Menyakitkan tidak harus meratap
meskipun airmata jatuh ke dalam. Jatuh bangun dengan berbagai kegagalan, tak
dapat dihitung, waktu tak mungkin diraih, masa telah berlalu dan usia semakin
berkurang, terbuang sia-sia. Namun demikian bagiku hidup masih dapat kusyukuri
dengan jalan keyakinan dan terus memupuk kesabaran lahir batin walau banyak hal
tak dapat diraih. Alhamdulillah…
Pada masa kecilku yang seringkali sakit-sakitan, hampir tak
memiliki masa kanak-kanak yang indah, aku pernah memiliki suatu impian dalam
hatiku, suatu hari kelak, ingin memiliki sebuah Panti Asuhan di sebuah areal
tanah yang luas. Dimana dapat menampung anak-anak yatim piatu dan anak-anak
terlantar.
Aku ingin di Panti Asuhanku itu menjadi tempat mendidik
hidup mandiri, yang tidak hanya berkutat semata-mata belajar agama, disediakan
makan minum dan pakaian dan kebutuhan lain. Tetapi mereka diajar untuk
dibiasakan mengusahakan perkebunan, pertanian dan keterampilan yang bernilai
jual dengan apa yang dihasilkannya, untuk dapat meraih ilmu pengetahuan dan
teknologi. Menopang kehidupannya agar tidak meminta-minta, tidak mesti menjadi
kaya tapi tidak terjerembab dalam “kemiskinan,” sebagaimana seringkali aku baca
melalui kisah-kisah di bacaan anak-anak seusiaku saat itu.
Impian masa kecil itu hanya terkubur di masa kanak-kanakku.
Karena memang hanya impian dari harapan yang sama sekali tidak dapat
terwujudkan sampai hari ini. Seiring dengan sejumlah kegagalan-kegagalan
kehidupanku. Aku tidak merasa kecewa dan bersalah atas apa yang pernah tumbuh
dalam hayalan masa kecil. Aku justru merasa berbahagia, pernah juga sama dengan
orang lain, memiliki mimpi yang tak dapat diraih.
Ketika menjalani usia 20-an, dalam masa-masa “pencarian”
identitas diri yang lebih sesuai dan memungkinkan, aku pernah pula berkeinginan
pada usia menginjak 30-an nanti, ingin menetapkan sumber-sumber kehidupan sebagai
seseorang yang normative dan ingin melaksanakan ibadah sunatullah untuk
membangun kehidupan berumahtangga, dengan jalan baik-baik dan cara baik-baik,
sesuai dengan keyakinan dalam diriku.
Alhamdulillah, sampai berakhir usia 30-an tiada menemukan
titik terang. Dengan ikhlas aku menerima
semua berbagai cobaan yang dialami dalam hidup, dengan tetap berkeyakinan bahwa
“sepanjang masih ada air yang bersih, aku
tak akan meminum air yang kotor.” Apapun alasan untuk mematahkan prinsip
itu tak menggoyahkanku. Membangun untuk tujuan baik, tak akan mungkin dapat
dilakukan dengan cara yang tidak baik. Karenanya, aku tak akan menempuh jalan “kesesatan.”
Pada pertengahan usia 30-an diantara cobaan memperteguh
keyakinan diri, ketika aku saat itu bagaikan menemukan oasis di gurun pasir dalam hidupku. Dikala hidupku seperti di
tahun-tahun yang “gersang,” diam-diam dalam hatiku, terbersit begitu saja
disuatu hari nanti bila aku ada jalan dalam masa rentang usia 40-an, aku
berniat untuk dapat melaksanakan ibadah Haji ke Baitullah. Insyaallah bila panggilan Nabi Ibrahim itu datang dan memudahkan jalanku. Amin.
Masa usia 40-an pun berlalu begitu saja. Aku tak berkecil
hati karena jalan untuk “panggilan ke Baitullah” tiada juga kutemukan. Aku
tetap menyimpannya sebagai harapanku saja. Aku tetap menempatkan sebagai suatu
prasangka baik, Allah memang belum memberikan jalan untukku tapi tentu ada
jalan lain, jalan baik untukku yang akan dibukakanNya, agar aku menempuhnya
dengan rasa syukur dan keyakinan tidak akan melakukan hal tidak baik pada
hidupku dan hidup orang lain. Insyaallah…
Tersebab adanya kuota ibadah Haji dan daftar tunggu beberapa
tahun terakhir, dan dengan menyadari situasi diriku sendiri, biarlah kusimpan
saja sebagai rahasia hatiku, yang insyaallah hanya Allah yang mengetahuinya.
Tetapi kuota Haji dan daftar tunggu, rupanya menumbuhkan
banyak orang melaksanakan ibadah Umroh. Hampir tiap hari kudengar ada yang
berkesempatan untuk mendatangi Baitullah.
Alhamdulillah…, sungguh beruntung mereka-mereka itu mendapat
kesempatan diberi jalan oleh Allah. Kataku dalam hati, bila aku diberi rezeki
dan jalan yang baik pula, aku ingin juga suatu hari kelak dapat menjalani
Umroh. Dapat beribadah di Masjid Nabawi, Medinah dan bertawaf di Ka’bah – bersa’I Safa Marwa dan beribadah
di Masjidil Haram, Mekah.
Aku, Sulastri, Irvan Khairul Ananda, Melly dan Ibunda Noerni Chairani |
Semua itu sebagaimana yang lain-lainnya juga, hanya aku
simpan jauh-jauh di lubuk hatiku, sebagai rahasia “niat hatiku,” tak pernah
kuceritakan pada orang lain. Aku tak ingin dibebani oleh banyak hal dan tak
ingin membebani orang lain dengan bebanku. Aku tidak meminta. Jika memang
hakku, aku terima dengan rasa syukur dan ikhlas. Tidak hakku, aku sama sekali
tak pernah berkecil hati. Tetap merasa syukur dan ikhlas.
Kalau pun tidak terwujud, aku tak akan menyesalinya walaupun
sebuah kegagalan. Setidaknya bagiku, biarlah semua yang pernah terbersit itu
hanya sebagai “hiasan” sepanjang hidupku saja, kala merasa sendiri setiap aku
tersintak bangun menjelang waktu Subuh.
Kesabaran dengan tawaqal dan rasa ikhlas yang selalu aku
pupuk dalam hari-hariku, walau banyak yang mengatakanku adalah orang kalah,
dengan segala kekuranganku selama ini yang teramat kusadari, sama sekali tak
pernah terbayangkan titik nyatanya, rupanya di tahun 2017 ini ada jalan bagiku
untuk menuju Baitullah. Tidak menunaikan Haji tapi untuk melaksanakan ibadah
Umroh. Menurutku kedua-duanya adalah baik. Sama-sama jalan ibadah. Rasanya
semuanya berlangsung teramat cepat.
Sungguh menggembirakan, aku dapat melaksanakan Umroh
bersama-sama dengan ibundaku H. Noerni Chairani, kakak sulungku Irvan
Khairul Ananda dan isterinya Sulastri, serta Melly isteri adikku Yos
Khairul, dengan travel agent siartour.
Kami berangkat pada Minggu 19 Februari 2017 dari Bandara Internasional Minangkabau,
Sumatera Barat menuju Bandara Internasional Kuala Namu, Sumatera Utara. Esoknya
Senin 20 Februari 2017 saat cuaca cerah siangnya, dari Bandara Internasional Kuala Namu, kami terbang dengan Saudi Arabia
Airlines menuju Medinah. Seakan menembus awan di langit tinggi, mencari jejak
cahaya matahari yang akan terbenam.
Alhamdulillah ya Allah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar