Kala jauh di rantau orang, keinginan
untuk dapat makan dengan masakan kampung halaman, merupakan kerinduan
tersendiri. Begitulah, dalam perjalanan budaya, setelah menghadiri Temu Penyair
Asean 2016 di Kuala Lumpur, aku meneruskan perjalanan ke utara Malaysia lebih
dari sepekan lamanya. Kemudian dari utara kembali ke Kuala Lumpur dan
seterusnya ke selatan menuju Melaka untuk beberapa hari lagi, sebelum kembali
ke tanah air.
Masakan makanan Melayu yang aku makan selama dalam
perjalanan, tidaklah terlalu bermasalah bagiku. Dengan sendirinya, aku dapat
menyesuaikan sebaik mungkin. Tetapi di hari-hari penghujung perjalanan, kerinduan
untuk dapat makan dengan masakan “orang kampung” sendiri, jelas mendatangkan
sensasi tersendiri.
Suatu kebetulan sekali, ketika sudah berada di Melaka, ibu Lily Siti Multatuliana ---warga
Indonesia yang 11 tahun bermukim di Melaka--- punya jadual hari ini (15
September 2016) mengajar di shelter Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Malaysia
di Kuala Lumpur. Dengan bu Lily aku dapat berjalan-jalan untuk beberapa titik
Kota Kuala Lumpur. Maklumlah, di negeri orang, kita butuh orang yang lebih tahu
akan daerah yang kita kunjungi.
Tak pernah terbayangkan, aku dapat singgah di kedutaan
Negara sendiri diluarnegeri. Walau pun hanya sekadar “mengikut” dan tidak
memiliki tujuan untuk “urusan” dengan kedutaan. Tapi bagiku momen ini sungguh
berharga. Setidaknya, aku sedikit banyak mengetahui kesibukan dan peranan
sebuah kedutaan di luar negeri bagi Negara dan warganegara di negeri orang.
Sungguh aku dapat menyaksikan, begitu ramainya orang-orang
yang berurusan dengan pihak kedutaan. Terutama pada beberapa ruangan yang luas
itu, hampir semua bangku terisi oleh penunggu antrean. Tentu semuanya dalam
melengkapi dokumen mereka sebagai warganegara, untuk memudahkan urusan mereka
di Malaysia.
Setelah bu Lily selesai mengajar di shelter kedutaan, karena
hari sudah siang, perutpun terasa keroncongan. Kami segera makan siang di
kantin yang terdapat dalam kedutaan. Lokasinya berada di bagian belakang
bangunan, dengan memanfaatkan sebuah ruangan yang tersisa. Luasnya lumayanlah
untuk tempat menikmati makan dan minum. Meskipun boleh dikatakan belum memadai
sebagai suatu ruangan untuk bersantai.
Pada saat kedatangan kami, hampir semua meja terisi. Sungguh
ramai orang. Kantin kuliner Indonesia itu terdapat beberapa counter masakan
daerah. Salah satunya yang langsung menjadi perhatianku ialah masakan Padang. Masakan
orang “kampungku.” Orang Minang bila di rantau, selalu menyebutkan rumah
makannya dengan “Masakan Padang.” Karena memang nama “Padang” dikenal oleh
penikmat kuliner untuk urusan “makan” dan urusan nama rumah makan.
Aku memesan nasi putih dengan lauknya dendeng. Walau pun “rasanya” tidak seperti makan di kampung,
di tanah air, namun terasa enak, karena tidak jauh beda dengan masakan
sehari-hari. Aku pun memaklumi masakan Padang di perantauan tentu sudah ada
penyesuaian dengan selera “internasional.” Agar makanan yang dijual dapat
dinikmati juga oleh mereka yang bukan “Orang Padang.”
Karena aku tidak bekerja di media lagi, aku tidak sampai
harus mewawancarai counter kuliner Masakan Padang itu sebagai bahan berita atau
tulisan untuk media. Meskipun naluri itu sempat juga menghampiriku saat
menikmati makan siang. Tapi akhirnya aku urungkan niat. Memutuskan, aku hanyalah
seorang “pelancong” saja.
Sebagai salah seorang warganegara Indonesia, aku berharap
kedutaan-kedutaan kita diluar negeri, lebih serius menyediakan ruangan untuk
kuliner seperti ini, lebih memadai dan layak, sebagai suatu tempat “perkenalan”
kepada para mereka yang ingin merasakan kuliner Indonesia dan juga bagi
warganegara kita diluarnegeri dapat menjadikannya sebagai arena pertemuan yang
santai dan akrab kala di rantau orang (*)
abrar khairul ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar