Belum terasa lengkap,
bila datang ke Kota Bengkulu, tanpa berkunjung ke Rumah Bung Karno, atau lebih tepatnya rumah dimana Bung Karno, Sang Proklamator dan
Presiden Pertama Republik Indonesia, pernah tinggal selama diasingkan oleh
Belanda di Bengkulu.
Pada salah satu kesempatan
berkunjung ke Bengkulu, aku menyempatkan diri untuk mendatangi yang disebut
masyarakat Bengkulu sebagai, Rumah Bung Karno. Selama berada di Kota Bengkulu,
aku menginap di daerah Malabro, pemukiman penduduk, yang berdekatan dengan
Benteng Marlborough, yang berada di kawasan pesisir Pantai Bengkulu.
Untuk mencapai Rumah Bung Karno
dari Malabro terbilang dekat. Karenanya, disuatu siang sambil mengitari Kota
Bengkulu, aku menyengajakan diri untuk mendatangi rumah tua, yang sudah
dijadikan salah satu museum sejarah, yang dapat dikunjungi oleh masyarakat
umum. Situs atau cagar budaya ini, merupakan salah satu “kekayaan” Kota
Bengkulu, menjadi identitas yang kuat bahwa Bengkulu merupakan daerah yang
bersejarah di dalam peta perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bung Karno atau Soekarno
menjalani hukuman pengasingan sebelumnya diasingkan ke Ende, Flores pada 14
Januari 1934. Beliau di Ende diasingkan selama empat tahun (1934-1938).
Kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Saat kedatangan ke Rumah Bung
Karno, suasana sepi-sepi saja. Cahaya matahari menerangi Kota Bengkulu, dengan
udara yang terbilang panas. Ada pedagang asongan yang berada tak jauh dari
pintu masuk. Areal parkirnya terlihat memadai dan bersih.
Begitu juga memasuki halaman yang
luas, terlihat terasa lapang. Rumput di halaman dan sejumlah tanaman bunga, tampak
terawat. Melihat suasana demikian, menggiring perasaan, di masa lalu Bung Karno
tentu merasa nyaman dan menyukai suasana asri dan tenang.
Dalam banyak cerita yang pernah
aku baca-baca, di rumah bekas rumah pengasingan Bung Karno ini, terdapat sebuah
sumur tua, yang dikabarkan adalah sumur misteri. Sumur yang terdapat magis dan
banyak yang mengatakan sebagai sumur yang angker.
Ketika sudah menaiki anak tangga,
tepatnya di beranda, disambut oleh petugas yang menyodorkan berupa karcis
kunjungan. Sayang karcis itu tidak diberikan, dianya hanya menerima uang yang
diberikan. Namun aku tak hendak berdebat perkara itu. Karena hal-hal semacam
itu, adalah pernak-pernik yang semestinya perlu dikontrol oleh pihak atasannya.
Sehingga tidak merusak keberadaan objek yang didatangi oleh pengunjung yang
memiliki latar belakang beragam.
Cukup lama aku berada di Rumah
Bung Karno ini. Menikmati suasananya yang tenang. Bangunan tua ini sangat terawat
setelah direnovasi. Mulai dari depan sampai bahagian belakang, terlihat bersih.
Sayang sumur tua itu, sudah direnovasi. Tidak ada tanda-tanda bahwa itu sebuah
sumur tua. Menurut hematku, sumur itu tak mesti diperbaharui, kesan ketuaannya
tetaplah dipertahankan.
Rumah berpekarangan luas ini,
ditempati oleh Bung Karno dari tahun 1938-1942. Masa-masa di Bengkulu ini,
Soekarno memiliki jejak-jejak sejarah penting yang tak dapat dilupakan begitu
saja. Selain rumah ini, Soekarno meninggalkan karyanya berupa bangunan Masjid
Jami’ dan perjalanan kehidupan pribadinya dengan Bu Fatmawati. Sang Penjahit
Bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih.
Dalam Rumah Bung Karno ini
terdapat sejumlah barang-barang peninggalan Soekarno. Ada ranjang besi yang
pernah dipakai Soekarno dan keluarganya, koleksi buku yang mayoritas berbahasa
Belanda serta seragam grup tonil Monte Carlo asuhan Soekarno semasa di
Bengkulu.
Ada juga foto-foto Soekarno dan
keluarganya yang menghiasi hampir seluruh ruangan. Termasuk sebuah sepeda tua
yang dipakai Soekarno selama berada di Bengkulu.
Rumah Bung Karno ini terletak di
tengah Kota Bengkulu, berada di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas,
Kecamatan Gading Cempaka. Konon rumah ini adalah milik seorang pedagang
Tionghoa yang bernama Lion Bwe Seng, yang disewa oleh orang Belanda untuk
menempatkan Soekarno selama diasingkan di Bengkulu (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar