PANAS berdegam sepanjang lintas Muaro Bungo-Bangko kian merunduk. Berbelok ke kanan dari jalan Lintas Sumatera, memasuki persimpangan patah siku, layaknya jalan pemukiman. Ada beberapa ratus meter, di jalan yang memiliki sejumlah tanggul –polisi tidur—untuk mampir di Pasar Rantau Panjang.
Sekitar pukul 15.18 wib, sampai di pasar Rantau Panjang, yang salah satu urat nadi transaksi di belahan Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Seperti biasanya, sepanjang jalan, kemana saja daerah yang dimasuki, selalu pandanganku tertuju kepada bangunan-bangunan lama dan tempat-tempat yang pernah menjadi catatan perjalanan sejarah.
Termasuk mulai berbelok dari jalan Lintas Sumatera sampai
berada di kawasan Pasar Rantau Panjang, mataku tak lepas pada bangunan-bangunan
tua. Alangkah menyenangkan, di pasar ini masih ditemukan sejumlah bangunan
lama. Masih terasa ada identitas sebuah daerah. Ada sejumlah bangunan yang
sempat aku dokumentasikan ke dalam camera digital.
Alangkah menyenangkan lagi, kalau pemilik dan pemerintah
daerahnya mampu mengapresiasi, bangunan lama tetap dirawat dan dipertahankan ke
depannya. Bila mereka arif bahwa itu merupakan aset dan identitas daerah
mereka, tentu ke depannya pasar ini akan tetap terasa spesifiknya.
Saat kedatangan, suasana pasar sudah tidak ramai. Ada yang
sudah tutup tapi di sana sini masih tetap buka. Pasar ini terbilang luas.
Menurut catatan, kawasan desa Rantau Panjang adalah desa tertua di Provinsi
Jambi. Sudah dihuni 680 tahun silam. Penduduknya dikenal suku Batin. Dimana
suku asli Jambi dengan budaya matrilineal. Sedangkan mayoritas penduduk Jambi
bersuku Melayu keturunan Melayu Muda, berbudaya patrilinial.
Suku Batin konon merupakan ‘saudara’ suku Kerinci. Mereka
bermigrasi dari Cina selatan ribuan tahun lalu ke Indonesia. Menyusuri sungai
Batanghari di Jambi menuju hulu. Di Bangko, rombongan ini berpisah. Satu
kelompok berbelok menuju Tabir dan yang lainnya terus ke hulu menuju Kerinci.
Pasar Rantau Panjang, merupakan pasar Kecamatan Tabir, Kabupaten
Merangin, Provinsi Jambi.
[abrar khairul ikhirma, 2014]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar