“INDONESIA tanah airku, tanah tumpah darahku….,” Bulu romaku
berdiri. Tubuhku tergetar hebat seketika.
Airmataku memercik. Tak pernah menduga lagu kebangsaan itu akan dinyanyikan
kalau bukan di acara formal, tak pula setiap mendengar lagu itu dinyanyikan,
mampu menggetar diriku.
Nyatanya lagu itu dinyanyikan di sini, diantara mereka
yang berbaris menuju daratan. Digiring bagaikan pesakitan. Aku terperangah
kini. tersandar di pipa besi, pagar pengaman kiri kanan jembatan, salah satu lorong
kedatangan, pelabuhan kapal Tanjung Pinang, saat matahari siang menggelincir
!!!
Hari ini adalah hari kedatangan kapal yang membawa warga
negara Indonesia, yang terkena deportasi. Mereka konon umumnya adalah Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mengadu peruntungan ke negeri Malaysia. Tersangkut
berbagai pelanggaran aturan pemerintah negeri seberang. Yang akhirnya
dikembalikan ke negara asal.
Cerita tentang warga negara dideportasi, terutama soal “pendatang
haram” istilah negara seberang, pun tersangkut masalah pelanggaran, selama ini aku ketahui hanya melalui
pemberitaan dan bahasan tulisan-tulisan di media cetak dan elektronik. Secara
langsung, aku belum pernah menyaksikannya. Inilah pertamakali aku berada
diantara mereka yang dipulangkan, dan merasakan suasana langsung kedatangannya
kembali ke tanah air.
Suasana pelabuhan sepi-sepi saja. Tidak ada hal yang
mencolok. Terasa lengang. Namun aku anggap suatu hal membuatku merasa nyaman.
Pelabuhan laut yang terletak di Kota Tanjung Pinang, yang kini menjadi ibukota
Provinsi Kepulauan Riau, bernama Pelabuhan Sri Bintan Pura. Pelabuhan ini
tempat sandar kapal-kapal jenis ferry untuk akses domestic ke Pulau Batam dan
pulau-pulau lain sepeti Karimun dan Kundur serta kota-kota lain di Riau
daratan, termasuk merupakan akses internasional ke negara Malaysia dan
Singapura.
Sejumlah penanti kedatangan bergegas ke pintu imigrasi
setelah mengetahui kapal yang membawa rombongan deportasi sudah merapat di
dermaga. Konon mereka yang dideportasi di Tanjung Pinang hanya transit. Mereka
akan dibawa ke asrama khusus Departemen Sosial, jauh dari pelabuhan, kemudian
esoknya, seterusnya melalui jalur laut dibawa ke Jakarta. Setelah diproses di
Jakarta, mereka dipulangkan ke daerah asal masing-masing.
Keluar dari pintu imigrasi mereka yang dideportasi
dibariskan di lorong menuju daratan. Jumlah yang dideportasi kali ini
diperkirakan ada 200 orang. Di bagian depan kelompok perempuan yang menggendong
bayi dan tengah hamil. Jumlahnya ada beberapa orang. Di belakangnya kelompok
perempuan, lalu baru kelompok laki-laki. Kebanyakan usia mereka terbilang muda.
Pengawalan tidak terlihat begitu ketat. Namun mereka yang
dideportasi juga terbilang tertib. Ekspresi mereka pada umumnya kelelahan dan
pasrah. Namun sejumlah diantara mereka yang berbaris, terdengar “celetukan”
yang satire. Kedengarannya bahasa yang kasar tapi bila didengar dengan pikiran
dan perasaan yang jernih, kalimat yang sangat menohok. Hal itu muncul spontan
dari mulut mereka, ketika petugas sedikit memaksa untuk mengikuti perintahnya. “Jangan
main hardik saja, Pak. Kami juga punya negara ini!”
Sungguh !!! Aku tidak menyangka kalimat-kalimat mereka
sangat tajam. Memiliki daya kritis luarbiaa. Merontokkan anggapanku selama ini
TKI itu hanya seorang yang biasa dan memiliki pemikiran terbatas, sebagaimana
yang seringkali dicitrakan media masa. “Jangan begitu pak. Di negara orang main
hardik, masa’ di negeri kami sendiri juga dibentak !!!” atau “Kami cari hidup,
bukan cari mati !!!”
Yang merontokkan keangkuhan, ketidak-pedulian, seharusnya
mereka melihat dan mendengar semestinya. Bisik hatiku. Rasa kebangsaanku
terbangkitkan, tatkala sambil berjalan mereka yang dideportasi menuju mobil,
mengantarkan mereka ke asrama “penampungan” tanpa dikomando… terdengar mereka
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Indonesia Tanah Air Beta. Lalu
yel… yel… patriotic.
Sampai mereka hilang dari pandangan, aku masih tertegak di
lorong berupa jembatan beton beratap. Yang menghubungan dermaga ke daratan
pelabuhan itu. Berkata dalam hati: sejauhmana nilai kebangsaan seperti yang senantiasa berdengung di tingkat
elite kita ??? Setarakah dengan saudara-saudara yang dideportasi ini ??? Datang
dari spontanitas tanpa rekayasa hati.
abrar khairul ikhirma
Tanjung Pinang
04 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar