SUDAH dua pekan ini cuaca kurang bersahabat. Hujan sering turun sejak pagi, atau dari siang sampai malam. Langit sering bermuram durja. Selalu mendung dan udara lembab sepanjang hari. Tapi hari ini Senin 7 November 2011 matahari bersinar terang dan langit sangat bersih.
Pukul 9.10 Wib pagi aku sudah bergerak menuju Nagari Ampalu, VII Koto Sungai Sariak. Kali ini memang sengaja betul untuk menuju satu titik tujuan yakni ingin melihat Surau Gadang Ampalu. Sebelumnya aku sudah berkunjung ke Surau Mudiak Padang, surau tuo di Tandikek, Padangpariaman.
Surau Mudiak Padang dan Surau Gadang Ampalu, walau terpisah jarak lumayan jauh, memiliki kaitan erat di dalam menjalankan tradisi pengembangan ajaran Islam. Peranan surau ini sangat besar dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kedua surau tersebut merupakan dua diantara banyak surau-surau tua yang sudah berumur lebih 100 tahun dan mempunyai sejarah panjang yang dimiliki Ranah Minangkabau.
Jika tidak bersengaja, agak sulit memang untuk tahu dimana lokasi tepatnya Surau Ampalu. Karena bangunannya tidak terletak di pinggir jalan kabupaten yang menghubungkan Kota Pariaman dengan daerah Tandikek. Dalam masa-masa rekonstruksi daerah bencana Gempa 30 September 2009, aku sendiri sudah beberapakali melewati daerah ini tapi tidak mengetahui persisnya.
Daerah Ampalu dan Tandikek berposisi ketinggian dan merupakan kawasan daerah pegunungan. Dari pinggir jalan kabupaten, nyaris tidak ada tanda-tanda menuju Surau Ampalu, meski sudah ada dibangun jalan selebar 3 meter dan dicor semen yang menghubungkan jalan raya dengan surau. Diperkirakan pengecoran sudah berusia lebih kurang dua tahun ini. Karena bukan jalan penghubung kawasan pemukiman, membuat jalan ini tidak begitu terawat dan sepi lalulintas.
Tidak mengherankan saat menuruni jalan cor semen ini, ditemui di beberapa titik sudah pecah, daun-daun yang terserak bahkan sejumlah ranting pohon yang patah tergeletak di jalan begitu saja, semakin mengesankan jalan yang jarang terpakai. Jarak dari jalan raya ke surau lebih kurang 1 km. Jalan menurun dari jalan raya untuk duaratus meternya, diapit oleh kiri kanan yang bertebing.
Selepas tebing jalan itu pandangan mata segera menjadi bebas. Betapa tidak. Kiri kanan adalah bentangan persawahan dengan tanaman padi menghijau subur. Sementara nun di ujung jalan terlihat kini sedang dibangun jembatan yang akan melintasi Batang Ampalu. Nantinya akan membuka hubungan Ampalu dengan Bungin, Sikilia, Badinah dan sekitarnya, yang berada di balik sungai.
Karena pertamakali mendatangi tempat ini, aku berhenti dulu di ujung penurunan jalan, dimana terdapat sebuah bangunan mushala yang sepertinya tak terurus di sebelah kiri dan di kanannya sebuah bangunan rumah tak berpenghuni dibiarkan begitu saja. Melihat ke sekeliling, tak seorang manusia pun yang kelihatan. Tak tampak dimana posisi surau yang mau didatangi.
Entah pada siapa akan bertanya. Hampir saja balik kanan, sekiranya kalau tidak melihat ada jalan kecil di tepi persawahan sebelah kiri, sekitar 200 m sebelum jembatan yang sedang proses pembangunan.
Aku memutuskan membelok ke kiri untuk menelusuri jalan kecil itu. Jalan yang sudah diaspal jagung. Di kiri sawah dan di kanan kebun pepaya. Baru kira-kira seratus meter jalan… aku segera melihat dalam kerimbunan pohon kelapa dan tanaman ada bangunan surau. Sekitar halaman surau terdapat bangunan rumah yang belum selesai, lalu sebuah lapau (warung) kecil. Dan sejajar dengan lapau itu memanjang bangunan kayu beratapkan seng.
Surau Gadang Ampalu juga terkena dampak Gempa 30 September 2009. Di sana sini mengalami keretakan sejumlah bagian bangunan. Ada dua orang tukang bangunan tengah bekerja. Mengesankan perbaikan surau ini dilakukan tidak sporadis seperti ditemui surau-surau di berbagai daerah di Pariaman. Ada apa? Tidakkah mengalir bantuan gempa ke surau ini? Sepintas dari cerita Anduang Nurjani (99 tahun) yang bermukim bersama anak dan menantunya di lapau depan surau, ada banyak lembaga yang ingin membantu membangunkan tapi mereka menolak. Sebabnya yang akan membantu bukan memperbaiki untuk mengembalikan pada bentuk asli tapi malah membangun dengan arsitektur baru.
Aku sependapat dan mendapat jawaban dengan yang diutarakan Anduang Nurjani. Ini membuktikan kini banyak berobahnya arsitektur surau di Pariaman, menunjukkan bahwa rekonstruksi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga bantuan bukannya menjaga dan mengembalikan (renovasi) bangunan-bangunan tapi hanya “merusak” asset sejarah dan budaya daerah ini.
Kalau dialasankan permintaan masyarakat, seharusnya masyarakat disadarkan betapa pentingnya menjaga nilai-nilai tersebut, dimana perlu pemerintah dan lembaga bantuan membatalkan bantuannya jika masyarakat ingin merobahnya. Menurut pengamatanku bukan atas permintaan masyarakat, tetapi "pemaksaan" bisa menyelesaikan dengan simple dan dapat "menekan" biaya belaka.
Surau Ampalu memang sudah banyak di sana-sini tidak mengikuti bentuk asli interiornya [diharapkan ada yang mau mengembalikan atau melengkapi, membuang kesan-kesan modern].
Namun arsitekturnya masih asli. Menunjukkan ciri khas surau-surau yang memiliki kaitan erat dengan Ula’an (Ulakan). Dimana bagian dari tradisi pengembangan ajaran Islam oleh Syech Burhanuddin yang berpusat di Ula’an tersebut. Disebut Surau Ampalu sebagai Surau Gadang, karena surau ini pusat dari “20 indu.” 20 suku-suku yang bermukim di Ampalu dan sekitarnya.
Keterangan Anduang Nurjani salah seorang keturunan dari Surau Ampalu, surau yang masih ada bangunannya sekarang ini adalah bangunan kedua. Bangunan pertamanya berdiri di posisi dimana sekarang diletakkan tabuah pusako (beduk) arah mudiak (timur) surau. Surau pertama itu ketika dia masih kecil, hancur diterjang banjir Batang Ampalu. Surau memang sangat dekat di pinggir Batang Ampalu, dimana ke hilir sungai aliran air itu masuk ke Ampangan (bendungan) Aia Santok. Selanjutnya sampai ke muara Pauah disebut masyarakat Batang Aia Santok.
Makanya ingin sekali datang ke Surau Ampalu setelah mengunjungi Surau Mudiak Padang di Tandikek. Sebab kedua surau “cagar budaya” ini memiliki meriam. Dimana bertahun-tahun suara meriam sudah dijadikan sebagai tanda masuknya waktu Ramadhan dan berakhir Ramadhan. Sejak lama sudah dikenal adagium “ badantang mariam Ampalu, manyahuik Mudiak Padang.” Artinya, kalau sudah berbunyi letusan meriam dari Surau Ampalu, segera disusul dengan letusan meriam Surau Mudiak Padang. Keterkaitan ini memperjelas keberadaan Surau Gadang Ampalu dengan Surau Mudiak Padang yakni “Pucuak di Tandikek, pangka di Ampalu.” [abrar khairul ikhirma # 07-11-2011]
Nice Job
BalasHapus:)
terimakasih sudah mampir ke blog saya
HapusLuar biasa sejarah Ampalu memang tak bisa dilepaskan. Dari Islam dan menurut tambo Ampalu juga diperintah oleh raja2 dari pagaruyung dimasa lalu benarkah demikian berati Ampalu dulu cukup penting di kawasan Minangkabau
BalasHapus