Kalau berada di berbagai daerah di
Indonesia, aku bertemu rumah (kedai) makan masakan “kampungku” tidaklah
mengherankan. Sebab mulai dari kota-kota besar sampai ke pelosok-pelosok daerah
dari Sabang sampai Merauke, hampir mudah ditemui “Rumah Makan Padang.” Tapi di
Melaka, negeri jiran ?
Rumah Makan Padang sudah menjadi salah satu brand diantara
“masakan” yang ada di Indonesia sejak lama. Tentu saja seiring dengan tradisi
merantau Orang Minang dari kampong halamannya ke berbagai daerah, untuk
berusaha “mengubah nasib, peruntungan.”
Sebutan Orang Padang adalah sebutan lain dari Orang Minang.
Kedua-dua sebutan itu, entah mana terkenalnya. Sebahagian besar perantau yang
membuka usaha kedai nasi atau rumah makan diluar Provinsi Sumatera Barat,
adalah mereka yang berasal dari Pariaman dan Kapau, kemudian orang yang berasal
dari Kabupaten Tanah Datar dan Solok.
Masakan Pariaman, terkenal dengan masakan ikan lautnya.
Gulai kepala ikan dan ikan panggang. Sedangkan masakan Kapau, terkenal dengan
spesifiknya gulai sayur kacang panjang, lobak (kol) dengan nenas muda, sampai
ke gulai itik. Pariaman merupakan daerah pesisiran pantai barat Pulau Sumatera.
Sementara Kapau, berada di daerah “darek” yakni daerah yang terletak di “pegunungan,”
tidak jauh dari Kota Bukittinggi.
BERSAMA HAJI CHAIRULSYAH BIN HAJI ABDULWASLI |
Satu hari diantara beberapa hari berada di negeri jiran
Malaysia, tepatnya saat berada di Negeri Melaka, setelah bersholat Zhuhur di
Masjid Selat Melaka, bersama Pak Haji Chairulsyah
bin AbdulWasli, orang Kampuang Pondok, Pariaman – Indonesia, yang mengajar di
Melaka, kami akhirnya memasuki kawasan pusat perbelanjaan tak jauh dari Dataran
Pahlawan yakni Parade Mahkota.
Setelah berkeliling sejenak, kemudian kami sampai ke salah
satu lantai dimana pada lantai tersebut tersedia counter-counter makanan dan
minuman. Tersedia berbagai jenis masakan. Tidak hanya masakan Melayu tapi
masakan sejumlah etnik/Negara. Tentu saja diperuntukan kepada berbagai selera
yang bersifat antarbangsa.
Pada salah satu tiang beton depan counter yang berjejer
meja-meja makan, dengan pengunjung silih berganti dan ramai itu, aku melihat terpajang
tulisan “Nasi Padang Pariaman” dan
gambar foto menu masakan yang tersedia.
Begitulah. Pabila terlihat yang berkait dengan tanah
kelahiran kita saat berada jauh di rantau, ada rasa yang tak mungkin dapat
dijelaskan ke dalam tulisan. Walaupun kota kelahiranku sudah menjadi Kota
Pariaman dan terpisah secara administrative wilayah Kabupaten “Padang
Pariaman,” namun kami tetaplah “Orang Piaman.”
Memperhatikan tulisan itu, ada mengandung 2 maksud
menurutku. Dimana antara tulisan “Nasi Padang” dengan “Pariaman” dibuat
terpisah dan dijadikan 2 baris. Bagi kami Orang Minang otomatis mengetahui
bahwa tempat itu merupakan tempat berjualan, “Nasi Padang,” dimana masakan dan
pemiliknya adalah orang “Pariaman.”
Sebagai makan siangku, walau pun sudah beberapa hari jauh
dari kampong halaman, aku tidak makan nasi dengan lauk berupa masakan “orang
kampungku” itu. Aku hanya memesan nasi sup, agar hangat dan menerbitkan selera.
Nasi sup, pada umumnya selalu tersedia di rumah-rumah makan Padang di berbagai
tempat di Indonesia. (*)
Ada nomor yg boleh di hubungi ?
BalasHapus