BARU lima tahun terakhir ini lah aku berkomunikasi dengan
Jelok Naih. Padahal aku bukanlah orang yang asing baginya, atau sebaliknya
Jelok Naih bukan pula tak mengenalku. Sebelumnya kami hanya saling menyapa saja
atau sekadar bicara pendek kala bertemu. Biasanya yang paling sering bertemu di
kedai-kedai kopi.
Jelok Naih, salah seorang yang dikenal khususnya di pusat
Kota Pariaman. Jelok Naih, adalah panggilan akrabnya oleh kalangan tua dan
muda. Namanya adalah Nasrul Syam. Beliau adalah keturunan dari Rumah Tabuik
Pasa, Kampuang Perak. Terakhir Jelok Naih adalah “Tuo Tabuik” yang tampil
mengatur prosesi sacral dari “urang rumah tabuik” sebagaimana yang diterimanya
dari para pendahulu.
Menurut perjalanan sejarahnya, Tabuik di Pariaman, pernah
dibuat untuk mewakili setiap kenagarian di Pariaman, pada perayaan 1-10 Muharam
setiap tahun.. Terutama nagari-nagari yang berada daerahnya dekat ke pantai.
Waktu itu Tabuik yang diarak pada hari puncak 10 Muharram, jumlahnya banyak.
Dari sejumlah orangtua di waktu tahun 1980-an, aku pernah dapat cerita dari
mereka bahwa Tabuik dahulunya pernah juga dibuat di Sungai Limau, lebih kurang
14 km dari Kota Pariaman.
Namun jumlah Tabuik itu kian mengerucut seiring perkembangan
zaman, hingga terakhir yang tetap menyelenggarakan adalah Kenagarian Pasa dan
Kenagarian V Koto Aia Pampan. Kedua kenagarian berada di pusat Kota Pariaman
dan merupakan nagari yang berdekatan. Hanya dipisahkan aliran sungai Batang
Piaman. Tabuik Kenagarian Pasa disebut juga dengan “Tabuik Pasa.” Tabuik dari
Kenagarian V Koto Aia Pampan disebut “Tabuik Subarang.”
Dalam waktu terakhir, sejak mendiang Bupati Anas Malik,
semasa Kota Pariaman belum dijadikan sebagai Kotamadia, kedua Tabuik dari 2
kenagarian ini kembali dibangkitkan. Alasan yang paling mendasar bagi Sang
Bupati pecinta kebudayaan tradisi ini ialah, agar masyarakat bangkit
perekonomiannya lewat event budaya, agar Pariaman diramaikan oleh orang luar
(wisatawan). Anas Malik mengajak ninik mamak, alim ulama, urang tuo, cadiak
pandai dan anak nagari, untuk kembali “bertabuik” setiap 1-10 Muharram tiap
tahun.
Dalam waktu beberapa tahun terakhir, aku kian menyadari satu
persatu “orangtua” yang dihormati dengan keberadaannya kian berkurang, seiring
usia mereka. Satu persatu telah wafat. Sementara banyak hal, perhatian dan
penguasaan mereka terhadap pengalaman dan sejarah, pernak pernik kebudayaan
tradisi “seakan tak ada” yang hirau untuk mencatat. Sungguh teramat
disayangkan, memang.
Sehubungan itulah, intensitas ku mengikuti perjalanan
kebudayaan semakin terdorong, terutama menyangkut seni tradisi, khususnya “mengamati”
dari tahun ke tahun penyelenggaraan Alek Budaya Tabuik Piaman, membuatku
berusaha untuk gigih “menyerap” bagian-bagian yang ingin aku dengar dari Jelok
Naih, salah satunya. Ternyata ia pun senang, aku mau mendengarkan dan mau
bertanya segala hal menyangkut Tabuik yang diketahuinya dan yang “diterimanya”
dari para pendahulu keturunan Rumah Tabuik Pasa. Percakapan dengan Jelok Naih
intens kulakukan setiap bertemu, yang semakin acap kalinya, karena kebetulan
keseharianku bila berada di Pariaman adalah disekitar Rumah Tabuik Pasa, yang
menjadi Rumah Tuo kaum Jelok Naih di Kampuang Perak.
Yang menggembirakanku, salah satunya, yang kuanggap
istimewa, aku sempat membuat foto, saat malam “basalisiah” sepulang “Maambiak
Batang Pisang” salah satu prosesi Tabuik Piaman, di Simpang Kampuang Cino,
merupakan lokasi Padang Karbala, meminta Jelok Naih berpose bersama Ajo Awuang,
Tuo Tabuik Subarang. Momen langka “menyatukan” kedua pihak yang “berlawanan”
itu disaat prosesi tengah berlangsung. Itu terjadi saat Tabuik tahun 2012
silam. Sebuah dokumentasi berharga.
Kegembiraan lainnya, Jelok Naih di tahun 2012 silam itu,
dijadikan profile sebagai salah satu tokoh oleh setasiun tv Trans-TV, Jakarta.
Mereka membuat documenter khusus sekaitan prosesi Tabuik yang berjalan sampai
berakhir. Cuma sayang, saat ditayangkan televise tersebut, aku tak sempat
menontonnya. Tak apalah. Yang penting ada dokumentasi yang tidak hanya tentang
beliau tapi sangat besar artinya atas keberadaan Tabuik sebagai produk budaya
tradisi.
Walau pun aku belum tuntas menggali informasi melalui Jelok
Naih, namun aku bersyukur, dalam 3 tahun terakhir ini, aku mendapat sejumlah
hal mengenai Tabuik melalui percakapan-percakapan kami yang pernah berlangsung.
Kadang diantara gelak canda atau saat makan siang di sudut kedai nasi
kemenakannya di rangkaian Rumah Tabuik Pasa.
Jelok Naih kini telah tiada…., beliau wafat Rabu, 13
Februari 2014, dalam usia 56 tahun. Kita tak tahu, apakah pewaris berikutnya
mampu memposisikan “diri” di dalam keadaan semakin “tergerusnya” nilai-nilai “tradisi”
oleh kepentingan diluar tradisi dengan alasan pariwisata, padahal benarkah
dengan penyelenggaraan beberapa tahun terakhir ini, yang seperti itukah bernama pariwisata ???
Apalagi penyelenggaraan Tabuik sudah dimulai 2 tahun terakhir
memakai dana APBD. Masih layakkah disebut sebagai “Alek Anak Nagari” sebab
kendalinya sudah pasti tidak pada kedua “nagari.” Tidak salah “dominasi”
pemerintah lebih terasa di dalam penyelenggaraannya. Entah ke depannya, Tabuik kembali
ke “khittahnya.” [abrar khairul ikhirma]