60 KM jarak telah kutempuh. Di bawah terik matahari musim
kering. Ketika angin yang pelit untuk bertiup. Sepulang dari wawancara dan
berfoto, mengurus tahap kedua untuk mendapatkan selembar paspor. Aku berhenti
sejenak menjelang sampai ke tujuan. Di tepi jalan beraspal menghubungkan 2 kota
yang selama ini tak bisa dilepaskan dalam perjalanan hidupku.
Hanya sejenak tertegun. Tiba-tiba aku teringat. Merasa
bersalah. Tapi semuanya belum terlambat. Hari ini aku harus mengabarkannya.
Aku kembali melanjutkan perjalanan beberapa ratus meter . Tiba-tiba
membelok ke kanan setelah meliwati lintasan rel kereta. Memasuki jalan tanah di
sisi rel. Jalan tanah, berpasir dan berbatu. Hanya beberapa puluh meter saja,
hingga mencapai sebuah rumah yang menghadap rel kereta.
Di teras rumah, seorang perempuan setengah baya bergegas
akan masuk ke dalam rumah, terhenti langkahnya seketika. Membalikkan tubuhnya ke
arah kedatanganku di halaman. Pandangannya heran. Karena aku masih berada di
atas motor, dengan kepala bersungkup helm. Ia tak mengenalku. Namun aku
mengenalnya sebagai isteri Sang Guruku.
Aku langsung saja menanyakan suaminya, apakah ada di rumah. Tanpa
harus berbasa-basi, suatu kebiasaan buruk yang begitu saja muncul. Di tengah
hari yang tegak tali itu, aku sendiri sudah mengetahui tak mungkin Guruku ada
di rumah. Selain bukan hari libur, masih terhitung hari kerja. Di halamannya
sama sekali aku juga tak melihat satu kendaraan yang terparkir.
Setelah mendapat jawaban bahwa yang akan kutemui tidak
berada di rumah, aku langsung berkata kepadanya: “Bu… tolong sampaikan pada
bapak, saya insyaallah bulan maret nanti akan pergi ke Malaysia...,”
“Mau merantau ???” tanyanya.
“Tidak. Tolong sampaikan pada Pak Asri Kasim, sebuah puisi
karya saya, mendapatkan penghargaan di Malaysia…,”
“Namamu Arkhi, khan ???” ia memastikan keberadaan diriku.
“Ya, bu. Saya murid beliau…,”
“Merinding ibu mendengarnya…,” spontan saja ucapan itu
keluar dari mulut isteri guruku. Sembari mengusap satu sama lain kedua
tangannya, berikut gerak tubuh dan ekspresinya. Matanya terlihat sepintas
alamiah terharu.
Kudengar suara ibu itu meskipun hanya gumaman, “Alhamdulillah….,
syukurlah…,”
Aku tercenung. Sedemikian besarkah arti semua ini bagi sejumlah
orang-orang tercintaku ???
Isteri Guruku itu tinggi semampai. Berkulit kuning langsat
yang orang kampungku lebih menyebutnya putih bersih. Kecantikannya masih
terlihat. Guruku seringkali menyebut-nyebut namaku pada isterinya.
Menceritakan
hal-hal potensi yang kumiliki dan kegembiraannya memiliki seorang murid
sepertiku. Namaku amat dikenalnya. Hanya saja ia jarang bertemu dengan makhluk
sepertiku di dunia nyatanya. Dunia keseharian mereka. Nama dikenal tapi nyaris
tak pernah bertemu atau saling kontak sampai bertahun-tahun.
Asri Kasim adalah guru Bahasa Indonesia, semasa masih di
Sekolah Menengah Pertama (SMP Negeri Pariaman) bertahun silam. Seorang
laki-laki tinggi semampai. Kulit bersih. Berpakaian rapi. Tampan, ramah dan
mudah akrab. Tak salah… banyak guru-guru wanita, terutama yang belum menikah
berusaha untuk mendapatkan lebih dekat dengannya. Sampai akhirnya… kemudian
kami para muridnya, mengetahui Guru kami itu menetapkan pilihan hatinya. Ya,
ibu tadi yang kutemui untuk menitipkan
pesan kepada Guruku.
Semasa di bangku sekolah SMP itulah, pertama dan terakhir
kalinya aku ikut lomba baca puisi. Lomba diadakan pak Asri Kasim antar kami.
Baik anak-anak kelas satu, kelas dua atau pun kelas tiga. Pada lomba itu, aku
membacakan puisi “Antara Kerawang dan Bekasi,” karya penyair Chairil Anwar. Aku
menjadi pemenang dan mendapatkan hadiah sebuah pena.
Mungkinkah pena itu bermakna dari Guruku itu, selalulah
untuk menulis. Karena beliau tahu, semasa itu aku sudah mulai rajin
mempublikasikan tulisanku ke media cetak, ke suratkabar terbitan di daerah
kami. Dimana beliau sering membacanya.
Aku tak mengetahui, bagaimanakah Guruku, saat menerima kabar
dariku yang kupesankan pada isterinya itu, perihal puisiku berjudul “Hang;
kekalkan di Selat Malaka” menjadi salah satu yang menerima Anugerah Puisi Dunia
Numera 2014. Semoga kabar itu menjadi kebahagiaan baginya, karena dialah salah
satu yang pantas menerima penghargaan itu. [abrar khairul ikhirma]
so sweet....aku juga ingat dgn seorang guruku yg membawaku seperti saat ini
BalasHapusada yg patut kita kenang
HapusKisah inspiratif...cintaku pun masih abadi untuk guru-guruku..
BalasHapusbetul skali...
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusselamat yo Arkhi.............ba passpor juo jadi nyo .......amin
BalasHapusemil demitra
BalasHapusmokasi mil...
Hapus