Tak pernah terfikirkan selama ini,
akan ada orang lain yang mendokumentasikan perihal diriku, apakah dalam bentuk
sebuah gambar foto, maupun berupa tulisan. Apalagi hanya sekadar mengingat akan
sebuah nama.
A. ALIN DE, DASRI AL MUBARY DAN ABRAR KHAIRUL IKHIRMA |
Rupanya tidak demikian adanya. Suatu hari dalam pekan
terakhir di awal tahun 2017, tepatnya bulan Januari ini, Drs Dasril Ahmad
memposting sebuah gambar foto lama, ketika aku berada pada satu momen di tahun
1990-an, bersama A Alin De dan Dasri al Mubary, lewat media social akun
fb-nya.
Dasril Ahmad, salah seorang yang sejak awal “mengkhususkan”
diri “mengamati” perjalanan kesastraan di Sumatera Barat mulai tahun 1980-an,
terutama “pergerakan kreatif” publikasi karya-karya sastra di media cetak
suratkabar daerah terbitan Padang.
Momen foto itu direkam, seingatku adalah dalam suasana pementasan
teater yang disutradarai A. Alin De, berjudul “Antigone,” naskah teater yang
sudah diadaptasi Alin dari karya agung Sophocles,
disekitar tahun 1995 silam.
Naskah teater Antigone bagi Alin sangat menarik.
Mengadaptasi dan menyutradarai sampai mengurus pertunjukkannya. Sampai-sampai
suatu hari aku sendiri terdorong untuk menelusuri sejauhmana naskah Antigone
ini. Hingga aku temukan sebuah jawabannya;
Bahwa naskah ini ditulis Sophocles ketika negaranya
mengalami kegairahan semangat nasional. Ketika naskah drama ini dirilis setelah
selesai ditulis pada tahun 441 SM, Sophocles ditunjuk sebagai salah seorang
dari sepuluh jenderal yang akan memimpin ekspedisi militer melawan Pulau Samos.
Tetapi yang menjadi catatan bagiku ialah, sebuah
pembelajaran betapa naskah drama yang agung bagi dunia teater dunia ini,
walaupun ditulis di dalam era imperialism tapi tidak mengandung propaganda
politik. Disebutkan, secara keseluruhan drama ini tidak menyerang kepentingan
patriotic, daripada terpengaruh oleh isu pada masa itu. Antigone malah lebih
focus kepada karakter dan temanya sendiri.
Pementasan adaptasi Antigone yang disutradarai A Alin De,
merupakan produksi dari kelompok Teater
Dayung-Dayung Padang, asuhan Alin sendiri. Melibatkan pemain yang berasal
dari mahasiswa perguruan tinggi yakni Universitas Bung Hatta dan Universitas
Andalas.
Adaptasi Antigone ini, sebuah pementasan yang melibatkan
banyak pemain dan teman-teman berkesenian. Termasuk “berhasil” membawa penyair,
penyiar dan pemusik Alda Wimmar Irawan Noer, “menggotong” grup musiknya “Pentassakral” yang mulanya hanya
“berpentas” di RRI Regional Padang, masuk ke “tataran” Taman Budaya (Provinsi
Sumatera Barat).
Bagiku A Alin De bukan seorang yang asing. Kedekatan kami
sudah kedekatan persaudaraan. Selain sama-sama berkesenian di Taman Budaya
Padang, kami juga pernah sama-sama di beberapa kegiatan suratkabar Harian Singgalang, Padang. Sama-sama
memiliki “kedekatan” dengan sastrawan dan budayawan Chairul Harun dalam
mengurus kegiatan BKNNI ---Badan
Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia--- Sumatera Barat.
Padamulanya A Alin De dikenal dan tercatat namanya di
tingkat nasional sebagai salah seorang pelukis dari Sumatera Barat. Terlahir di
Padang 4 Maret 1950. Belajar melukis di SSRI Padang dan STSRI-ASRI Yogyakarta. Pameran
Bersama di Padang, 1972. Pekanbaru 1973. Medan 1975. Padang, Jambi dan
TIM-Jakarta 1976. Disamping melukis main drama sebagai anggota Bumi Teater Padang di bawah pimpinan Wisran
Hadi, bersama antara lain Hamid Jabbar, Upita Agustine, Harris Effendi
Thahar dan Darman Moenir.
Sekeluar dari Bumi Teater, Alin mendirikan kelompok teater
sendiri yang dikenal salah satu group teater berjaya di zamannya, Teater
Dayung-dayung Padang. Rajin melaksanakan pementasan teater dan kegiatan
teater. Salahsatunya pernah melaksanakan program “Arisan Teater Sumatera Barat.” Pada Festival Teater Indonesia 1982, terpilih mewakili Provinsi Sumatera
Barat tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Mempentaskan naskah “Malin Kundang,” karya Chairul Harun.
SALAH SATU LUKISAN KARYA A. ALIN DE |
Keterhubungan A. Alin De dengan Dasri al Mubary ---setahuku,
setiap kali Dasri berkesempatan datang dari Pekanbaru, Riau, ke Kota Padang,
mereka berdua selalu terlibat percakapan dan diskusi. Tentu saja biasanya
seputar kehidupan dunia seni teater. Dasri sendiri secara berkala suka datang
ke Taman Budaya Padang, baik dalam keterkaitan kegiatan kesenian maupun sekadar
“bertandang.”
Nama Dasri al Mubary sudah lama kukenali yakni melalui media
suratkabar terbitan Padang. Dasri salah seorang yang aktif mengirimkan
tulisannya dari Riau ke suratkabar terbitan Sumatera Barat. Setiap kehadirannya
bila berkunjung ke Taman Budaya Padang hampir selalu kami bertemu. Sehingga
hubungan kami akrab. Beliau pun sudah mengenalku sebagai salah seorang penulis
aktif dimasa itu.
Dasri al Mubary selain dikenal sebagai seorang penggiat seni
di Kota Pekanbaru, Riau, merupakan seorang penulis aktif berkarya sastra dan mensutradarai teater.
Dasri dilahirkan di Pekanbaru 4 Desember 1958. Tiga naskah drama yang
ditulisnya dan langsung dipentaskannya ialah, Lancang Kuning Atawa Siti Zubaidah, Jerit Tengah Malam dan Oblada Obladi.
Mengutip dari cabiklunik.blogspot.co.id,
disebutkan,“Perjumpaannya dengan Penyair
Riau Ibrahim Sattah menjadi pertemuan yang menentukan bagi Dasri al Mubary.
Bahkan dia langsung bergabung di Bengkel Teater Bhayangkara (BTB) asuhan
penyair sekaligus teaterawan itu. Hingga akhir hayatnya pada 2006 silam. Dasri
tak pernah berhenti menulis karya-karya sastra dan membina teater pada pada
generasi di bawahnya.” Nama dan karya Dasri al Mubary tercatat dalam buku “Leksikon
Susastra Indonesia.”
Terakhir perjumpaanku dengan Dasri al Mubary, ketika diparuh
akhir tahun 1990-an, saat ia datang ke Taman Budaya Padang. Dalam kesempatan
itu, ia mendesakku untuk dapat membuatkan desain cover buku puisinya. Meskipun
aku menolak tapi beliau tetap berkeras ingin sekali karya desainku yang menjadi
cover bukunya.
Memang akhirnya kemudian aku membuatkan desain cover
bukunya. Tapi aku tidak tahu apakah desain itu memang digunakannya ataukah kirimanku sebenarnya tidak sampai ke
tangannya. Sampai kini aku tidak tahu. Karena sejak itu tidak ada
“keterhubungan” kami berdua, ketika dalam waktu bersamaan, aku memasuki
masa-masa “bertapa,” undur diri dari berbagai komunikasi dan kegiatan kesenian.
Adanya postingan gambar foto lama dari Dasril Ahmad di media
social akun fb-nya, dokumentasi itu sungguh membuat banyak kenangan ke
masa-masa yang telah lalu.
Al Fatehah kepada kedua tokoh seni Sumatera Barat dan Riau,
yang telah menghadap Sang Khali’, A. Alin De dan Dasri al Mubary. Keduanya
pernah ada dengan segala kegigihan beraktifitas seni dan berkarya seni, di
pentas kreatifitas kita (*)
abrar khairul ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com
Saya kenal akrab dng alm Dasri Almubary saat kami sama2 kuliah S2 di UNPAD krn alm sering main ketmpt kos kami di Sekeloa Utara 75. Saya baru tau klu alm sdh meninggal stlh saya buka di google. Smg alm diampuni dosa2nya dan diterima amal ibadahnya. Amin
BalasHapus