahui, betapa bertahun-tahun aku
mengendalikan diriku dalam berbagai cobaan hidup yang getir dan luka-luka batin
yang harus kutanggungkan sampai akhir hayatku.
BUS DARI BANDARA KE HOTEL |
Tiba memasuki Kota Medinah,
pemandu kami yang disebut muntawif, memandu kami membacakan do’a datang di
Medinah dan bershalawat untuk Rasulullah. Tubuhku, jiwaku, amat bergetar.
Lampu-lampu penerang di kiri kanan jalan tak mampu melihatkan yang tersembunyi
dalam diriku. Biarlah Dia yang menampak dan mengetahui.
Aku meyakini, sehina-hinanya aku,
selemah-lemahnya aku, tiada mungkin aku akan luput menjadi perhatian Allah. Aku
teringat, sebatang pohon di halaman rumah kita. Kita yang menanam, kita yang
merawat dan terlihat saban waktu, kita hanya tahu pohon itu tumbuh subur tapi
Allah amat mengetahui saat setiap sehelai daunnya gugur dari yang hanya
terlihat subur dari perhatian kita.
Kuakui, aku memang pernah memiliki
niat untuk dapat melaksanakan ibadah Haji, kemudian bertahun-tahun rasanya hal
itu mustahil, lalu terlintas keinginan untuk suatu saat biarlah melaksanakan
Umroh saja. Tetapi aku tak pernah menemukan jalan untuk niat itu. Demikian
besar cobaan arus batinku yang harus kuatasi dari hari ke hari selama
bertahun-tahun, sehingga aku tak memiliki kesempatan untuk mewujudkan sebuah
niat menjadi suatu kenyataan.
Aku berteguh diri, menaklukkannya
untuk memupuk rasa kesabaran terhadap semua yang pernah kualami, yang kusimpan
selama ini jauh dalam-dalam di relung yang paling dalam, yang kutebus dengan pengorbanan
hilangnya kesempatan dan usiaku terbuang begitu saja, yang akan kubawa sebagai
luka sampai akhir hayatku, demi memenuhi janjiku semata-mata hanya karena Allah.
Dalam keheningan disaat bus yang
terus menuju jantung Kota Medinah, dalam keadaan lampu penerang dalam bus yang
tidak dinyalakan, pada suasana hening, diantara zikirku dalam hati, aku dapat
memahami saat ini, ada banyak orang pernah kudengar selalu berkata, “dirinya belum
siap untuk melaksanakan Umroh atau Haji.”
Padahal mereka memiliki
kesempatan kemampuan ekonomi untuk mencapai Tanah Suci. Jika hendak jujur,
sebenarnya aku lebih melihat di balik hal itu ialah ada banyak orang merasakan “kegamangan”
untuk datang ke Tanah Suci. Kegamangan pada “hidup” mereka selama ini oleh
bermacam sebab “tersembunyi” di balik cara-cara hidup mereka yang terlihat.
Hanya mereka yang tahu dan Allah yang mereka percayai.
Sudah umum ditemui dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk banyak orang yang pernah langsung kukenali,
terjadi ada yang sebelumnya kurang taat beribadah tapi sepulang dari Tanah Suci
mereka berobah semakin lebih baik. Termasuk perilakunya sehari-hari juga
berobah ke arah yang dapat ditauladani lingkungannya. Ada beribadahnya semakin
baik tapi perilakunya tetap tak berobah. Ada beribadahnya semakin buruk,
termasuk perilakunya semakin terlihat lebih buruk lagi. Semuanya adalah
contoh-contoh berharga dalam kehidupan yang diperlihatkan Allah kepada manusia.
BARU SAJA SAMPAI DI DEPAN HOTEL |
Sedang bagiku, sama sekali aku
tak sedikitpun merasa gamang dan takut. Insyaallah…, demikian juga untuk
seterusnya. Karena aku tak pernah sedikitpun lari dari kenyataan hidupku. Aku
hanya melakukan sesuai dengan kemampuanku. Aku telah memasrahkan diriku, aku
telah menyerahkan semua persoalan hidupku, untuk ditetapkanNya, amal dan
dosaku. Banyak atau sedikit sekalipun. Karena Dialah yang kupercayai mengetahui
niat dan segala perbuatan yang kulakukan sejak aku memasuki aqil-baliq. Aku
ikhlas dan redha, Allah memberiku hal baik atau pun buruk. Cobaan maupun
kesabaran.
Karena tak sedikitpun dalam
perjalanan hidupku terniat untuk berlaku menyimpang dari apa yang kuyakini
hanya demi memperoleh yang kuingini, demi terlihat baik dimata orang-orang meskipun
aku sadar harus kehilangan yang semestinya kuperoleh seperti terlihat dimiliki
manusia-manusia lainnya. Meskipun kusadari demikian banyak hidupku dengan
kekurangan amalanku dalam beribadah. Tetapi aku tak pernah jera untuk berusaha
agar hidupku kujalani tidak di jalan kesesatan, sekecil apapun, dengan alasan apapun.
Insyaallah…
Aku merasa bersyukur, aku diberi
kesempatan olehNya untuk datang saat ini ke Baitullah untuk Umroh. Dalam usiaku
yang tak terbilang muda. Tak pernah menetapkan secara rinci kapan waktunya.
Nyatanya tahun ini panggilan hati itu datang seketika dan kesempatan itu ada.
Tak terbayangkan secepat itu prosesnya, dibandingkan yang terniat
bertahun-tahun sebelumnya. Inilah yang disebut panggilan itukah ??? Yang jelas
kini aku sudah berada di Tanah Suci.
Dalam bus yang membawa kami, tak
ada suara music atau pun terdengar percakapan. Senyap. Diluar sepanjang jalan
yang dilalui, kiri kanan terasa juga senyap. Benar-benar suasana yang sudah
diliputi alam yang relegius. Aku tetap berzikir, berhindar diri dari
ingatan-ingatan yang dapat merusak perjalanan ibadahku. Tiada yang tahu,
airmataku tiada berhenti jatuh ke dalam. Ya, Allah…
Tiada henti aku dalam hati
mengucap syukur dan ampunan. Teringat akan Firman Allah SWT dalam surat Ali
Imran ayat 97 yang berbunyi: “Dan menjadi hak bagi Allah atas manusia
untuk mengunjungi rumah itu (baitullah), Yaitu bagi siapa saja yang ada baginya
kemampuan untuk berjalan (pergi) ke sana. Dan barang siapa ingkar, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.”
Bismillahirrahmanirrahim… (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar