Buku Puisi Pemenang Anugerah Tokoh
Patria Numera 2017, Abrar Khairul (Putu) Ikhirma.
Stilistik-sunyi
Linguistik sepi
Linguistik sepi
“waktu ashar
kukirimkan jantungku
dengan hati tiada terbelah
padamu kehidupan
kembara”
kukirimkan jantungku
dengan hati tiada terbelah
padamu kehidupan
kembara”
Abrar Khairul (Putu)
Ikhirma, teman yang unik dan sangat
menyenangkan ini - mungkin 'menjengkelkan' bagi mereka yang belum mengenalnya
dengan baik - tapi bagiku ia sangat menyenangkan, adalah Tokoh Patria Numera
2017.
Saya baru pertama kali ini berjumpa dengan buku puisinya, langsung
terpesona. Mula-mula ia merawat bahasa Melayu dengan cara menghidupkan, ke
dalam tema, tokoh-tokoh penyair di daerahnya, tapi lebih dari itu cara ia
berpuisi itu sendiri.
Sunyinya benar-benar datang dari keadaan yang ia alami,
bukan yang ia bayangkan. Kita tidak menjagokan sepi, tapi manakala hakikat
kehidupan ini memang sunyi, dari setiap degup yang kita rasakan, maka tahulah
kita bahwa sepi memang mesti dikelola oleh penyair agar hidup yang senyap ini
terasa lebih menekan. Menekan ke/di dalam bahasa.
Tekanan yang dibaca oleh ilmu sebagai daya bahasa. Membuat
saat kita membacanya, kita pun mengalami daya bahasa itu, dilibatkan oleh si
puisi ke dalam sepi yang ia kisahkan itu.
Masih adakah suatu sepi di atas senyap ini, saat seseorang
aku-saya mula-mula membelah dirinya, jadi aku-lirik dan di dalam kedudukannya
sebagai aku-imaginatif ini ia kuasa untuk mengelola ada secara apa saja
termasuk adanya kenyataan dirinya yang kini telah menjadi kenyataan aku-citra.
Abrar Khairul Ikhirma membuat "kehadiran"(nya)
dalam buku puisi Hang Tikam Tuah Kenang, seperti ini. Puisi dibawa ke arah
pribadi, individual, tapi "jantung melayu" sang penyair yang menuntun
ia berpuisi, bukan jantung yang lain. Seolah-olah ia 'mengoreksi' para penyair,
dengan membubuhkan waktu mengenangNya. "waktu ashar", kata Abrar
Khairul Ikhirma akan kejadian yang ia kisahkan dalam "kehadiran".
Ada apa dengan "waktu ashar"? Rupanya ia dipilih
karena keadaan adalah tepian - malam hendak menjelang, pagi siang sudah usai.
Adalah waktu darurat bagi manusia. "waktu kembara" kalau istilah
Abrar Khairul Ikhirma, bahwa kembara dimulai saat setelah waktu Ashar.
Apa yang abstrak menjadi konkret, pada saat yang sama yang
konkret itu jadi abstrak lagi. Dalam istilah bentuk inilah jukstaposisi ke
jukstapose. Bahasa itu memang aneh kalau kita hayati dalam kedudukannya sebagai
pengertian, aneh ia pandai membubarkan kenyataan menjadi kenyataan ada yang tak
dapat kita pegang, tapi ia kita kenali. "kehidupan", misalnya,
kenyataan yang tak berbadan tapi tubuh kita dimuatkan ke dalam badan kehidupan
ini. Berlakulah tubuh nyata kita menjadi tubuh nyata citra karena si aku, yang
nyata itu, mengirimkannya kepada si dia adalah "kehidupan", yang tak
nyata itu.
Kenyataannya begitu luas sehingga kata dasar hidup yang
diikat kedua ujungnya lewat ke dan an pada dasarnya adalah ruang bagi waktu
untuk menghilangkan tubuh nyata si aku. Apa yang kita sebut sunyi kini bermain
di satuan kata, di bahasa, tempat bagi Abrar Khairul Ikhirma mengeola
"kehidupan", dengan si aku di dalamnya. Si aku yang bermain
pembelahan, lewat kegiatan tangan yang nyata tapi dada yang telah diambil oleh
"kehidupan" - ia menjadi kabur lagi: mana tubuhnya? Tapi si tangan
itu begitu meyakinkan membelah dirinya.
Membelah diri dan muncul dengan, inilah buah kreasi si
tangan, jantung yang diambilnya dari dalam tubuh dan kini dikirimkannya ke
kehidupan. Kejadiannya di waktu ashar, waktu perpindahan yang menjadi isyarat
bagi kembara. Dengan cara begini linguistik saya sedang menempuh realisme dalam
bahasa, bahwa satuan-satuan pengertian dikembalikan lagi ke dalam kalimat
sebagai struktur, tapi linguistik ini rupanya mengada dalam stilistik yang akan
menghasilkan permainan bahasa mengatasi tubuhnya sendiri. Ia kini beyond
bahasa, karena si puisi melakukan "kembara" melalui dirinya.
[Ditulis oleh HUDAN HIDAYAT, penerima Tokoh Persuratan Dunia
Numera 2017]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar