Sulit untuk menemukan “pemimpin” di
Indonesia berpihak kepada “budaya” dalam masa kepemimpinannya. Kalau sekadar
hanya “retorika” misi-visi, hampir semua calon dan pemimpin pasti menulis dan
menyebutkannya. Tidak lengkap kalau tidak mencantumkan perihal budaya menjelang
“terpilih.”
SEKELUAR dari
lobby Summit Signature Hotel di
kawasan Jalan Puchong, bersama teman sebilik yang baru kukenal, Diding
Tulus (dari Bandung), langsung dihampiri Hudan Hidayat (dari
Jakarta), yang juga baru kukenali, mengajakku untuk minum, menunggu
keberangkatan menuju tempat pembukaan acara Seminar
Internasional Sastera Melayu Islam yang kami hadiri dari Indonesia.
Aku menerima
tawaran itu, maklumlah selama ini kami hanya saling kenal nama saja melalui
media social dan belum pernah berjumpa. Kami bertiga memasuki restaurant dan
café yang terletak berdampingan dengan lobby hotel. Saat mencari meja yang akan
kami gunakan, nyatanya, tokoh penyair gurindam
dari Kalimantan Selatan, Iberamsyah Barbary mengajak
bergabung di mejanya saja. Di meja itu sudah ada beberapa orang lebih dulu
berkumpul.
Kami pun turut
bergabung pada meja makan panjang yang sama. Alasannya, untuk saling
mengakrabkan hubungan sesama orang kesenian. Sama-sama datang ke Kuala Lumpur
menghadiri acara yang sama, yang diselenggarakan Numera Malaysia dan Masjid
Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur.
Iberamsyah
berjarak beberapa kursi dari dudukku, diantara mula percakapan saat itu,
menyebutkanku sebagai Tokoh Patria Numera
2017 yang akan dinobatkan. Ucapannya itu terkesan bagiku ditujukan kepada “seseorang”
di hadapan kami. Orang tersebut bersebelahan denganku. Orang yang berulangkali
menawarkan kami semua untuk memesan makanan dan minuman. Akhirnya hanya minum
“teh tarik” saja tanpa makanan sepetang itu. Karena aku terikut berbasa-basi.
Aku hanya mendengarkan
percakapan saja. Topik pembicaraan perihal potensi dan kegiatan kesenian yang
tengah berlangsung di Kota Banjarbaru. Bukan aku tidak tertarik terlibat
pembicaraan, akan tetapi susasana diriku di tempat semacam ini, seringkali
tidak mampu membuatku merasa santai. Ditambah lagi orang-orang di hadapanku
baru berjumpa dan belum sepenuhnya aku “kenali.”
Baru seteguk
teh tarik kuminum, akhirnya bersama Hudan, memohon diri untuk duduk diluar, di meja-meja
yang berada di teras depan restaurant dan café hotel. Petang hari menjelang
maghrib. Tujuanku bersantai merokok. Bersama Hudan Hidayat. Topik pembicaraan
tidak jauh dari persoalan sastra. Terutama perihal “Numera” dan teman-teman
sastra.
Baru beberapa
menit saja turut pula bergabung penyair dan pengajar Siamir Marulafau dari
Medan, Sumatera Utara dan monologer Nuyang Jaimee asal Jakarta. Akan
terbentuk suatu percakapan lepas, datang pulalah Iberamsyah Barbary, Sirajul
Huda dan dua orang lagi turut bergabung. Maka meja kecil di hadapanku
menjadi “sesak” tapi “menjelma” suatu peristiwa kecil yang menyenangkan saat
itu.
Bagi kami
kalangan seniman di Sumatera Barat, terutama dalam rentang tahun 1970 sampai
1990-an, hal serupa ini sudah menjadi hal biasa. Sudah tradisi terjadi begitu
saja setiap acara kegiatan kesenian dan budaya diselenggarakan. Kami
menyebutnya sebagai “acara maota-ota.”
Suatu percakapan dan diskusi lepas oleh beberapa orang terjadi secara situasinal
dan spontan.
Kelebihannya
dari maota-ota demikian, semua yang ada adalah “bintang.” Tak ada yang menjadi
tokoh menonjol atau pusat pembicaraan dan perhatian. Tidak pula ada sifat ingin
menguasai pembicaraan. Setiap orang memiliki hak bicara sepanjang berada dalam
“lingkaran.” Leluhur kami menyebutnya suasana semacam ini, “bakisa di lapiak nan salai.”
Satu sama lain
memiliki pembicaraan kreatif menghidupkan suasana. Biasanya diantara yang ada
saat itu, satu orang sendirinya memposisikan dirinya sebagai “janang.” Dalam
hal forum resmi disebut sebagai “moderator” tapi tidak hanya sekadar berperan
sebagai moderator saja, namun kerap juga “biang keladi” terjadinya intensitas
percakapan dinamik.
Tak ada
senioritas atau pun junioritas terjadi sehingga, pembicaraan mengalir begitu
saja. Tak jarang memunculkan ide-ide bahkan kritik pedas atau pun candaria tawa. Karenanya di berbagai
kegiatan acara-acara kesenian dan kebudayaan, peristiwa semacam ini seringkali
disebutkan, momen “acara maota” itulah acara “sesungguhnya” dari acara yang
mereka hadiri. Sebab kesimpulan dan keputusan acara resmi, seringkali malah
“terlahir” dari hal semacam yang tidak resmi itu.
Pada waktu singkat
menjelang maghrib, di selingkar meja di hadapan, duduk di kursi bersebelahan
denganku, seorang yang datang bersama rombongan penyair Iberamsyah Barbary,
terpancar keramahan yang familiar. Sehingga dengan singkat, ia pun menjadi
titik perhatian kami semuanya. Sejenak, aku pun teringat, jauh sebelum
kedatangan ke Kuala Lumpur, pernah membaca status fb Iberamsyah yang ditujukan
kepada SN Dato’ Dr Ahmad Khamal Abdullah
selaku pengerusi acara, mengabarkan kepastian ia dengan beberapa teman sastra
akan datang bersama Walikota Banjarbaru.
Walau pun
sejumlah pertanyaan diajukan oleh Nuyang Jaimee dan Hudan Hidayat kepada
“seseorang” ini dalam percakapan lepas itu, setiap kali menjawab pertanyaan
entah kenapa ia “seakan” selalu
“tertuju” kepadaku. Diantara itulah, aku
tersadar bahwa yang berada di sebelahku merupakan Walikota Banjarbaru. Patutlah
ia memberikan gambaran sekitar perkembangan kegiatan seniman dan kesenian yang
terjadi di Banjarbaru. Termasuk upaya menggerakkan potensi budaya, disertai
usaha kerajinan masyarakat berbasiskan budaya.
Waktu
percakapan sekejap itu, aku dapat memberikan penilaian kepada Sang Walikota, ia
memang memiliki harapan besar bagi kemajuan di daerahnya. Dari cara ia
mempresentasikan saat itu, aku dapat menyimpulkan, ia tidak hanya seorang
Penjabat, tidak hanya seorang personal pemerintahan saja tapi seorang personal menguasai
“masalah” yang sedang “dibicarakan.” Menunjukkan intelektual personality dan
kecintaan kepada seni dan budaya.
Kehadiran seorang tokoh pemimpin pemerintahan daerah, Drs. H. Nadjmi Adhani, M.Si, dari Indonesia, pada peristiwa sastera oleh Numera di Kuala Lumpur ini, setidaknya patut dicatat suatu hal berharga memberi “pencerahan” terhadap pandanganku di atas.
Nadjmi Adhani, Walikota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, khusus datang dari Indonesia, mengikuti “Seminar Internasional Sastera Melayu Islam.” Diikuti sastrawan, akademisi, pemerhati, dari Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan Bangladesh.
Selain menjadi peserta seminar, Nadjmi Adhani dari awal mula, sudah diberitahu panitia seminar dan Numera, diberikan kehormatan untuk memasangkan “tanjak” (songkok kehormatan budaya Melayu) menandai penobatanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017, satu dari empat tokoh yang dinobatkan di Dewan Al-Ghazali, Masjid Abdul Rahman Bin Auf, Kuala Lumpur, pada malam 29 September 2017.
Drs. H. Nadjmi Adhani, M.Si
(lahir di Banjarmasin, 27 September 1969) adalah walikota Banjarbaru yang
menjabat pada periode 2016 hingga 2021, ia menggantikan walikota sebelumnya Ruzaidin Noor. Terpilih sebagai Walikota
pada pilkada 2015, berpasangan dengan Darmawan
Jaya Setiawan.
Sudah tidak rahasia lagi,
penjabat-penjabat pemerintahan, pabila keluar dari daerah kerjanya, mengikuti
acara-acara serupa ini, biasanya hanya “suka setor wajah.” Apalagi pada acara
seni dan budaya. Momentum acara diluar daerah kerjanya yang dihadirinya hanya
menjadi alat sebagai alasan untuk menggunakan masa “melancong.” Di waktu
pembukaan acara dia hadir. Sesudah itu menghilang. Yang terlihat mengikuti
acara hanya stafnya. Penjabat itu baru terlihat lagi di acara penutupan.
Sepanjang rangkaian acara seminar,
Walikota Banjarbaru ini terlihat mengikuti dengan baik. Sayang aku tidak
memiliki kesempatan untuk melakukan percakapan lebih jauh dengannya. Namun
sikapnya pada saat kehadirannya, ia adalah seorang yang familiar. Akan
bersemangat pabila bercerita perihal budaya dan potensi Banjarbaru.
Selepas acara penobatan Tokoh
Numera 2017, ketika acara malam kedua berakhir, aku dan Walikota berjumpa di
pintu keluar Dewan Al Ghazali untuk kembali ke hotel. Kami saling menyapa dan
berfoto. Esoknya sebelum peserta seminar berangkat melakukan pelancongan ke
beberapa destinasi di Kuala Lumpur, Walikota Nadjmi, kembali berjumpa di depan
lobby hotel. Kami berbicara singkat dan saling mengucapkan salam. Dia
menyampaikan ucapan maaf, karena lebih awal untuk kembali.
Saat menulis tulisan catatan ini,
aku mencoba merangkai kembali perihal “perjumpaanku” dengan Nadjmi Adhani,
Walikota Banjarbaru. Tersadarlah aku, bahwa selama acara itu aku sesungguhnya
tetap dengan kebiasaanku yakni “tak pernah memikirkannya.” Kehadiranku saat itu
tak obahnya sebuah alat rekam saja. Setiap yang terlihat dan terdengar terekam
begitu saja. Tersadar atau tidak. Setelah berlalu, barulah aku melihat dan
mendengar rekaman itu kembali.
Jadi “seseorang” yang bertemu
satu meja di restaurant & caffe hotel hari pertama itu, adalah seorang
Walikota. Aku mengira teman-teman peserta dari Kalimantan saat itu terjumpa
“orang kampungnya.” Tidak tahu bahwa yang duduk di sampingku adalah Walikota.
Selang berapa waktu setelah itu
pada petanghari yang sama, aku pindah duduk di teras depan. Duduk bersama Hudan
Hidayat dan teman-teman. Datang rombongan Iberamsyah turut bergabung.
Diantaranya yang duduk di sebelahku. Tapi setelah akan berakhir percakapan,
baru terlintas dibenakku, orang itu adalah Nadjmi Adhani Walikota Banjarbaru.
Walaupun saat itu sekilas aku
mengetahui Nadjmi adalah seorang Walikota tapi, aku tidak terpikir bahwa orang
yang sama inilah sebelumnya, tadinya duduk semeja di dalam restaurant dan caffe
hotel. Termasuk tidak pula sadar bahwa dialah yang akan didaulat memasangkan
tanjak dan menyerahkan plakat penobatanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017
malam esoknya.
Cilakanya lagi, pada waktu malam
esoknya, Malam Penobatan Tokoh Numera 2017, aku juga tidak pernah terpikirkan
bahwa Numera Malaysia memberikan kehormatan kepada Nadjmi memasangkan tanjak
menandai penobatanku. Aku baru mengetahui, karena sudah sama-sama berada di
atas pentas yang sama di waktu penobatanku.
Bahkan sampai rangkaian acara
berakhir, sama sekali tak terpikirkan bagiku rangkaian dari tiga momentum
“pertemuanku” dengan Walikota Banjarbaru itu. Seakan-akan tidak berkait.
Padahal satu sama lain memiliki keterhubungan tak tersadari.
Hakikatnya, aku ingin menuliskan
ini, karena selama ini, aku telah dipenuhi oleh perilaku “penjabat” yang tidak
memiliki “respek” kepada aktifitas kesenian dan kebudayaan. Baik langsung
maupun tidak langsung. Sehingga membentuk diriku secara alamiah “protect”
kepada “retorika penjabat.”
Sedang pada waktu singkat ---yang
belum tentu dapat membuat kesimpulan pada personality--- aku telah “bersimpati”
kepada Nadjmi Adhani, karena sepanjang kehadirannya di rangkaian acara seminar
sastra, “tidak tampil” sebagai seorang penjabat tapi “menyatu” menjadi lebur
dalam suasana sastra di dalam kesastraan.
Tidak hanya Walikota Banjarbaru
saja yang mendapat kehormatan dalam peristiwa sastra internasional ini tetapi,
acara Seminar Internasional Sastera Melayu Islam 2017 di Kuala Lumpur ini juga
mendapat kehormatan “menuliskan sejarah.” Yang luput dari perhatian banyak
orang. Dimana ada seorang Walikota dari Indonesia bersedia hadir dan menjadi
“orang sastra.” (*) copyright: abrar
khairul ikhirma