aku berdiri
sejenak pada monument di tengah taman kota
antara
bangunan tua terdiam siang nan lengang
meninggalkan
lobang dalam dada
siapa kan
dapat kuseru di sini
berkisah
zaman telah pergi
aku mendengar
derik roda lori sepanjang waktu
pada detak
jantungku bagaikan pemukul lonceng
berdentang
dari pagi sampai petang
sirine
membubung ke langit lorong-lorong
memberi
pertanda batas antara semuanya
pagi masuk
kerja, waktu istirahat siang dan pulang senja
lori-lori
itu membawa tiap nafas keringat hitam
bergegas
tiada henti pada rel besi dingin terkunci
apa dayaku
menakik perut bumi sepanjang hari
kecuali
menghitam legam pada cerita misteri
batu bara
tiada terkira
kusapa batang
lunto batang ombilin
duka cerita
mengalir bertahun membasah
airmu yang
kian mengering bagai perempuan tua
mengalir
disela batu tiada memandangmu
pernah
membenam di sini bersama darah
jejak
sejarah bermula kita terjajah
kerja paksa
menambang hidup
dimulai 128
tahun yang silam
lenggis besi
menakik bumi
di sini
kutulis puisi
aku tepat
berada di depan monumenmu
seakan
mengalun dalam ratap dan sunyi
lagu yang
didendangkan pada pantun
cerita
menyayat risau yang berduri:
“dari tepian ke Sawahlunto,
Sawahlunto bukit berantai.”
adakah
sesiang ini pandangan bertumbuk
pada gemulai
tubuh muda senyum merekah
bibir
membasah pipi merona taman-taman
bersendagurau
di taman tiada pengunjung
gelak tawa
hilang sepi pun meradang
merudung
mengingat untung
mataku
menjadi silau saat tengadah
seperti
do’a-doa mereka yang dibuang jauh
menjadi orang rantai si penambang sansai
aku teringat
akan puisi-puisi pernah kubaca
pasangan
penyair suami-isteri 1980-an
M Yusuf dan Hanifah
“Lagu Siul
dan Orang Buangan”
Sambil
mendekapkan tangan ke dada
Membayangkan
kota bermukimnya
Pada makna
yang tak hanya bersepuh kata
Rel
terbenam, lori melapuk dan silo diam
Lobang
tambang gelap sehitam batu bara
Suatu hari
kelak tinggal legenda.
Sawahlunto, Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar