“Bukan main bangganya saye, nama
Zubir Zaid dipatrikan sebagai salah satu nama jalan akhirnya. Dia tokoh
Melayu!” spontan terlompat dari mulut Asnida Daud, satu diantara warga Melayu
Singapura, saat ditraktirnya makan siang bersama suami dan anaknya di satu
restaurant kecil di Prinsep St Selegie Rd, waktu siang Singapura.
Bulu ramangku berdiri, airmataku
menitik mendengarnya. Suatu tak biasanya. Jujur. Aku larut dalam pembicaraan
kami terhadap nilai-nilai budaya Melayu. Tak mudah menemukan orang yang
benar-benar mau memberikan perhatian pada masalah budaya atau pun kesenian yang
tidak berorientasikan komersial. Lebih bertujuan menghidupkan identitas bangsa
dan memberikan roh agar generasi tidak hidup di awang-awang tanpa akar
budayanya sendiri.
Tentu perempuan yang sudah memilih
jalan kesenian di hadapanku kini tidak sekadar berucap. Ucapan yang datang dari
sepenuh jiwanya, hingga mampu menggetarkanku seketika. Tersirat dari ucapannya,
perjuangan menanamkan semangat kemelayuan teramat berat, bagi masyarakat Melayu
sendiri sebagai budaya leluhur. Arus budaya yang beragam melanda regenerasi.
Asnida Daud mengatakan, ia sangat
bahagia dan berterimakasih dalam hidupya, suami yang dicintai Jeffrey Zauhari, yang
telah memberikan 4 anak dalam keluarga mereka, walau teramat susah dia
mengucapkan, kini sudah mau dan bisa berbahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Itu artinya… beliau perlahan akan lebih jauh mengenal dan mencintai
budaya Melayu-nya.
Bahasa Melayu misalnya adalah bahasa
nasional karena alasan simbolis dan historis. Secara umum dipertuturkan oleh
masyarakat Melayu Singapura. Bahasa Melayu digunakan pada lagu kebangsaan “Majulah
Singapura” dan cetakan koin. Tetapi,
sekitar 85% warga Singapura tidak mempertuturkan bahasa Melayu. Bahasa
pengantarnya Bahasa Inggris.
Teater Victoria Singapura |
Asnida Daud bersama suaminya
mencintai kesenian. Ia mencintai budayanya dan mengambil spirit budaya
leluhurnya Melayu. Teramat kaya dan sungguh indahnya. Begitu Asnida berkata.
Keduanya memasuki ruang music dan lagu.
Keduanya seniman muda harapan Singapura
yang terus memperjuangkan agar Melayu diserap dan dikembangkan ke dalam
bentuk-bentuk identitas kreatifitas. Sesuai dengan kapasitasnya, sesuai pada
dunia yang mereka jadikan sebagai spirit hidup mereka.
Sejak dari Harbourfront menjemput kedatanganku, kami terus cerita dan berdiskusi singkat. Tentang seni dan budaya, perkembangan dan tantangan ke masa depan. Kami akhirnya berpisah sekeluar dari restaurant tempat makan siang itu. Karena aku pun harus menemani adikku untuk mengikuti kegiatan di dekat tempat kami makan siang. Asnida Daud bersama suaminya Jeffrey Zauhari pun kan kembali dengan kehidupannya.
Kami akhirnya berpisah
sekeluar dari restaurant tempat makan siang itu. Karena aku pun harus menemani
adikku untuk mengikuti kegiatan di dekat tempat kami makan siang. Asnida Daud
bersama suaminya Jeffrey Zauhari pun kan kembali dengan kehidupannya.
ERC Institute Singapore |
Ketika petang hari meninggalkan
kawasan Prinsep St Selegie Rd, bersama adikku, aku berjalan kaki menuju
setasiun kereta. Dalam perjalanan tak berapa jauh itu, setelah meninggalkan
bagian depan School Of
The Art Singapore (SOTA) menyeberang jalan. Pandangan mataku
tertumbuk pada nama jalan “Zubir Said,” kala itu aku ingat dengan percakapanku
dengan Asnida tadi.
Zubir Said, rang awak itu nan merantau ke Singapore |
Sepulang
dari Singapura –begitu Singapore orang kampung kami sebutkan, dimana sebelumnya bernama Temasek. Orang Minang melafazkan sebagai Tumasik— barulah timbul
pertanyaan bagiku, siapa Zubir Said ??? sebagaimana nama itu disebutkan Asnida
Daud dalam percakapan kami.
Zubir Said ternyata Orang Minang!!!
Saat kugunakan fasilitas google di
internet, semakin luas aku mengetahuinya, sudah banyak orang-orang menulisnya
di berbagai blog. Zubir Said, dilahirkan di Bukittinggi, semasa masih bernama
Fort de Kock dalam pemerintahan Hindia Belanda, 22 Juli 1907. Dialah pencipta
lagu kebangsaan Singapura, “Majulah Singapura,” tahun 1958.
Zubir seorang musisi otodidak.
Mendapat julukan “jiwa Melayu sejati.” Diyakini telah menggubah lebih dari
1.500 lagu. 1000 lagu tercatat telah dipublikasikannya. 12 tahun sebagai
penggubah music dan penulis lagu di perusahaan film Melayu, Cathay Keris, anak
usaha dari Cathay Holding Organization.
Dalam usia 21 tahun, tahun 1928, memutuskan
mencari nafkah di Singapura. Pekerjaan pertamanya musisi bersama kelompok opera
Melayu City Opera, yang dipimpinnya. Pernah menjadi juru foto di surat kabar
Utusan Melayu, menjadi musisi untuk music film dan memimpin perusahaan film.
Tahun 1957, pertama kali karya musiknya dipentaskan untuk umum di Teater
Victoria. Saat Festival Film Asia kesembilan di Seoul, Korea Selatan, tahun
1962, lagu untuk film Dang Anom, memenangkan penghargaan.
Zubir Said sebagaimana dicatat,
pernah mengungkapkan bahwa ia tidak pernah tergiur uang, meskipun hal itu
penting untuk kelansungan hidup keluarganya. Namun, ia percaya bahwa uang
diperoleh dari mengajar music dan menulis lagu cukup memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Hal yang utama adalah kejujuran dalam bekerja, terutama
orisinilitas dalam menghasilkan karya.
Zubir
Said sang seniman itu, tutup usia pada usia 80 tahun di Joo Chiat Place,
Singapura, tepatnya pada tanggal 16 November 1987. Ia meninggalkan seorang
isteri, empat orang putri, dan seorang putra. Pada tahun 1990, kehidupan Zubir
dan semangatnya sebagai musisi didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul Zubir
Said: His Songs (Zubir Said: Lagu-lagunya). Kemudian pada tahun
2004, patung Zubir, terbuat dari perunggu dipajang di Taman Warisan Melayu,
Singapura.
Meminjam
dari salah satu judul lagu ciptaannya, Zubir Said: Sayang di Sayang…
--bahan
dari berbagai sumber--
Abrar
khairul ikhirma
17
April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar