MEMBACA di negeri “Orang
Bicara” adalah fenomena. Usaha terus menerus mendekatkan orang
pada kegemaran, hingga (mudah-mudahan) bisa sebagai kebutuhan kiranya tugas
mulia. Terkadang bagaikan sebuah mimpi di alam nyata. Namun kegigihan dari para
pecinta kebudayaan terhadap jiwa bangsa tak pernah padam. Selalu tumbuh lalu
mati, dan tumbuh lagi. Begitu perulangannya.
10 TAHUN
Wafatnya Budayawan dan Sastrawan Indonesia Chairul
Harun, yang
juga tokoh pers, selain diberikan Penghargaan Budaya dari PERSINDO (Perhimpunan
Seniman Indonesia) Sumatera Barat, diketuai Asbon Dudinan Haza, peringatannya juga ditandai dengan dibukanya
secara resmi, “Rumah
Baca Chairul Harun”
di kampung kelahirannya, Kayutanam, Jumat (29/2/2008).
Rumah Baca
itu semakin menambah bilangan dari kantung-kantung “tumbuh kembang” kegemaran
membaca yang ingin ditradisikan, agar terbentuk keseimbangan akan kesukaan dari
sekadar melihat dan mendengar menjadi plus “membaca.” Lokasinya sangat dekat
dari pasar rakyat dan berada pada pemukiman masyarakat. Bangunannya menarik dan
nyaman sebagai tempat membaca.
Membaca
bisa dimaksudkan untuk suatu pengamatan (dari yang tersirat), lisan (melalui
oral) atau tulisan. Dari ketiga hal itu, pada umumnya bangsa kita lebih
menyukai secara lisan, baru kemudian tulisan, sedikit berjerih payah melalui bahasa
pengamatan. Tak setiap orang dapat mencapai tingkatan paling tinggi membaca
itu, apalagi kemudian dapat pula “menyimpulkan” sebagai perwujudan dari
pemahaman.
Bukan
tersebab perkara cerdas atau tidak tetapi berangkat dari kebiasaan, lalu
pengalaman, kemudian membudaya. Proses demikian tidak dapat terjadi dalam waktu
singkat. Ada waktu, keinginan dan kesempatan terbentuk dari suatu lingkungan
yang menciptakannya.
Tradisi
tulis baca sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Turun temurun. Bisa dipelajari
melalui catatan sejarah. Namun tidak semua bangsa di suatu negeri, mempelajari
dan membutuhkannya dalam keseharian. Ternyata yang jauh lebih pesat
perkembangannya terpakai ialah bahasa lisan.
Dengan
munculnya teknologi “tabung kaca” yang disebut televisi, telah membentuk banyak
orang semakin gemar untuk melihat dan mendengar saja, dari pada harus berkutat
dengan membaca “bacaan.” Keakraban bahasa lisan dan gambar sekaligus,
disimpulkan telah melemahkan penjelajahan daya pikir untuk mempertimbangkan
sehingga menjadikan pemahaman yang seragam.
Daya tarik
yang ditimbulkan sangat luarbiasa. Berkat adanya gambar-gambar atraktif dan
permainan bunyi suara, berupa kata-kata menyampaikan “sesuatu” atau sekaligus
bunyi musik yang enak didengar dan menyenangkan.
Menghadapi
lemahnya daya baca masyarakat, pemerintah pernah sampai perlu mengadakan
program suatu gerakan nasional, agar tumbuh gemar membaca dalam masyarakat.
Kampanye gencar dilakukan. Sejumlah rumah baca didirikan. Buku-buku dicetak dan
perpustakaan besar atau kecil diadakan.
Namun
jumlah pengunjung dan pembaca --pada umumnya,-- perbandingannya masih jauh di
bawah angka menggembirakan dengan populasi dimana institusi itu ada. Tetapi
harus diterima dengan gembira.
Tidak
semua bibit unggul ada dalam satu persemaian. Ketika dipindah, ditanam, tumbuh
dan dirawat, senantiasa diikuti mati oleh banyak sebab atau tumbuh tapi tak
menghasilkan apa-apa. Menghasilkan tapi tak berkualitas.
Itulah
tantangan bagi Rumah Baca Chairul Harun. Apa lagi berada di tanah di mana
bahasa lisan berkembang sejak dulu. Minangkabau! Petatah petitih, tutur bahasa,
disampaikan turun temurun melalui pengucapan yang terekam dalam ingatan,
kemudian disampaikan lagi dengan kefasihan.
ADALAH
menggembirakan, tatkala akhirnya terwujud dibukanya Rumah Baca itu. Mulanya, isteri
pertama almarhum mengutarakan pada saya, bagaimana “menangani” buku-buku di
rumah Pasir Putih, Padang. Waktu dibicarakan pada adiknya Syafrizal Harun (Da Zal), ia bukan tidak mau
mengurus tapi tak etis kalau mengajukan diri. Akhirnya jalan terbaik saya minta
ibu mendengar pendapat anaknya Gombang
Nan Cengka
di Jakarta yang lebih berhak. Dia tak keberatan.
Usulan
saya, dari pada tidak terawat dan bisa lebih “agak” aman, buku-buku milik
Chairul Harun bisa diungsikan ke rumah orangtuanya di Kayutanam. Uda Basril Djabar salah satu sahabatnya
meminjamkan mobil dan sopirnya. Sehari tuntas. Tetapi perkara baru datang,
bagaimana keadaan buku-buku itu selanjutnya?
Saya
sendiri “kesulitan” datang ke Kayutanam. Sampai tulisan ini diturunkan
---dipublikasikan di suratkabar Harian Singgalang, Padang--- belum dapat menyaksikan
bagaimana keadaannya.
Dari
beberapa kali bertemu Uda Zal saya “gosok” terus adiknya. Bahkan saya terlanjur
bicara “melankolik” pada Sutan
Zaili Asril
(almarhum) di suatu percakapan lepas di kantornya di suratkabar Harian
Padang Ekspres.
Sutan Zaili menawarkan diri, menyediakan salah satu ruang kantornya dan
memberikan nama dengan “Kamar Baca Chairul Harun.”
Itupun tak
saya tuntaskan. Sampai akhirnya sebagai pelepas “uneg-uneg” saya menulis
catatan di Harian Singgalang (15/12/2003) dengan memanfaatkan momentum hari
ulang tahunnya suratkabar bersejarah itu ke 35, dimana almarhum Chairul Harun
berperan besar semenjak suratkabar tersebut terbit setiap hari dan dirayakan di
INS Kayutanam, Desember 2003. Menyoal bagaimana “mendirikan
rumah untuk Chairul Harun.” Agar buku-buku itu dapat dimanfaatkan oleh orang-orang berikutnya.
Mendapat
kabar Rumah Baca Chairul Harun diresmikan, agaknya, kegembiraan itu bukan hanya
milik saya sendiri tetapi, bagi kita semua dan khazanah ilmu pengetahuan dan
kebudayaan secara luas. Sebab telah lahir sebuah kantung harapan, dimana nanti
bisa menjadi salah satu sumber bagi penelitian mahasiswa, tempat mengembangkan dunia baca secara dini,
atau menghidupkannya dengan sejumlah kegiatan kesenian. Diskusi dan
pertunjukan.
Di halaman
bangunannya, bisa sewaktu-waktu diselenggarakan kegiatan diskusi, pertunjukan
spontanitas atau pun terjadual. Masyarakat sekeliling sebelumnya sudah
terbiasa, di sekitar bangunan tersebut sudah berulangkali terselenggara
bermacam kegiatan pertunjukan seni, yang diadakan semasa almarhum hidup. Sehingga
atmosfir yang nanti dipancarkan Rumah Baca akan memiliki korelasinya saling
membutuhkan.
Bila
dihitung saja ada 12 bulan dalam setahun, pengelola Rumah Baca cukup tahap
pertama menyelenggarakan 4 kegiatan saja dalam setahun. Artinya sekali dalam
tiga bulan. Misalnya, berupa Diskusi kecil, peluncuran/bedah buku, baca puisi
dan pertunjukkan teater (monolog dan pantomim). Tak perlu kegiatan besar. Yang
penting publikasi pada segmen yang tepat.
TANTANGAN
lain agar Rumah Baca tidak hanya sebuah tempat penyimpan buku, lengang,
terkunci dan berdebu, diperlukan kerja keras tanpa pamrih. Karena dibutuhkan
penjaga, listrik dan biaya lainnya. Diperlukan menarik hati simpatisan untuk
mengalirkan donasinya menanggulangi pembiayaan, agar Rumah Baca bisa terkelola
dengan baik. Termanfaatkan secara maksimal.
Sudah
saatnya, sebagai langkah awal dari pihak-pihak pemerintah dan perusahaan besar
swasta di daerah ini dilakukan pendekatan menjadi donatur. Semisal di wilayah
Kabupaten Padang Pariaman terdapat, Angkasa Pura pengelola Bandara
Internasional Minangkabau di Ketaping, Perusahaan konstruksi, minuman,
pengolahan sari kelapa di Kasang, atau lagi air kemasan di Sicincin.
Lebih
meluas lagi pada PT Semen Padang atau lembaga dan personal di PKDP dan Gebu
Minang. Kemudian bisa dilanjutkan melakukan kontak dengan lembaga-lembaga
swadaya yang mendonori kegiatan kemasyarakatan dalam dan luar negeri. Apalagi
kinerja jelas dan baik, tentulah akan lebih banyak dukungan atas keberadaan
Rumah Baca yang didirikan.
Jika Rumah
Baca Chairul Harun dapat melangkah menerobos batas dengan donatur, bisa jadi
sebuah pilot project ke depan atas meyakinkan, betapa pentingnya suatu
kerjasama mengurus suatu bangsa. Karena di daerah ini, begitu kerap terjadi
kegagalan pada apa yang telah dimulai (*)
[Artikel Opini Budaya oleh Abrar Khairul Ikhirma ini
pernah dipublikasikan di suratkabar Harian Singgalang, Padang, Maret 2008]
Semoga terwujud Arkhi
BalasHapus