PIPA-PIPA besi terentang panjang di permukaan tanah. Dimulai dari sumur
penghisap. Cukam ke perut bumi. Mengalir ke penampungan, lalu pengolahan, kemudian
diekspor. Masyarakat Sakai menjadi “saksi”
proses itu bertahun-tahun di depan matanya.
Kelompok etnis Sakai yang hidup di Provinsi Riau
daratan Pulau Sumatera, adalah potret
“usang” kebudayaan masa silam. Salah satu potret “luka” kebudayaan pembangunan
di nusantara sampai hari ini.
Mereka dikenal
sebagai masyarakat “terasing” dari gerak laju pembangunan (terutama ekonomi,
teknologi, pendidikan atau pun kesehatan) di Riau. Karena terlambat (atau
dilambatkan?) mengantisipasi dan menikmati perkembangan yang terjadi diluar kehidupan mereka, sebagai masyarakat tradisionil.
Ketertinggalan
itu dalam kacamata kehidupan sosial moderen, mengakibatkan terbelit “kemiskinan” dan “keterbelakangan” dibandingkan dengan masyarakat yang dibesarkan kemajuan modernisasi. Pembangunan (hampir-hampir) tak menyentuh mereka dan
pemerintah tak serius melindungi hak-haknya, sebagaimana yang dikehendaki dalam
pemerataan “kemerdekaan” bangsa.
Pada
pemerintahan terdahulu, “potret Sakai” berlangsung dalam
kehidupan yang kusam, robek, dimakan musim. Seringkali dimunculkan
ke permukaan, Riau adalah daerah provinsi kaya minyak di Indonesia. Tambang
devisa dan tambang alat “kekuasaan” dalam berpolitik. Selain menjadi gerbang
perdagangan dan industri, karena berdampingan dengan negara tetangga, Singapura
dan Malaysia.
Di balik
“gemuruh” kekuasaan, “kepentingan” yang dianggap harus didahulukan dan lajunya
ekonomi yang diagungkan, disitulah masyarakat seperti etnis Sakai semakin
“terasing.” Hidup “tersuruk” di daerah pinggiran dan pedalaman. Mereka tidak
berdaya “melawan” tekanan yang masuk pada kehidupan sosialnya, sebagai
konsekuensi arus besar pembangunan.
Pipa-pipa yang
menghasilkan berbarel-barel minyak dan dollar itu (suka atau tidak suka),
terbentang melintasi wilayah dimana mereka hidup dalam kemiskinan. Potensi
daerahnya “dikuras” tapi mereka boleh kata “tak menikmati.” Tak merubah keadaan
dan bahkan seringkali “terpaksa” tak dapat mempertahankan haknya, saat memenuhi
“kepentingan” tersebut.
Kegetiran di
“bumi melayu” itu tak akan pernah hilang dalam catatan aktifis sosial dan
kebudayaan. Banyak pihak “mengatasnamakan” mereka dan banyak pula benar-benar
merasa prihatin. Merekalah yang setia mendampingi “keterasingan” dari riuh
rendah “kemajuan” yang selalu bergerak bersama kekuasaan di daerah.
Perjuangan
terhadap “keterasingan” tak pernah mati. Terutama bagi para pengibar
panji-panji kebudayaan. Ia dikobarkan melalui tindakan, pemikiran dan hasil-hasil
karya para seniman (sastra, teater, tari, musik atau pun seni rupa) kreatif. Walau pun sayup, namun adakalanya bertemu kala membalik kitab kehidupan
kita.
Salah satunya, Taufik Ikram Jamil, salah seorang
penyair terkemuka Riau selalu “bersigigih” menggali, mengembangkan dan mempertahankan
kebudayaan Melayu. Dengan cermat mengolah sejumlah topik “spesifik,”
bersungguh-sungguh pada estetis bahasa, mengambil idiom “keterasingan” etnis
Sakai itu dalam sajaknya berjudul “Sakai,” dengan bait pertama penuh risau, “riang menghadang menjelang petang/
bayang-bayang telah jauh tumbang/ bersulam kelam”
“Penghargaan”
kebudayaanlah alternatif menjadikan potret usang, berubah dalam mengentaskan
“kemiskinan” bangsa. Pada kebudayaan tersimpan
tanggungjawab moral, kemanusiaan dan keberagamaan. Namun sistimatis
pemberdayaan pembangunan dan hasil-hasilnya masih belum berjalan dengan baik. Karena
seringkali “tidak sealur,” bahkan “mencampakkan”-nya. Simaklah bait kedua sajak
Sakai, “apa dayaku kini kecuali berharap
pagi/ juga berjanji tinggalkan sunyi/ saat terang lalat menyaput jagat.”
Bukan hanya
Sakai. Masih banyak etnik lain mengalami hal sama. Tapi sebagai suatu “simbol,”
mampu mengungkap bahwa kehadiran untuk “kesejahteraan” rakyat tak merakyat. Masyarakat
di berbagai daerah di nusantara, yang sudah mulai mendekati hasil-hasil
kemajuan juga tak terlepas pada masalah “keterasingan,” dari “apa” yang
memasuki struktur sosial kehidupannya.
Kebudayaan-kebudayaan
“baru,” bertolak belakang dengan “kebudayaan tradisi” mereka, menggeser pada
perubahan seringkali secara “paksa” dan akibat perubahan itu menjadikan mereka
semakin “terpuruk.” Dimungkinkan oleh “pemanfaatan” kekuasaan, melalui tangan-tangannya
“praktek” ekonomi dan hukum “kapitalis” yang berjalan
disadari atau tidak.
Sakai yang
dimunculkan sebagai idiom oleh Taufik Ikram dalam sajaknya, adalah wakil dari
keadaan “keterasingan” universal, ketika “perubahan” memasuki suatu wilayah. Di
mana di dalamnya ada manusia, budaya dan tata alam tradisi.
Gambaran
Penyair Taufik Ikram pada bait ketiga sajak Sakainya, dapat dilihat sebagai perubahan
yang “menyimpan” proses pada pembentukan yang dihasilkan dari “keterasingan”
manusia dan kelompoknya, “tapi hari-hari
telah pecah/ aku pun tetap gagu/ bak lukah/ di batu-batu,” dapat
menimbulkan konflik sosial dan merebak ke arah politik sewaktu-waktu, misalnya.
Berlanjut pada
bait keempat sajak Sakai, upaya penjelasan penghayatan dari analisa
(mempertanyakan) terhadap berbagai keadaan yang telah terjadi sebagai persoalan
kebudayaan yang (kini) dihadapi semacam daerah Riau, “(demang-buana-mahmud-tuah-jebat-lanang-megat-jamil-kecik-ali-ali-soeman-hasan-tarji-mengapa
kausakaikan daku)”
Nama-nama tokoh
yang disebut penyair Taufik Ikram pada bait keempat, adalah nama-nama yang sudah
tertera (dikenal) antara lain dalam perjalanan sejarah kebudayaan dan sastra Melayu
di Riau. Mereka adalah “acuan” sebagai
penjaga nilai-nilai dari hasil suatu peradaban ke masa depan.
Perubahan yang
terjadi pada suatu bangsa, berubahnya struktur sosial akibat alam (bencana dan
perpindahan) dan manusia (perang, politik-kekuasaan, kecerobohan pembangunan). Kebudayaan
pun terbentuk sesuai dengan sejarah dan perkembangan masyarakatnya. Bertahan,
berkembang atau hancur sama sekali.
Perjuangan
sejumlah masyarakat Riau agar Kebudayaan Melayu dapat dipertahankan, terasa kental ditemui
dalam sajak-sajak Taufik Ikram Djamil pada kumpulan sajak penggal pertamanya, “tersebab haku melayu,” yang pernah
diterbitkan Yayasan Membaca Pekanbaru
di tahun 1995 silam.
Taufik sang
penyair, dilahirkan di Telukbelitung 19 September 1963, sebuah desa yang berada
di suatu pulau di Riau, dekat perbatasan Indonesia dengan Singapura dan
Malaysia. Semula menulis karya sastra dan tulisan kebudayaan ke berbagai media
terbitan lokal dan nasional hingga kemudian terjun ke jurnalistik sebagai
wartawan di suratkabar Harian Kompas. Terakhir mengabdikan diri, salah seorang “pejuang” kehidupan kesenian
dan kebudayaan (Melayu) di Riau.
Mencermati asal
sastrawan dan budayawan Riau (seperti juga Taufik) mayoritas mereka terlahir dari
kepulauan, yang kini sudah membentuk wilayah administratif Provinsi Kepulauan
Riau. Kemudian mereka hidup menetap di Pekanbaru (Riau daratan). Beraktifitas
dan berinteraksi. Objektifitas pendekatan mereka dalam memahami situasi
“keterasingan” terasa lebih murni. “Kemelayuan” mereka pun begitu “sublim.”
Perkembangan
nilai Melayu dalam kesastraan daerah dan nasional yang dihasilkan “amat
terjaga” cita rasa Melayunya. Dimungkinkan sejarah sastra Melayu sudah
berlangsung dalam rentang yang panjang. Berangkat apa yang telah dilakukan oleh
mendiang Raja Ali Haji dari Penyengat. Diperkukuh pula dengan dinyatakannya pulau
itu (pulau yang terletak di depan pulau Tanjung Pinang) sebagai tempat
pembinaan bahasa Melayu berpusat, sehingga menjadi baku dan salah satu “simbol”
tonggak terbentuknya bahasa nasional, Bahasa Indonesia.
TAUFIK IKRAM JAMIL |
Sakai dengan
“keterasingannya,” dalam bentuk lain Taufik mencatat pula dalam karyanya
tentang “tragedi” perubahan, juga akan mempengaruhi kebudayaan, khususnya
“melayu” di Riau pada sajaknya berjudul “akankah
muaratakus.” Simaklah bait pertamanya, “akankah/
akankah kausentrumkan riuh ria ini/ dengan listrik 114 megawatt/ hingga kita
sama-sama hangus/ tinggal arang-arang tersergam/ jadi kabel kesedihan panjang.”
Kehadiran
pembangkit listrik Kotopanjang, di perbatasan Riau dan Sumatera Barat, pernah
menjadi “perdebatan” nasional. Perdebatan telah usai, dengan ditenggelamkannya
sejumlah desa-desa untuk pembuatan waduk. Nyaris mengorbankan pula situs
sejarah Candi Muaratakus. Candi tersebut didirikan semasa pemerintahan
raja-raja keturunan Sjailendra seperti juga terdapat di Tanjung Medan (daerah
Lubuk Sikapiang) dan Simanganibat (Tapanuli).
Bukan manusia
dan budayanya saja menjadi “korban” tapi juga perubahan lingkungan tak sedikit
mengalami kepunahan, “akankah/ akankah
kau lupakan rentak kawanan gajah/ dengan lagu-lagu dangdut/ hingga kita
sama-sama terdiam/ tinggal kebungkaman hari/ jadi nada kelaraan tinggi.”
Sisi alam ini, tak serius dilihat dan dipertimbangkan. Pengrusakan lingkungan selalu
memakan korban. Mereka yang seharusnya berbuat “dibungkam” oleh berbagai sebab untuk
mencapai tujuan.
Sebagaimana
biasanya, “pembangunan” demi kejayaan “kemajuan” selalu menyisihkan “pertimbangan”
kebudayaan. Senantiasa meninggalkan “luka” dan menambah masalah-masalah sosial
dalam kebangsaan kita. Tersisa dan sisa-sisa itu lama-lama bergumpal dapat
menjadi “akumulasi.”
Inilah tragedi
terbesar yang akan dihadapi di masa depan. Tercerabutnya akar dan compang
campingnya sebuah kehidupan. “akankah
akankah akankah akankah/ akankah kaurendam rindu dendam ini/ hingga sungai
kampar timpas kandas/ tinggal keperihan arus/ memenuhi waduk musim bermusim.”
“Mentilik” dan
“menghening-inapkan” sajak-sajak Taufik Ikram, semakin nyata, dia telah menyerap
persoalan diluar dirinya (diluar kebanyakan perilaku karya penyair Indonesia),
lalu menguraikan di setiap kata sejumlah peristiwa yang patut dan tidak. Tidak
“memaksa” orang agar memahami persoalan pribadinya sendiri tapi “menating”
perihal yang dihadapi suatu masyarakat daerah berkembang.
Kekayaan
sastra, tidak hanya dibangun oleh persoalan yang diceritakan tapi bagaimana
suatu karya terbangun lebih komprehensif. Antara karya dan pembaca tidak
menjadi berjarak tapi ikut saling memahami, persoalan apa yang sebenarnya
sedang kita hadapi dewasa ini.
Pemanfaatan
“kemelayuan” atau sosal-soal etnik bisa menjebak pada konsumsi lokal dan ego
kedaerahan. Taufik (mungkin) menyadari betul sehingga dia memakai kata, memilih
topik dan melumurinya dengan “makna” seperti sudah diperhitungkan sebagai
pilihannya dalam berkarya. Lugas tanpa kehilangan estetika, rapi tak
melenyapkan makna. Membuat “pembaca” yang tak berkait Melayu tak pupus
ketertarikannya mendekati persoalan yang disampaikan.
Hal itu
dimungkinkan, tersebab Taufik Ikram Jamil, Melayu (*)
[Artikel Opini
Budaya oleh Abrar Khairul Ikhirma ini, pernah dipublikasikan di Suratkabar
Harian Singgalang Padang]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar