Ada banyak soal di dalam hidup ini
pada akhirnya harus dilupakan diantara yang terlupakan. Sebahagian orang
mungkin akan selalu mengingatnya, meskipun tidak hal indah dan menyenangkan.
Tapi banyak pula membiarkannya terkubur jauh tanpa harus diziarahi lagi.
Menjelang waktu subuh, aku sudah terpancang di KLIA2.
Airport tempat aku kembali ke tanah airku dari Kuala Lumpur, Malaysia, menuju
Bandara Internasional Minangkabau, Indonesia. Walau pun cara ini tidak berkenan
bagiku, aku harus terima sebagai suatu kenyataan. Suka tak suka adalah
pernak-pernik perjalanan.
Paling tak kusukai dalam apapun hal ialah tergesa-gesa atau
terburu-buru. Jika dibiasakan hanya akan menjadi perilaku merugikan.
Ketergesaan senantiasa dekat dengan perkara hilang control, ada benda
tertinggal, ada pesan tak sampai, bukan tidak mungkin dapat menciderai atau
membahayakan keselamatan.
Penerbanganku tidak waktu pagi. Siang yang sudah mendekati
waktu sore hari pkl.15.45 waktu Malaysia. Aku tak hendak ambil resiko terlambat
berada di airport maka, aku ikut bersama rombongan pertama dihantarkan dari
hotel ke airport. Keluar dari hotel
pkl.04.00 dinihari. Bus datang, langsung berangkat.
Padahal kembali di hotel sudah malam, selesai penutupan
resmi acara yang kuhadiri. Aku memutuskan memilih trip pertama ke airport,
karena trip kedua pkl. 12.00 siang. Akibatnya, aku tidak dapat istirahat tidur
dan juga kehilangan breakfeast disediakan
hotel. Harus “menggelandang” dulu mulai sebelum subuh sampai petang hari di
airport seorang diri.
Kembali di hotel sudah malam, tidak tidur karena takut
ditinggalkan, tidak minum pagi, padahal checkout
dari hotel setahuku biasanya pada pkl.13.00, hanya tersebab jadual bus yang
disediakan pada waktu pkl.04.00 dinihari dan pkl.12.00 siang. Aku menggerutu
sendiri. Sesuatu yang sudah dinikmati dengan menyenangkan, rupanya ada hal tak
membuat nyaman. Apa boleh buat. Terima sajalah. Hibur diriku.
Aku mungkin seorang orang kampung yang tidak modern.
Sebetapapun terlengkap dan mewahnya suatu bandara pernah aku jejaki, tetap saja
kurasakan tidak menjadi tempat yang menyenangkan. Tempat santai tidak pernah
ditempatkan pada lokasi yang tepat. Kursi selalu jumlahnya terbatas. Toilet
letaknya pada titik yang tak mudah ditemui. Alasanya untuk keamanan.
Meskipun aku bukan seorang yang suka shooping, terasa
bagiku, airport kini terkesan dikonsep “menggiring” orang untuk berbelanja dan
makan minum di kedai dan café sambil menunggu jadual keberangkatan. Kalau hanya
menunggu saja dan tidak ingin makan minum di café, ya, pandai-pandailah
menikmati kursi yang sudah disediakan walau tidak di lokasi yang nyaman.
Dalam waktu yang panjang, terasa membosankan, aku tidak juga
menemukan dimana ada tempat di airport megah ini lokasi merokok. Hari sudah
semakin siang. Setelah puas berpindah-pindah ruangan akhirnya aku putuskan
untuk turun dari ruang tunggu di lantai 3 ke lantai 2. Kemudian berkeliling
bahkan berjalan bolak balik diantara keramaian pengguna jasa penerbangan.
Di salah satu lorong diantara kiri kanan counter-counter
cheking ticket, ada atraksi pertunjukan kesenian tari. Orang terlihat
berkerumun. Ramai juga. Suara music berupa rekaman tidak dimainkan sebagai music
hidup terdengar jelas, diantara hilir mudik orang melintasi lorong pintu
keberangkatan antar bangsa.
Jadilah aku salah seorang yang menonton atraksi tari itu.
Penari-penari muda. Hanya laki-laki. Tidak terlihat ada yang berjenis wanita.
Tari itu, menurutku sudah tari yang bersifat kontemporer tapi berdasarkan tari
tradisionil. Sifatnya lebih dirancang ditujukan untuk hiburan. Karenanya, para
penari memakai kostum yang lebih menyolok warna. Warna segar dan ceria.
Aku tak terlalu focus mengamati atau menikmati pertunjukan
semacam itu. Sebagai tak ada pilihan ya sudah setidaknya pengisi waktu dalam
menunggu. Aku lebih memperhatikan songkok yang ada di kepala para penarinya.
Warna kuning terang, berbulu-bulu.
Dalam
hatiku, bila mereka sudah selesai menari, aku ingin meminjam songkok atau
tanjak Melayunya barang sejenak untuk sekadar berfoto. Aku yakin, mereka pasti
membolehkan. Nyatanya, keinginan itu tidak terwujud. Karena aku mengurungkan
niatku.
Kegiatan seperti yang kutemukan di airport Klia2 itu, salah
satu upaya memperkenalkan suatu daerah dengan potensi kesenian dan budayanya.
Tentu tujuan yang utama terhadap perlancongan atau kepariwisataan. Seiring
dengan kemudahan lalulintas manusia dari satu daerah ke daerah lain, dari satu Negara
ke Negara lain. Yang dimungkinkan dengan hubungan keserumpunan atau pun
keterkaitan diplomatic.
Menyaksikan pertunjukan tarinya, aku segera saja merasa
akrab, karena tidak jauh berbeda dengan unsure-unsur kesenian leluhurku Ranah
Minang. Tari yang bermula dari gerak-gerak silat, distilisasi ke dalam gerak
dengan rangkaian komposisi.
Tidak salah kemudian, sewaktu sudah berada di ruang
tunggu untuk masuk pesawat, aku bertemu seorang orang kampungku yang berkunjung
dari Melaka, satu pesawat kembali ke Indonesia mengatakan, “Tadi uda lihat kan, pertunjukan tari di lobi keberangkatan itu adalah
randai,” katanya padaku.
Antraksi tari tersebut adalah suguhan promosi pelancongan
yang digiatkan dari Negeri Kelantan. Salah satu negeri dalam Negara Malaysia.
Walau pun aku belum berkesempatan melancong ke negeri itu,
setidaknya dengan peristiwa kecil di airport Klia2 ini, menjelang meninggalkan
semenanjung Malaysia, aku seperti diingatkan kembali pada seseorang. Kami pernah
berjumpa dan saling mengenal sesaat di Kuala Lumpur. Beberapa tahun silam. Dia
berasal dari Negeri Kelantan. Kini entah dimana.
Kueja tulisan yang dituliskan di counter promo itu; “I
Love Kelantan # Kelantan di hati.” @ copyright: abrar khairul
ikhirma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar