SETELAH bus semakin jauh membawaku meninggalkan airport LCCT menuju Kuala Lumpur, ke jantung Malaysia, segera ponselku dipasangkan handsfree. Cuaca terang. Bus berlari di jalan tol. 21 Maret 2014. Di balik kegembiraan bercanda, tersimpan permenungan yang datang berkelabat dalam ingatan dan perasaan.
Sejak berangkat dari Ranah Minang, Sumatera Barat,
Indonesia, sudah berniat bila menginjak “tanah seberang,” demikian kami orang
Minang menyebutkan Malaysia, aku ingin mendengar dua buah lagu yang berkesan
mendalam pada jiwaku. Lagu yang kala malam sering kudengarkan menjelang tidur
dalam pengembaraanku.
Dari LCCT menuju jantung Kota Kuala Lumpur |
Dalam kesempatan pertamakali aku datang ke Malaysia
ini, aku ingin mendengarkan kedua lagu itu di negeri tempat ia terlahir dari
penciptanya sendiri. Aku ingin merasakan suasana hati, sepenuh diungkap vokal
dan music, dalam harmonisasi mengiringi segala perasaan dan pikiranku pada saat
ini, jauh di rantau orang. Diantara desau angin dan suara derum mesin bus
menggema melaju.
Hatiku telah kau tawan
hidupku tak karuan
mengapa ku disiksa
mengapa kita bersua
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita
wow .. wow
kau tinggalkan diriku
oh tuhanku
mengapakah kau bedakan hidupku
oh tuhanku
mengapakah manusia begitu
engkau laksana bulan
hatiku telah kau tawan
hidupku tak karuan
mengapa ku disiksa
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita
kau tinggalkan diriku
mengapakah kau bedakan hidupku
oh tuhanku
mengapakah manusia begitu
engkau laksana bulan
tinggi di atas kayangan
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita
Lagu berjudul “Engkau Laksana Bulan” ini diciptakan dan dinyanyikan, penyanyi legendaries P. Ramlee, kelahiran Pulau Pinang, 22 Maret 1929. Nama sebenarnya Teungku Zakaria bin Teungku Nyak Puteh. Ayahnya berasal dari Lhokseumawe, Aceh, Indonesia, menikahi Che Mah Hussein, di Kubang Buaya, Butterworth, Malaysia.
hidupku tak karuan
mengapa ku disiksa
mengapa kita bersua
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita
wow .. wow
kau tinggalkan diriku
oh tuhanku
mengapakah kau bedakan hidupku
oh tuhanku
mengapakah manusia begitu
engkau laksana bulan
hatiku telah kau tawan
hidupku tak karuan
mengapa ku disiksa
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita
kau tinggalkan diriku
mengapakah kau bedakan hidupku
oh tuhanku
mengapakah manusia begitu
engkau laksana bulan
tinggi di atas kayangan
berjumpa dan bercinta
tetapi menderita
Lagu berjudul “Engkau Laksana Bulan” ini diciptakan dan dinyanyikan, penyanyi legendaries P. Ramlee, kelahiran Pulau Pinang, 22 Maret 1929. Nama sebenarnya Teungku Zakaria bin Teungku Nyak Puteh. Ayahnya berasal dari Lhokseumawe, Aceh, Indonesia, menikahi Che Mah Hussein, di Kubang Buaya, Butterworth, Malaysia.
P Ramlee dan Saiful Bahri, duo legendaris itu |
Suara rekaman P. Ramlee langsung mengisi
ruang hatiku, menelusuri likak-liku alam batinku yang tersimpan. Pengkhianatan,
penghinaan dan rasa pedih yang selalu kualami. Entahlah. Andaikan yang terkasih
ada bersamaku. Berdampingan, bercerita tentang hari esok dan merangkai banyak
hal tentang hidup
Memandang lewat jendela, saat bus
terus merayap menuju penginapan. Lalu lalang kendaraan, kebun sawit,
pesawangan, lalu gedung-gedung pencakar langit, jalan bertingkat, tak satupun
terlewat dalam pandanganku.
Aku tak mengikuti semua lagu-lagu
dari P. Ramlee. Hanya satu lagu inilah yang kurasakan lekat dalam diriku,
setidaknya mewakili kehidupanku. Lagu seniman Malaysia yang wafat dalam usia 44
tahun, 29 Mei 1973. Selain penyanyi beliau juga actor yang berjaya di tahun
1950-an. Mengenang jasanya, Yang Dipertuan Agung Malaysia memberikan
penghargaan Bintang Kebesaran Darjah Panglima Setia Mahkota pada tahun 1990 dan
menambahkan gelar Tan Sri pada nama P. Ramlee.
Aku dan teman-teman peserta Anugerah
Puisi dan Baca Puisi Dunia Numera 2014, menginap di Jeumpa d Ramo di Bangsar. Salah
satu daerah pemukiman di Kuala Lumpur. Aku sekamar bersama penyair Syarifuddin
Arifin dari Padang dan Ahmad Taufik dari Jember. Saat inilah aku pertamakali bercakap
sekejap dan bercanda dengan Teratai Abadi, setelah berjumpa pertama di LCCT
saat menjemput kedatangan kami ke Kuala Lumpur. Selain menjemput, beliau salah
seorang pengerusi Numera, juga mengatur penempatan di penginapan.
Setelah beristirahat, pada petang
harinya… kami berangkat menuju Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Menggunakan
bus yang disediakan. Aku duduk di bangku
bagian belakang. Sebangku dengan ibu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar,
perempuan yang kini bergiat dalam hal budaya dan aktif baca puisi di Malaysia.
Beliau menetap di Melaka. Kelahiran Bogor, berdarah Minang dan bersuamikan
orang sekampung yakni Pariaman.
Dalam perjalanan dari penginapan ke
tempat acara yang akan dilaksanakan selepas sholat maghrib di auditorium Dewan
Bahasa dan Pustaka, sambil bercakap-cakap dengan ibu Lily Sitti Multatuliana,
aku kembali melanjutkan mendengarkan lagu dimana negeri ia terlahir di tangan
penciptanya, “Semalam di Malaysia,” yang sudah aku siapkan selain lagu P.
Ramlee yakni lagu ciptaan Saiful Bahri, si pencipta lagu kebangsaan Malaysia, "Negaraku."
Saiful
Bahri lahir di Payakumbuh, Sumatera pada 19 September 1924, dan mendapat
pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Kayutaman, Sumatera Barat,
Indonesia. Disitulah bakat musiknya tersalurkan. Saat ia pindah ke Jakarta,
tahun 1940. Saiful Bahri bergabung di Orkes Studio Jakarta sebagai pemain biola.
Sepuluh tahun kemudian ia dipercaya memimpin orkes tersebut, dari tahun 1950
hingga 1960.
Ketika
kami saling duduk terdiam di belakang bus, aku dan ibu Lily, menjelang sampai
ke Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, aku merasa lebih focus mendengarkan lagu
yang kudengarkan melalui handsfree dari ponselku:
Aku pulang, pulang dari rantau
Bertahun-tahun di negri orang oh.. Malaya
Oh dimana kawan dulu
Kawan dulu yang sama berjuang oh.. Malaya
Kekasih hatiku kini telah hilang
Hilang tak berpesan aduhai nasib apakah daya
Cinta hampa hati merana... mana dia...
Inilah kisahku semalam di Malaya
Diri rasa sunyi aduhai nasib apakah daya
Aku hanya seorang pengembara... yang hina..
Menjelang sampai di Dewan Bahasa dan Pustaka di petang hari itu, aku sempatkan mendengar dua kali suara Said Effendy yang menyanyikan lagu ciptaan Saiful Bahri. Lagu Semalam di Malaya ini, diciptakan Saiful Bahri dari ilham berada di Malaysia tahun 1960. Dia bersama Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, S. Effendy dan Mochtar Embut, melakukan lawatan ke beberapa negeri di Malaysia (Malaya) melakukan pertunjukan pentas yang mendapat sambutan hangat. Lagu Semalam di Malaya ini pun berlanjut dijadikan film berjudul “Semalam di Malaysia,” dengan bintang utama pencipta lagu dan penyanyi Sam Bimbo dan Norzie Nani.
Aku pulang, pulang dari rantau
Bertahun-tahun di negri orang oh.. Malaya
Oh dimana kawan dulu
Kawan dulu yang sama berjuang oh.. Malaya
Kekasih hatiku kini telah hilang
Hilang tak berpesan aduhai nasib apakah daya
Cinta hampa hati merana... mana dia...
Inilah kisahku semalam di Malaya
Diri rasa sunyi aduhai nasib apakah daya
Aku hanya seorang pengembara... yang hina..
Menjelang sampai di Dewan Bahasa dan Pustaka di petang hari itu, aku sempatkan mendengar dua kali suara Said Effendy yang menyanyikan lagu ciptaan Saiful Bahri. Lagu Semalam di Malaya ini, diciptakan Saiful Bahri dari ilham berada di Malaysia tahun 1960. Dia bersama Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, S. Effendy dan Mochtar Embut, melakukan lawatan ke beberapa negeri di Malaysia (Malaya) melakukan pertunjukan pentas yang mendapat sambutan hangat. Lagu Semalam di Malaya ini pun berlanjut dijadikan film berjudul “Semalam di Malaysia,” dengan bintang utama pencipta lagu dan penyanyi Sam Bimbo dan Norzie Nani.
Dalam bus nun tower Dewan Bahasa Pustaka Malaysia |
Ada tiga malam yang kulalui di Kuala
Lumpur. 21 -24 Maret 2014. Kedua lagu lama yang tak pernah usang bagiku itu,
senantiasa bergema di relung hari-hariku. Tersemai di ruang waktu, tumbuh
menuju sebuah pohon di tengah pesawangan kenyataan. Seakan lagu itu menjadi
absah kemudian tanpa terencanakan, terjadi begitu saja, itulah sungguh Maha
Mulia Allah, saat aku mengenal “seseorang” yang dipertemukanNya. Seseorang yang
Laksana Bulan pada Tiga Malam di Malaya.
Diri rasa sunyi aduhai nasib apakah
daya
Aku hanya seorang pengembara... yang
hina...
Abrar Khairul Ikhirma
Sepulang dari Anugerah Puisi Dunia Numera
2014
Kuala Lumpur Malaysia
27 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar