SUNGAYANG bukanlah suatu yang asing bagiku.
Aku pernah disana dalam waktu yang lama dan secara berkala selalu ke sana sampai saat ini. Di sana bermukim ibuku Ernilitis, seorang pengasuh group randai, suatu kelompok seni tradisionil yakni Randai Rambun Pamenan. Selain mengurus anak-anak randai yang juga pandai bersilat iapun dikenal sebagai penyanyi saluang –menyanyi diiringi alat tiup— salah satu generasi berikut setelah penyanyi saluang Minang yang legendaries Syamsidar nak rang Pariangan, Padangpanjang.
Kenapa aku menyebut nama ibuku ? Ernilitis pertamakali menikah dengan Datuak Lagan dan kelak kemudian hari wafat, lalu menikah dengan Chairul Harun, sastrawan, budayawan dan wartawan. Datuak Lagan begitu orang memanggilnya adalah mamak pasukuan pewaris kedua akhir dari generasi akhir pewaris “Batu Angkek-angkek,” di Sungayang.
Letaknya rumah gadang tempat Batu Angkek-angkek itu tersimpan dari rumah ibuku tidak jauh. Ya… mungkin kurang lebih sekilometerlah. Namun sudah selama itu aku mengetahuinya dan memiliki “kedekatan” hubungan dengan pewarisnya, tak sekali hendak aku untuk mencoba “kekeramatan” sang batu itu.
Cerita adikku One –anak Ernilitis— padaku diapun dulunya sering disuruh nenek untuk mencoba “mengangkat” batu itu tapi tak pernah dia mau. Dia merasa juga tak memiliki niatan apa-apa. Bertahun kemudian setelah dia dewasa dan sudah bersuami… akhirnya dia mencoba “mengangkatnya” sebagaimana yang dipintakannya saat itu untuk lebih meyakinkan kepercayaan dirinya. Memang dia menemukan kenyataan setelah kemudian hari, sebagaimana yang dimohonkannya kepada Allah saat sebelum mengangkat batu itu.
Sudah begitu menyatunya aku dengan Sungayang, baru di tanggal 16 April 2011 lalulah sengaja mendatangi Rumah Gadang Batu Angkek-angkek setelah singgah ke rumah menemui ibu dan adikku. Tentu saja sambil menemani teman-teman yang ingin menguji niatnya, semoga kelak Allah kabulkan apa-apa yang dimohonkan pada-Nya. Kami adalah serombongan setelah berangkat dari Padanggantiang, daerah yang masih satu Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat; Darmansyah dengan isterinya serta Bustanul Arifin dan aku.. .
Juga kedatanganku sekaitan memastikan “salah pemahaman” di dalam “memahami” batu tersebut oleh banyak orang dan juga Majelis Ulama yang senada dan seirama kira-kira mengatakan perbuatan kepada batu itu adalah salah menurut agama Islam dan kalau memohon kenapa ke batu kenapa tidak pada Allah ???
Perkara itu kuketahui setahun lalu sempat menjadi polemic di suratkabar lokal dan konon adanya keluar surat pelarangan dari lembaga Ulama untuk tidak melakukan wudu’ sebelum mengangkat batu, sebagaimana biasa dianjurkan oleh pewaris batu yang menunggui Rumah Gadang itu selama ini..
Aku sendiri terlahir dari penganut agama yang taat. Juga tidak memiliki tradisi di keluarga kami hal-hal yang dianggap melecehkan keberadaan Allah. Begitu juga kami tidak mengikuti paham agama melalui suatu aturan menurut orang banyak tetapi menurut keyakinan kami pada agama yang kami anut, sesuai yang dianjurkan oleh Al Qur’an dan Hadist, sesuai dengan pemahaman dan kemampuan kami..
.Makanya… pemahaman orang lain, pemahaman sebuah lembaga --saya anggap pemahaman itu bisa benar menurut agama, bisa benar memang segitulah baru pemahamannya terhadap agama, bisa pula tidak tahu bagaimana yang sebenarnya mengangkat batu itu, dan bukan berarti tidak bisa pula pemahaman dan keputusan yang bersifat memiliki kepentingan di baliknya -- tidak menjadi ukuran benar bagiku, dan jelas tidak membuatku menghentikan diri untuk tidak “mengangkat” batu itu. Agaknya barangkali juga termasuk sebahagian lain dari masyarakat yang tidak menganggap itu “musyrik” terus saja dari mana-mana sampai kini datang dan “mengangkat batu” di Sungayang.
Batu Angkek-angkek berawal dari mimpi Dt.Bandaro Kayo salah seorang kepala kaum dari suku Piliang. Ia didatangi oleh Syech Ahmad dan disuruh untuk mendirikan sebuah perkampungan yang sekarang di kenal dengan nama “Kampung Palagan”.
Pada saat pembangunan tonggak pertama, terjadi gempa lokal dan hujan panas selama 14 hari 14 malam.
Karena terjadinya peristiwa tersebut diadakanlah musyarawah dan saat musyawarah berlangsung terdengar suara gaib yang berasal dari lobang pemancangan bangunan bahwa di lokasi tersebut terdapat sebuah batu yang harus dirawat dengan baik.
Sekarang batu ini dikenal dengan batu “Angkek – angkek”, dan untuk mengetahui dapat/tidak tercapainya niat seseorang, dapat dilihat dengan ter angkat atau tidaknya batu tersebut
Di hari tanggal 16 April 2011 itu aku pun turut mencoba mengangkat batu itu. Sebelum mengangkat dan masuk ke tempat dimana batu itu terletak, aku memang tidak berwudu’ sebagaimana kabarnya dilarang. Aku tidak berwudu’ bukan karena larangan itu, karena memang aku tidak sempat ke tempat adanya air untuk berwudu’ Menurutku seharusnya aku berwudu; karena aku akan memohon pada Allah, kalau ke batu itu jelas tidak.
Aku duduk berlutut, di depan lututku di lantai di atas permadani batu itu terletak, aku sebagaimana lazimnya membaca doa dan aku pertegas, “apabila doa yang hamba mohonkan engkau kabulkan ya Allah, tunjukkanlah pada batu di hadapanku ini, jadikanlah seringan-ringannya hingga hamba dapat mengangkatnya ke pangkuan hamba.” Alhamdulillah…. Batu itu dapat aku raih, angkat dan peluk.
Sayang aku tidak melakukannya dua kali. Hanya sekali. Seharusnya mengulangnya lagi setelah batu itu terangkat dan dikembalikan pada tempat semula. Dan berdo’a “….apabila engkau kabulkan apa yang kumohonkan tadi ya Allah, untuk menghilangkan keragu-raguan hari ini dan selanjutnya, perlihatkanlah pada batu di hadapan hamba ini, jadikanlah dia berat seberat-beratnya sampai hamba tidak dapat mengangkatnya…”
Sayang memang. Tapi kabarnya banyak yang bisa mengangkatnya dengan mudah dan banyak pula tidak bisa batu itu terangkat sampai kini. Tak tahu apa niatnya terkabulkan atau tidak. Hanya Allah yang tahu…..
Rumah Gadang tempat batu itu disimpan, kini dijadikan sebagai objek wisata. Terbuka untuk umun. Tepatnya di Nagari Tanjung Kecamatan Sunggayang tempat batu itu berada + 11 km dari kotaBatusangkar (abrarkhairulikhirma/19/08/2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar