NAMA adalah do’a, begitu berulangkali
sebahagian besar orang sebutkan. Benar. Tidak salah sama sekali. Di balik
pemberian nama oleh orangtua kita, tersimpan banyak hal yang tak terungkap.
Kalau pun dijelaskan, hanya sebuah gambaran. Tentulah tidak utuh mewakili
situasi, perasaan dan pikiran saat nama itu dicetuskan, ketika si anak baru
lahir dan diberikan nama.
Orangtuaku memberikanku nama untukku, “Abrar
Chairul.” Yang kemudian nama itu dicantumkan pada ijazah saat menyelesaikan
pendidikan sekolah formal. Disaat sudah menjejak bangku sekolah menengah
pertama (SMP), barulah sepenuhnya aku mengetahui namaku diambil dari bahasa
Arab. Tapi aku tak pernah tahu artinya apa dan memang aku sendiri juga tak
menaruh perhatian besar untuk itu.
Barulah di saat masa-masa menempuh pendidikan
formal ku di bangku sekolah menengah atas (SMA) yang “kacau balau,” mengetahui
bahwa “Abrar” itu artinya bakti.
Bakti menurut situs Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI):
“bak·ti n 1 tunduk dan
hormat; perbuatan yg menyatakan setia (kasih, hormat, tunduk): -- kpd Tuhan Yang Maha Esa; -- seorang anak kpd
orang tuanya; 2 memperhambakan diri; setia: sbg tanda -- kpd nusa dan bangsa, ia berusaha
berprestasi sebaik-baiknya;
ber·bak·ti v berbuat bakti (kpd); setia (kpd): - kpd Tuhan Yang Maha Esa dng jalan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya;
mem·bak·ti·kan v 1 menggunakan segenap tenaga untuk berbakti (kpd); menghambakan: beri kesempatan kpd mereka agar dapat - ilmunya kpd masyarakat; 2 memberikan sesuatu sbg tanda bakti: demi perjuangan bangsanya, orang tidak segan-segan - harta bendanya;
ber·bak·ti v berbuat bakti (kpd); setia (kpd): - kpd Tuhan Yang Maha Esa dng jalan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya;
mem·bak·ti·kan v 1 menggunakan segenap tenaga untuk berbakti (kpd); menghambakan: beri kesempatan kpd mereka agar dapat - ilmunya kpd masyarakat; 2 memberikan sesuatu sbg tanda bakti: demi perjuangan bangsanya, orang tidak segan-segan - harta bendanya;
pem·bak·ti·an n proses, cara,
perbuatan membaktikan: - tenaga dan
pikirannya kpd perjuangan bangsa tidak dapat dinilai dng uang; ”
Kata Abrar pada namaku diikuti dengan
pencantuman, “Chairul.” Chairul adalah nama awal dari orangtua laki-lakiku.
Juga berasal dari bahasa Arab. Chairul, masih menurut KBBI dijelaskan:
“baik /ba·ik / 1 a
elok; patut; teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dsb): karangan bunga
itu -- sekali; 2 a mujur; beruntung (tt nasib); menguntungkan
(tt kedudukan dsb): nasibnya -- sekali; mendapat kedudukan yg --; 4 a tidak jahat (tt kelakuan,
budi pekerti, keturunan, dsb); jujur: anak itu -- budi pekertinya; 6
a selamat (tidak kurang suatu apa): selama ini keadaan kami -- saja;
7 a selayaknya; sepatutnya: kami diterima dng --; 10
n kebaikan; kebajikan: kita wajib berbuat -- kpd semua orang;--
hati berbudi baik;”
Awalnya, kata
Abrar dan Chairul itu yang merupakan dua kata dari namaku tak pernah menjadi
perhatianku. Yang kuingat, perhatianku hanya pada penambahan kata “Ikhirma” olehku
setelah dua kata itu. Kata Ikhirma, aku temukan semasa menjelang menamatkan
sekolah dasar (SD). Dimasa itu aku tengah menjadi seorang pembaca kelas berat.
Keluarga kami adalah keluarga pembaca. Ada banyak suratkabar yang dilanggani
oleh orangtuaku dan banyak buku yang dibelikan untuk kami, bahkan masing-masing
kami sampai membeli sendiri buku, majalah, suratkabar yang kami minati.
Diantara bacaan
yang pernah aku baca itulah, aku menemukan nama Ikhirma. Nama itu terdapat
dalam salah satu cerita dari negeri “Seribu Satu Malam.” Dimana mulanya cerita “Aladin
dengan Lampu Wasiatnya.” Atau “Sinbad Sang Pelaut.” Dan “Kisah 40 Penyamun.” Dan
banyak lagi, kisah-kisah yang menakjubkan, di zaman Sultan Haroen Al Rasjid
itu, membentuk imajinatif dan mempengaruhi karakter di masa anak-anak dan
remaja. Seperti aku yang haus akan bacaan dan ilmu pengetahuan.
Dikisahkan….,
ketika pemerintahan Sultan Haroen Al Rasjid di Kota Bagdad, ada seorang yang
hidup di jalanan dengan derita kemiskinan. Terlunta-lunta. Tidak memiliki
tempat tinggal, tidak punya sanak saudara, susah untuk mendapatkan pengganjal
perut di kala lapar.
Nama orang itu
Ikhirma. Seorang yang sering merenungkan nasibnya. Tidak mau sembarangan
meminta-minta dan menerima kala diberi orang. Tidak pula ingin mencuri walau
hanya sekadar mempertahankan hidup. Tidak mengeluh dan tidak mengharapkan belas
kasihan orang.
Dalam
kemelaratannya, ia memiliki sebuah cita-cita yakni ingin sekali menjadi orang
kaya. Dan memang akhirnya, cita-citanya itu menjadi kenyataan. Ia menjadi orang
kaya, bahkan menjadi salah seorang bangsawan di zaman Haroen Al Rasjid. Tragisnya,
setelah menjadi bangsawan itu, ia pun kemudian bercita-cita menjadi orang
miskin.
Maka diputuskannyalah,
menyerahkan semua harta bendanya kepada Sultan Haroen Al Rasjid, untuk
digunakan kepentingan masyarakat dan orang-orang fakir miskin. Kecuali, ia
menyisakan sebuah rumah kecil yang ingin ditempatinya sampai akhir hayatnya,
yang kelak telah tiada, silahkan diambil juga.
Beliau hanya
meminta Sultan, bersedia menyuruh orang untuk mengantarkan susu dan roti setiap
pagi ke rumah kecilnya. Sultan mengabulkan.
Di rumah kecil itulah ia mendekam
menghabiskan hidupnya. Menyendiri. Rumah dengan pintu tertutup, nyaris
kelihatan tanpa penghuni. Hanya ada sebuah jendela kecil di salah satu sudut, terbuka
bila diketuk, tempat si tukang susu dan si tukang roti, menyerahkan makanan. Kemudian
pintu itu akan ditutup kembali. Baik tukang susu, tukang roti, tak pernah tahu
siapa di dalamnya. Begitu juga sebaliknya.
Penggalan nama
itulah yang menjadi namaku sampai kini. Aku merasa tak bisa dilepaskan lagi, ia
telah menjadi bagian dari hidupku. [abrar khairul ikhirma, februari 2014]
bagus ya blognya....
BalasHapusterimakasih soufie, semoga apa-apa yg ditulis dpt bermanfaat bagi banyak orang...
Hapus