WELCOME to Singapore. Tulisan
menggantung di langit-langit lobi mall, dengan bentukan melingkar berupa lampu
bersinar putih, menyambutku keluar dari lorong cap paspor pelabuhan kapal ferry
Harbour Front Singapore. Di hari minggu menjelang siang. Pelabuhan, mall,
setasiun, dibangun menyatu. Sehingga memudahkan kedatangan ke negara ini. Aku
datang !!!
Aku bersama saudara Melayuku penyair muda Singapura Asnida Daud. di Singo Muntah. Tercapai juga. |
Kedatanganku ke negara kepulauan
ini, pertamakali untukku. Itu pun sudah
diawali dengan perasaan tidak nyaman.
Pertama “seseorang” yang sebelumnya, seolah-olah memang ingin bertemu denganku, menawarkan untuk menemaniku saat berkunjung ke negaranya, rupanya hanya sekadar menceritakan jadual kegiatannya yang padat.
Hal kedua, sempat ditanya petugas imigrasi ke bilik kedatangan saat cap paspor. Tertahan sejenak. Perasaan kritisku spontan saja membara dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan segera saja tumbuh berkembang dalam benakku, tentang hal-hal berlebihan, seringkali aku dengar selama ini seakan menjadi pembenaran.
Pertama “seseorang” yang sebelumnya, seolah-olah memang ingin bertemu denganku, menawarkan untuk menemaniku saat berkunjung ke negaranya, rupanya hanya sekadar menceritakan jadual kegiatannya yang padat.
Hal kedua, sempat ditanya petugas imigrasi ke bilik kedatangan saat cap paspor. Tertahan sejenak. Perasaan kritisku spontan saja membara dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan segera saja tumbuh berkembang dalam benakku, tentang hal-hal berlebihan, seringkali aku dengar selama ini seakan menjadi pembenaran.
Aku datang bersama “adik perempuanku,”
kini bermukim di Pulau Batam. Suaminya berhalangan menemaninya untuk mengikuti
kegiatan seminar produk. Jadualnya siang sampai sore. Sementara aku hanya ingin
ke “Singo Muntah” nama yang kuberikan pada icon Singapura menyebut patung
“Merlion.”
Berfoto agak 1-2 buah momen saja di
Singo Muntah itu, ya sudah, bila tak menemani adikku, aku pasti kembali lagi ke
Indonesia. Hanya sekadar itu saja. Sama sekali tak berminat ke tempat lain,
santap makan atau belanja-belanja. Bukan duniaku.
Itu pun aku tak pernah mimpi untuk ke sini. Negeri yang memiliki nama asli Tumasik. Kebetulan saja, saat akan memenuhi undangan anugerah puisiku di Kuala Lumpur bulan Maret 2014, aku berencana dari Kuala Lumpur pulang lewat Singapura. Berfoto di Singo Muntah, kemudian langsung berangkat ke Batam. Nyatanya rencana perjalanan itu tak terwujud.
Itu pun aku tak pernah mimpi untuk ke sini. Negeri yang memiliki nama asli Tumasik. Kebetulan saja, saat akan memenuhi undangan anugerah puisiku di Kuala Lumpur bulan Maret 2014, aku berencana dari Kuala Lumpur pulang lewat Singapura. Berfoto di Singo Muntah, kemudian langsung berangkat ke Batam. Nyatanya rencana perjalanan itu tak terwujud.
Action Kami |
Beberapa hari sepulang dari KL, aku
kembali bergerak ke Pekanbaru. Kemudian Dumai dan Batam. Saat sudah berada di
Batam aku mengetahui Ikatan Penulis Malaysia Kopi Sastra akan melancarkan buku
antologi puisi di Singapura. Aku diundang Shirley Idris untuk hadir.
Aku sudah ada juga rencana ke
Singapura, Singapura pun berdekatan dengan Batam, dimana aku ingin tinggal
beberapa waktu, rasanya akan menarik sekalian hadir di event sastra itu.
Bukankah lebih baik perjalanan tidak hanya ke Singo Muntah semata. Ya.. aku
akan penuhi jemputan Shirley Idris untuk datang ke Singapura. Karena tak ada
informasi cukup untuk memandu perjalananku, akhirnya kubatalkan. Aku berangkat
menuju Tanjung Pinang.
Selama event Numera 2014 di KL,
sejujurnya aku lebih banyak hanya "terkagum" dan "termangu"
“dalam diamku” pada teman-teman peserta. Aku bukan seorang yang mudah akrab
pada tiap orang. Terkesan aku seorang sombong di mana pun aku berada.
Jadilah selama event Numera itu ada
teman-teman tak kukenal dalam waktu singkat. Baik nama dan asalnya. Padahal sebenarnya
aku telah memiliki catatan tersendiri orang per orang, berupa karakter masing-masing.
Yang jelas, tak ada satupun terliwat dalam "pengamatanku."
Misalnya, pada peserta yang menjadi
pasangan suami-isteri, telah menarik perhatianku. Penampilannya serasi dengan
karakternya. Di Kuala Lumpur Perfoming Art Centre, sejumlah penyair baca puisi.
Termasuk perempuan pasangan itu. Kuakui, aku tak mengikuti pembacaannya dengan
cermat. Namun sepintas dapat menilainya berhasil mengekspresikan puisi ke dalam
bacaan.
Sampai pulang ke daerah dan negara masing-masing, aku tak mengetahui nama dan asalnya. Kelemahanku. Aku tidak peduli siapa dan darimana. Yang penting bagiku, apa yg dilakukannya ??? Sejauhmana ia melakukannya.
Ketika seseorang minta berteman fb, dengan foto profilnya berupa teks, tahulah aku namanya, beliaulah Asnida Daud. Pasangan makhluk yang sempat menarik perhatianku selama di Numera 2014 lalu. Antara kami tak "berkesapaan," tak pernah bercakap dan tidak akrab. Rasanya tak percaya ketika ia menuliskan comen di status fb-ku,
“Mas meninggalkan kesan mendalam juga buat kami berdua dan menjadi bahan bicara kami pabila kita semua berpisah. mungkin tersedak terbatuk Mas di sana. Kalau Mas terbenam dalam diri tika di KL, kami terbenam dan terngowo mendengar kata-kata Mas yang senantiasa puitis dalam ujaran biasa. Luarbiasa buat kami. Haha!! (9 April, pukul 15:31).
Sampai pulang ke daerah dan negara masing-masing, aku tak mengetahui nama dan asalnya. Kelemahanku. Aku tidak peduli siapa dan darimana. Yang penting bagiku, apa yg dilakukannya ??? Sejauhmana ia melakukannya.
Ketika seseorang minta berteman fb, dengan foto profilnya berupa teks, tahulah aku namanya, beliaulah Asnida Daud. Pasangan makhluk yang sempat menarik perhatianku selama di Numera 2014 lalu. Antara kami tak "berkesapaan," tak pernah bercakap dan tidak akrab. Rasanya tak percaya ketika ia menuliskan comen di status fb-ku,
“Mas meninggalkan kesan mendalam juga buat kami berdua dan menjadi bahan bicara kami pabila kita semua berpisah. mungkin tersedak terbatuk Mas di sana. Kalau Mas terbenam dalam diri tika di KL, kami terbenam dan terngowo mendengar kata-kata Mas yang senantiasa puitis dalam ujaran biasa. Luarbiasa buat kami. Haha!! (9 April, pukul 15:31).
Saat kukatakan bahwa akan datang ke
negaranya, setelah baru saja berteman fb, ia menyambut baik. Malah ia serasa
bermimpi. Soalnya, suatu hal yang sangat diidam-idamkannya untuk bisa bertemu
lagi, dengan makhluk serupa aku ini. Diluar perkiraanku. Bahkan pada hari
kedatanganku ia menulis stat di fb, “Menanti Sang Penyair di Kota Singa.”
Rex Restaurant, makan siang nan sedap la |
Sambil menanti adikku ke toilet,
sekeluar dari imigrasi pelabuhan, melihat tulisan “Welcome to Singapore,”
menggantung di langit lobi mall, aku hendak berpotret. Tiba-tiba terdengar
suara memanggil namaku dari arah seseorang berlari mendekat. Asnida Daud !
Perempuan itu datang menjemputku . Menyalamiku dengan gembira seakan orang yang
sudah bertahun tidak berjumpa, kini berjumpa. Begitu juga disusul Jeffrey
Zauhari, suaminya, yang bergelut dengan music.
Alhamdulillah… seseorang sudah lama berkontak yang seakan kami akan benar-benar bertemu malah batal bertemu denganku. Tetapi Allah memang Maha Kaya, ia mendatangkan sepasang suami muda ini menjadi gantinya. Asnida Daud dan Jeffrey Zauhari.
Alhamdulillah… seseorang sudah lama berkontak yang seakan kami akan benar-benar bertemu malah batal bertemu denganku. Tetapi Allah memang Maha Kaya, ia mendatangkan sepasang suami muda ini menjadi gantinya. Asnida Daud dan Jeffrey Zauhari.
Airmataku terpercak di pelupuk. Tak
menyangka kedatanganku adalah kegembiraan baginya. Padahal hanya menyusahkannya
dan harus mengorbankan waktunya di hari libur. Sepasang makhluk Asnida Daud – Jeffry Jauhari itu benar-benar
mau merelakan sedikit waktunya, menjemput ke Harbourfront. Mengantarkanku ke
kawasan Singo Muntah (Merlioon) Marina Bay dan mengajakku makan siang di sebuah
café. Café di beberapa petak bagunan pecinan yg amat mengesanku.
Kufahami, manusia metropolitan
hampir tak mudah berbagi waktu serupa itu. Namun ia merelakan dengan ikhlas dan
penuh kegembiraan. Asnida dan Jeffry, mohon maaf... selama di KL kita tak
berawal cakap dan senda gurau. Sampai kita menyatakan menjadi saudara. Sedemikian
berartikah aku ini bagimu pasangan seniman muda, harapan Melayu ???
Dalam hatiku sendiri berkata, “Masih
ada ‘manusia’ di belantara yang bukan duniaku itu, memberikan ‘kebajikan
persaudaraan’ seperti membuatku tak percaya...,”
Mengharukan bagiku.
Abrar Khairul Ikhirma
Batu Ampar, Batam, 13 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar