Selama berada di Kota Sawahlunto,
terpandang bangunan Masjid Agung Nurul Islam ini, pastilah terasa menyejukkan
hati. Terutama para penggemar bangunan-bangunan lama, menyaksikan bangunan lama
terpelihara dengan baik dan masih dapat difungsikan, merupakan suatu
kebahagiaan tersendiri.
Masjid Agung Nurul Islam ini dibangun ketika Indonesia sudah
merdeka. Di dalam tahun 1952. Arsitektur bangunannya spesifik dan terasa nyaman
pada zaman ini, ketika dimana-mana berlomba membangun masjid dengan arsitektur
kemegahan. Sudah jauh meninggalkan warna budaya local. Mengandalkan selera
modern dan timur tengah.
Kota Sawahlunto merupakan kota pertambangan batu bara. Lebih
dari seratus tahun, hasil pertambangan batu bara sudah dibawa keluar Indonesia,
sejak ditemukan oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Kota Sawahlunto berada dalam
dasar lembah, dikenal berbentuk “kuali” atau “kancah besar” karena dikepung
oleh perbukitan.
Di Kota Sawahlunto sampai saat ini masih terdapat sejumlah
bangunan lama, sebagai penanda perjalanan sejarah masa lalu. Bangunan-bangunan
lama tersebut, dicetuskan untuk dipelihara oleh mendiang Walikota Sawahlunto,
Amran Nur semasa menjabat. Menjadikan peninggalan lama sebagai asset daerah,
dengan merenovasi, merawat dan mengembangkannya untuk sejarah dan
kepariwisataan Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.
Salah satunya kekayaan cagar budaya yang dimiliki Kota
Sawahlunto ialah Masjid Agung Nurul Islam ini. Dibangun tahun 1952 di atas
tapak bangunan pembangkit listrik, disaat kejayaan pertambangan batu bara zaman
Belanda tengah berlangsung di Kota Sawahlunto.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Mudik Air, merupakan
sentral listrik terbesar di Hindia Belanda yang dibangun akhir abad 19 di
Sawahlunto. Kebutuhan listrik berbagai peralatan dan mesin pertambangan,
penerangan kota,, gedung, kantor dan rumah dipasok dari sini.
Pembangkit listrik ini memiliki ciri khas berupa menara.
Cerobong menara beton setinggi 68,90 meter (sebelah selatan) dibangun NV Beton
Maatschaapij tahun 1911 menggantikan cerobong menara besi setinggi 40 meter
sebelah utara.
Tahun 1924 pembangkit listrik ini dikembangkan dengan
dibangunnya sentral pembangkit di Salak untuk menopang kebutuhan listrik yang
semakin meningkat.
Masa Agresi Belanda, sentral pembangkit listrik di Mudik
Air, dijadikan sebagai pusat perakitan senjata oleh pejuang di Sawahlunto. Di
alam kemerdekaan, bangunannya pernah juga dijadikan sebagai hunian pekerja
tambang. Tahun 1952 kemudian dijadikan sebagai bangunan Masjid Agung Nurul
Islam, untuk sarana ibadah masyarakat Sawahlunto. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar