Sejumlah puisi-puisi yang ditulis dan
terinspirasi dari menghadiri “Anugerah Puisi Dunia Numera 2014,” di Kuala
Lumpur, Malaysia, awal tahun 2014, disaat kabut asap kebakaran hutan di
Sumatera mencapai tanah semenanjung.
Akhirnya, aku mengambil keputusan
untuk pergi ke Kuala Lumpur, setelah ingin bertahan tidak akan pergi. Sejak
akhir tahun 1990-an, aku sudah “menghilangkan diriku” dari pelbagai acara-acara
kesenian. Termasuk mulai menghentikan mempublikasikan tulisanku ke media
suratkabar. Aku memilih hidup “dalam kegelapan,” menghindar diri bertemu
teman-teman dan tak ingin diketahui keseharianku sebagai “Pangeran Kegelapan.”
Puisiku “Hang: Kekal di Selat Melaka,” terpilih menjadi salah satu puisi
yang mendapat Anugerah Puisi Dunia Numera
2014. Selain puisi itu, 2 puisi lainnya, “Puteri Hijau” dan “Tumpak nan
Sembilan” termuat ke dalam buku Antologi Puisi “Risalah Melayu Nun Serumpun,”
yang diterbitkan Persatuan Sasterawan
Numera Malaysia sebagai penyelenggara peristiwa sastra tersebut.
Aku tidaklah seorang pendekar. Juga
bukan seorang jagoan berkelahi. Aku hanya orang biasa yang menyukai dunia
kepenulisan. Karenanya “kehadiranku” tak kuingini dengan hanya “tangan kosong,”
seperti banyak kutemui para pendekar dan jagoan “tangan kosong,” di berbagai
peristiwa kesenian.
Setiap seusai acara kesenian yang
diikutinya, baik memang “murni” diundang hadir karena kapasitas diri dan
karyanya maupun sebagaimana tradisi sekarang ini yakni “minta” sendiri agar
diundang penyelenggara acara, biasanya pulang tidak “menghasilkan” apa-apa
kecuali, hanya menambahkan satu baris dalam daftar riwayat hidupnya bahwa telah
pernah diundang acara “bergengsi.” Sebagai bentuk penjelasan kepada orang lain,
dirinya adalah pendekar atau jagoan di dunianya.
Karena pendekar atau jagoan
itulah (barangkali) makanya mereka tangan kosong. Sepulang dari setiap acara,
hanya membawa “sejumlah file foto digital” rekaman dirinya dan “sejumlah buku”
pemberian atau hasil tukar menukar. Tak akan “ditemukan” sebuah tulisan artikel
yang ditulisnya “bercerita” sesuai dengan “sudut pandangnya” perihal peristiwa
yang dihadirinya. Atau sekurang-kurangnya berupa postingan foto yang disertai
catatan pendek perihal acara (tidak dirinya pribadi) di akun media sosialnya.
Begitulah umumnya penulis yang
menghadiri acara penulis. Atau kini lebih popular disebutkan sebagai sastrawan
dan acara sastra. Penulis yang tidak “tergerak” hatinya untuk menulis meskipun
penulis.
Tulisan berupa artikel dapat
dikirimkan ke berbagai media atau setidak-tidaknya diposting melalui blog
pribadi atau media social lainnya di internet. Atau lebih praktis berupa
catatan 2 – 3 paragraf di media fesbook dan semacamnya.
Tetapi tidak banyak
menggunakan media tersebut sebagai “bentuk” dari kehadiran di pelbagai
peristiwa. Bentuk meramaikan publikasi informasi. Bentuk menunjukkan
tanggungjawab moral eksistensi diri. Di abad kemudahan teknologi informasi oleh
setiap orang. Apalagi bagi seorang penulis yang kreatif.
Jika ada 100 orang penulis
menghadiri acara sastra, ada 80 orang diantaranya tergerak hatinya menulis
catatan topic acara yang dihadirinya, kemudian mempublikasikannya ke berbagai
media mainstream atau pun media
social.
Itu artinya ada 80 orang “memperlihatkan” kemampuannya menulis dan ada
80 tulisan tersebar yang dapat dibaca dan diketahui oleh khalayak ramai perihal
sastra, selain hanya dirinya sendiri dan teman-temannya saja. Ada 80 orang yang
tidak menjadikan dirinya hanya sebagai “benalu” tapi “ikut” membesarkan
“peristiwa” yang dihadirinya.
Sayang, hanya sedikit diantara
para pendekar dan jagoan tangan kosong di rimba kepenulisan kita dewasa ini,
menggunakan “senjatanya” dengan “baik” untuk menulis “peristiwa sastra”
sekembali dari peristiwa sastra itu sendiri. Mereka itu memang tidak pendekar
atau jagoan tangan kosong tapi ia menulis. Dengan tulisannya apapun kualitas
dan kepentingannya, membuktikan dirinya adalah memang penulis!
Aku senang menulis. Aku suka
menuliskan hal-hal yang aku lihat, aku pikirkan, juga apa yang aku rasakan. Aku
tidak seorang pendekar atau pun jagoan. Aku hanya seorang penulis.
Adanya teknologi internet, adanya
media social, tanpa menyita waktu, ada banyak kemudahan dan simple dapat
dilakukan menuliskan catatan-catatan singkat untuk dibagikan, memberikan
apresiasi pada masyarakat, selain hanya foto-foto diri sendiri.
Aku pun menulis beberapa tulisan,
kemudian “kusimpan-publikasikan” di blog pribadiku, selain berbagai postingan
lompatan spontanitas di media social akun fesbookku sendiri, perihal peristiwa
Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 yang
akan kuhadiri. Ternyata tulisan-tulisan itu tiada tersadari cukup untuk
dikumpulkan dalam bentuk sebuah buku kecil sederhana. Akupun editing, mengatur
tata letaknya, merancang cover dan mencetaknya menjadi buku.
Tenggat waktu yang singkat aku
telah menghasilkan sebuah buku berupa catatan kebudayaan berjudul, “Izinkanlah Aku Bicara” (2014).
Sejumlah dari buku ini kubawa serta ke Kuala Lumpur, bersama satu kumpulan
puisiku, “Antara Bukik Punai” (2008).
Kedua buku itu telah menjadi
“buah tangan.” Kehadiranku tidak sebagai pendekar atau jagoan “tangan kosong.”
Tidak hanya sekadar “menerima” hadiah tapi “kukembalikan” dalam bentuk lain.
Walau pun aku sadar, dalam konteks itu, aku tidaklah seorang yang “diutamakan.”
Tidak memiliki beban moral yang tinggi. Tetapi bagiku, semampuku, kepada diriku
dalam hal apapun, disitulah aku “mempertaruhkan” itikad kepenulisan yang
kupilih.
Berbekal sebuah camera pocket
20.1 mp tanpa memiliki ponsel pintar
dan laptop, aku mengikuti peristiwa sastra itu. Dari awal sampai akhir acara,
aku “gunakan” alat sederhana yang kumiliki semaksimal mungkin, untuk merekam
berbagai momen yang tidak hanya objeknya “diriku” sendiri.
Walau pun saat itu, aku belum memiliki
sebuah personal computer atau pun laptop, sepulang dari Kuala Lumpur, di
waktu-waktu senggang, aku gunakan waktuku menumpang bekerja menggunakan
personal computer teman-temanku. Foto-foto dapat kuedit. Pergi ke kedai internet
memposting. Berbagi informasi dan berbagi momen foto bagi yang membutuhkannya.
Sebuah buku catatan kebudayaan,
foto-foto di album fb-ku, 9 video pendek documenter di youtube, sejumlah
tulisan di blog pribadiku, itulah yang “kuhasilkan” dari momen peristiwa yang
kuhadiri, meskipun bukan kewajiban yang dibebankan kepadaku. Tersebab aku
penulis. Tidak karena orang lain. Tidak karena hadiah. Tidak karena honor. Juga
tidak karena adanya hubungan “kedekatan.”
Sampai hari ini, masih ada
sejumlah topic berkait peristiwa sastra itu yang belum sempat kutulis. Itu
tetap akan kutulis nantinya untuk blog. Pun ada sebuah buku yang masih
terbengkalai aku susun. Nanti ada waktu, tetap akan kuselesaikan. Walau waktu
telah berlalu dari tahun 2014.
Begitu juga terhadap buku
kumpulan puisiku ini, adalah puisi-puisi yang kutulis dan terinspirasi sejak
mula menjejak kota Kuala Lumpur menghadiri Anugerah Puisi Dunia Numera 2014,
sampai aku kembali ke tanah air.
Sebagai penulis, aku bentangkan
Kain Cindai Panjang Tujuah
Bacalah.
Abrar khairul ikhirma
November 2015
Judul: Kain Cindai Panjang Tujuah
Buku: Kumpulan Puisi
Penulis: Abrar Khairul Ikhirma
Penerbit: Cati Bilang Pandai
Cetakan
Pertama: 2015
Halaman: 60
Kandungan
Isi:
TITIAN KATA – BANGSAR – PANDANGAN PERTAMA – HANG: KEKAL DI
SELAT MELAKA – SEBUAH ANALISIS AKRAB – PUTERI HIJAU – TUMPAK NAN SEMBILAN – DBP
– KAIN CINDAI PANJANG TUJUAH – KUALA LUMPUR 2014 – LEMBAH BERTIMAH – SENJA DI
MELAKA – CINDERELLA MELAKA – SANG PENEROKA – BANDARAYA – YAP AH LOY – JEUMPA D’
RAMO – KHATIJAH SIDEK – GURINDAM 13 – BUKIT BINTANG – BERLAYAR DI HUTAN BETON –
TERBAWA MIMPI – GAGAK HITAM – RIWAYAT PERTEMUAN – LEPAS TANGKAI - BIOGRAFIE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar