21 MARET
2014 adalah penanggalan istimewa buatku. pertamakali berjumpa dan berjabat erat
dengan Sastrawan Negara Ahmad Khamal Abdullah, di depan pintu halaman
penginapan Jeumpa d Ramo, Bangsar, Kuala Lumpur, Malaysia.
Dato' SN Ahmad Khamal Abdullah |
Matahari
sudah tergelincir ke barat tapi masih bisa terbilang waktu siang. Cahaya
matahari masih menajam, udara pun terbilang panas. Namun kehangatan perjumpaan,
persaudaraan itu, terasa melenyapkan rasa lelah dan panas terik matahari.
Lelaki yang dipanggil Dato’ itu menyambut para tetamu turun dari bus ke halaman
penginapan, ke depan pintu pagar yang terbuka. Tentu dengan senyum khasnya,
sedikit tertahan lalu menyapa siapa saja tanpa meluapkan kegembiraan
berlebihan.
Aku bersama
teman-teman sastra dari berbagai daerah dan negara, berada di Malaysia dari
21-24 Maret 2014 dalam hajatan Numera [Nusantara Melayu Raya] yang di Presideni
Dato’ SN Ahmad Khamal Abdullah. Aku datang memenuhi jemputan Numera, salah satu
puisiku, “Hang: Kekalkan Selat Malaka,” menerima Anugerah Puisi Dunia Numera
2014, bersama sejumlah penerima lainnya. Bersama puisi penerima anugerah itu, 2
puisiku lainnya, terhimpun dalam buku antologi puisi “Risalah Melayu Nun
Serumpun,” yang sekaligus dilancarkan bersama pemberian anugerah dan baca puisi.
Semasa di
Indonesia memasuki zaman gemilang dunia berkesenian, dimasa awal-awal
didirikannya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, telah membangkitkan semangat
berkesenian ke berbagai pelosok daerah di Indonesia. TIM menjadi magnet. Sejak
itu pula… aku memulai mengikuti perkembangan kehidupan kesenian dan budaya dari
media komunikasi dan informasi media cetak. Suratkabar maupun majalah.
Pada
masa-masa itulah aku mengenal nama seorang penyair dari tanah seberang, dimana
namanya sangat enak untuk dilafazkan dan mudah diingat: Kemala. Pun semasa itu antara
penggiat seni dari Malaysia dan Indonesia tumbuh suasana yang saling gigih
untuk berkembang di alam aktifitas dan kreatifitas yang menggembirakan.
Di koran local
di halaman budayanya, sejumlah artikel seniman semacam dari Aceh, Medan,
Sumatera Barat atau Riau, kerap terbaca mengikuti event sastra ke Malaysia. Dan
dari sana aku mengenal nama bahwa ada himpunan penulis GAPENA. Aku hanya
sekadar mengenal nama-nama, belum sekali pun memiliki kesempatan untuk
membacanya karya para sastrawannya.
Setelah
musibah Gempa Bumi 2009 menghantam Sumatera Barat, terutama kawasan utamanya
pusat Kota Padang dan daerah kelahiranku Pariaman, banyak rumah rata dengan
tanah bahkan ada satu kampung tertimbun oleh tanah gunung. Cumanak nama
kampungnya, di kawasan Gunuang Tigo, Pariaman, entah berapa manusia
ditenggelamkan. Sampai sekarang kampung itu tak lagi dihuni.
Dato’
mendorong lahirnya antologi puisi teman-teman sastra di Malaysia berjudul “Musibah
Gempa Padang.” Dengan momen terbitnya buku antologi puisi itu, aku ketahui
selain dilancarkan di Malaysia juga di Rumah Puisi Penyair Taufik Ismail (Aia
Angek, Indonesia), Dato’ berkenaan menjejak ranah Minangkabau, negeri
leluhurku. Dimana kelak kemudian ia bercerita bahwa dirinya berdarah Minang,
berasal dari daerah Pasaman Barat, Sumatera Barat, Indonesia.
Dalam masa
waktu itu kuketahui Dato dengan sejumlah penyair Sumbar –Sumatera Barat—membacakan
puisi ke kota kelahiranku, bertempat di pendopo rumah Walikota Pariaman.
Kemudian Penyair Soetan Iwan Soekri Munaf yang juga ikut dalam event itu, kuketahui
mendampingi Dato’ hingga mengenalkan Sanggar Paris.
Sanggar Paris, dimana salah satu kelompok seni tertua di Pariaman, di kota kelahiranku. Pendirian sanggar tersebut dilakukan sejumlah anak muda yang sedang bergiat pada dunia penulis sastra dan teater di tahun 1977, salah satunya Penyair Iwan Soekri, dimana beliau berleluhur di Pariaman. Aku salah satu generasi berikutnya di Sanggar Paris.
Sanggar Paris, dimana salah satu kelompok seni tertua di Pariaman, di kota kelahiranku. Pendirian sanggar tersebut dilakukan sejumlah anak muda yang sedang bergiat pada dunia penulis sastra dan teater di tahun 1977, salah satunya Penyair Iwan Soekri, dimana beliau berleluhur di Pariaman. Aku salah satu generasi berikutnya di Sanggar Paris.
Aku tidak
hadir di event itu meski aku berada di kota yang sama pada malam baca puisi itu.
Aku tak ingin lagi muncul di kegiatan-kegiatan seni, termasuk berbaur dengan
komunitas seni. Sewaktu itulah aku sekadar mengenal pertamakali nama seorang
yang bernama Ahmad Khamal Abdullah, penyair dari Malaysia. Sekaitan dengan itu
juga, akhirnya setelah waktu berlalu, saat-saat membuka wall fb-ku aku berteman
dengannya.
Semasa
pertemanan itulah aku mengetahui bahwa ternyata Dato’ SN Ahmad Khamal Abdullah
adalah Penyair Kemala yang pernah tinggal di ingatanku namanya dalam cukup
lama. Pertemanan itu terasa semakin ada artinya, saat aku mengikuti aktifitas
yang diupdate melalui fb oleh Dato’. Aku apresiasi kegiatan-kegiatan yang
dilakukannya dengan Numeranya.
Hingga kemudian datanglah permintaan pertemanan
lainnya dari ibu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar, tentu setelah beliau
mengikuti comen-comen ku menyangkut pertumbuhan sastra di Malaysia. Disusul
kemudian oleh seorang penyair wanita berbakat Teratai Abadi, yang bergiat di
event-event Numera, menjelang kedatanganku ke Kuala Lumpur untuk pertamakalinya.
Bila boleh
berkata jujur, sebenarnya tujuan yang utamaku datang ke Kuala Lumpur hanya
sekadar dapat bertatap-muka dengan Dato’ Ahmad Khamal Abdullah, ibu Lily Siti
Multatuliana SutanIskandar dan penyair Teratai Abadi. Kami sudah lama mengenal
di dunia maya tapi belum pernah saling mengenal diluar fb. Mungkin momentumnya
saja, karena satu puisiku mendapat anugerah di helat Numera di tahun 2014 ini.
Syarifuddin Arifin, Dato' SN Ahmad Khamal Abdullah dan Aku. Kami "urang awak" |
Dato’ SN Ahmad
Khamal Abdullah dilahirkan di Gombak, Selangor, 30 Januari 1941. Dia telah
menjalani perjalanan kehidupan sastra dalam rentang waktu yang panjang. Mulai
dari dunia akademik, kepegawaian, organisasi atau tampil sebagai diri pribadi,
di dalam perjalanan kesastraan Malaysia, dalam menghidupkan nilai-nilai
kemelayuan, sebagai budaya nusantara.
Kegigihannya
untuk menanam bibit diantara tetap berkarya cipta patut diakui dengan sejarah
yang tertulis di perjalanannya sampai kini. Sudah banyak puisi-puisi yang
ditulisnya, membuahkan kumpulan-kumpulan puisi yang sudah diterbitkan. Begitu
juga pemikiran kesastraan telah mendorong kehidupan sastra bisa mendunia.
Bagaimana budaya Melayu menjadi dasar dari semuanya itu. Termasuk gagasannya
dan kebangkitannya mewujudkan organisasi kesastraan NUMERA.
Kiranya…,
dengan segala pengabdiannya itu dan semangatnya untuk terus menghidupkan
Melayu, sudah pada tempatnya ia tahun 2001 menerima anugerah Dato’ Paduka
Mahkota Selangor (DPMS) daripada DYMM Sultan Selangor dengan membawa gelar Dato’.
Tahun 2003, menerima gelar Punjangga dari Universiti Pendidikan Sultan Idris
(UPSI). Tahun 2005 beliau menerima Anugerah Sastrawan Negeri Selangor Darul
Ehsan. Tahun 2006 menerima Anugerah Abdul Rahman Auf.
Sampai
akhirnya 2011 Dato’ Ahmad Khamal Abdullah menerima Anugerah Sastra Negara
Malaysia ke 11, dan resmi membawa gelar Sastrawan Negara (SN).
[abrar
khairul ikhirma, 28 maret 2014]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar