Kawasan pantai Muaro Tiku, saat ini perlahan mulai dikenal sebagai salah satu
objek wisata yang terdapat dalam wilayah Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Terutama pada hari libur ramai dikunjungi wisatawan luar daerah. Sayang…, pemerintahnya
terkesan belum serius.
Pasangan suami-isteri Reymond Chandra-Resita Reymon
bersama anaknya, sudah lama teragak
makan kalio lokan. Lokan merupakan spesies yang hidup di kawasan
berlumpur muara sungai. Selain dikalio ---dimasak santan dan bumbu yang
kental--- lokan juga biasanya dipanggang ---dibakar.
Biasanya menu lokan ini hanya tersedia di rumah-rumah makan
tertentu. Termasuk dijadikan daging sate oleh penjual sate yang berasal dari
kawasan pesisiran pantai barat Pulau Sumatera (Pariaman dan sekitarnya).
Karena Tiku merupakan daerah pertemuan antara pesisiran dan
daratan, masyarakatnya sebahagian menyukai masakan ikan dan lokan yang hidup di
air tawar. Ada beberapa rumah makan di daerah Tiku menyediakan menu lokan
setiap hari.
Reymond Chandra, sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri
sipil di lingkungan Pemko Pariaman, mendadak mengajak saya berpergian ke Nagari
Tiku, untuk menikmati makan siang dengan menu lokan. Kami berangkat selepas
sholat zhuhur. Jalan yang menghubungkan Kota Pariaman dengan Tiku saat ini
dalam perbaikan pengaspalan. Sehingga di beberapa titik terasa kurang nyaman.
Namun perjalanan dapat ditempuh lebih kurang setengah jam.
Selepas makan siang di sekitar Pasar Tiku, kami meneruskan
perjalanan hanya beberapa meter lagi mendekat ke kawasan pantai. Walaupun
kawasan pantai ini sudah dibuka sebagai salah satu objek wisata di kabupaten
Agam, namun jalan penghubung dari jalan raya ke pantai belum tersedia jalan
wisata yang mudah dan nyaman bagi pengunjung dari luar Tiku.
Jalan masuk ke pantai saat ini, belum terdapat penunjuk arah
yang mudah dikenali setiap pengunjung, jalan aspal sudah lebarnya kecil,
melintas diantara rumah pemukiman penduduk, terdapat kerusakan di sana-sini dan
tidak merupakan akses praktis dari jalan raya menuju objek wisata.
Pasia Tiku atau Pantai Tiku ini terdapat muara sungai yang
dikenal sebagai Muaro Tiku. Pada masa dahulu, terakhir di masa perdagangan
Pantai Barat, Tiku merupakan daerah pelabuhan dan menjadi pintu gerbang kawasan
“Piaman.” Di masa penjajahan Jepang, tentara Jepang sempat mendirikan sejumlah
benteng pertahanan di sekitar Muaro Tiku.
Di tahun 1980-an kawasan pantai ini hanya terdapat rumah nelayan
yang terbuat dari kayu beratapkan rumbia, tempat penjemuran ikan di sana sini,
hingga dari kawasan ini sempat populer daerah penghasil ikan kering terbaik
mensuplay pasar Sumbar-Riau-Jambi. Kini kawasan pantai yang luas dan terbuka
pada masa dahulu tersebut, sudah terlanjur penuh dengan bangunan-bangunan rumah
penduduk. Menjadi kawasan padat.
Terutama dengan dibangunnya Tempat Pelelangan Ikan dan
sebuah pabrik es mini. Sendimen yang sangat tinggi di kawasan pintu muara
hingga teluk di hadapan, terjadi pendangkalan. Begitu juga kawasan pelabuhan
yang sampai saat ini rencana pembangunan dermaganya tidak kunjung terwujud,
menyisakan tiang-tiang sebagai monument “kegagalan” menjadikan Tiku salah satu garda depan peningkatan perikanan laut.
Satu rangkaian dari satu kesatuan, antara Muaro Tiku dengan
Pelabuhan, terdapat areal kawasan pantai yang kini sudah terbentuk sebagai
kawasan terbuka ruang public objek wisata. Kerimbunan pohon pelindung,
kedai-kedai berbahan kayu dan beratapkan rumbia, berjejer dengan rapi.
Semestinya sedari sekarang hal ini perlu dipertahankan dan dibatasi jumlahnya.
Saat ini kondisinya sudah ideal. Perlu tetap dipertahankan kedai tidak berubah
fungsi berdinding dan menjadi tempat tinggal.
Termasuk payung-payung dari para pedagang dibatasi hanya
berada di sekitar pohon pelindung, tidak melebar ke arah pantai. Pantai tetap
menjadi ruang terbuka bebas bagi pengunjung. Saat berada di Pasia Tiku,
terlihat pantainya dalam keadaan bersih dan nyaman. Kesenyapan ini justru dapat
menjadi daya jual bagi Tiku. Termasuk masyarakat dan pemerintah harus
mempertahankan kawasan ini menjadi kawasan pantai tanpa betonisasi. Sebab di
banyak objek wisata pantai di Sumatera Barat mayoritas kini sudah rusak dengan
kehadiran beton-beton dan tidak natural.
Isyu “natural” tanpa betonisasi ini dapat menjadi promosi
ampuh bagi Tiku, mengundang wisatawan untuk berkunjung ke Pasia Tiku. Selain
akses yang tidak praktis dan nyaman, pihak pengelola sudah harus mengantisipasi
produksi sampah, sehingga tidak lagi ada di sana sini terlihat di objek wisata.
Termasuk melakukan pemotongan rumput secara berkala di lapangan terbuka,
terutama sekitar monument selfie “Pasia Tiku.”
Sayang saya tak berkesempatan bertemu dengan seorang pemuda
Tiku yang bernama Idham Firmantara. Beliau dalam waktu terakhir ini sangat gencar
mempromosikan “mutiara” Nagari Tiku ini di media social, termasuk bersama
sejumlah pemuda-pemuda setempat dan para nelayan membuka ruang jalur pengunjung
berwisata ke kedua pulau di hadapan Pantai Tiku dan memback-up kelompok hobbies “mancing mania” di kawasan laut Tiku.
Sampai berakhir petang kami merasa puas bersantai menikmati
hari libur di Minggu 19 Februari 2017 di Pasia Tiku, walaupun cahaya matahari
tak memenuhi standar pemotretan menghasilkan foto-foto terbaik. Cahaya redup
bersatu dalam suasana senyap, diantara angin laut segar bertiup perlahan dan ombak
hanya mencubit pantai tanpa keganasan (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar