Setiap datang ke Kota
Medan, Sumatera Utara, aku selalu menyempatkan diri mendatangi Masjid Raya Al
Mashun yang dikenal sebagai Masjid Raya Kota Medan. Salah satu masjid tertua di
Indonesia, memiliki sejarah dan arsitektur yang menarik sebagai identitas Kota
Medan.
Masjid Al Mashun, satu diantara
jejak sejarah dari peninggalan kerajaan Kesultanan Deli, yang masih
terpelihara dengan baik sampai sekarang. Kesultanan Deli merupakan satu
diantara kerajaan Melayu di nusantara. Bangunannya berarsitektur khas Timur
Tengah, India dan Spanyol. Berbentuk segi delapan, dengan di bagian selatan,
timur, utara dan baratnya, memiliki sayap. Dibangun pada awal abad 19 yakni
tahun 1906 dan selesai tahun 1909.
Aku pertamakali mengenal dan
mendatangi Masjid Al Mashun ini, pada pertengahan tahun 1970-an, saat
kedatangan ke Kota Medan dibawa Pamanku. Selama di Kota Medan, kami tinggal di
Gang Keluarga di Jalan Sisingamangaraja Kota Medan. Karena jarak masjid dengan
rumah kami terbilang dekat, kami sering bersholat ke masjid raya.
JA Tingdeman, sang arsitek
merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan
campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini
menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid
kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap
tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama
masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung
antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan
beranda di sisi mihrab.
Pada masa pertengahan tahun
1970-an itu, aku sudah terpikat dengan arsitektur Masjid Raya Al Mashun. Sangat
menarik perhatianku. Tersimpan dalam ingatan. Pun merasakan aura kesakralan
yang relegius. Suasana, tiap aksentuasi dan pada semua sudutnya tidak luput
dari pengamatanku.
Masjid memiliki gang. Gang-gangnya
terdapat deretan jendela-jendela tidak berdaun. Berbentuk lengkungan-lengkungan
yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu
mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad
Pertengahan. Aku selalu merasa tertegun di salah satu jendelanya, bila aku
tengah melangkah perlahan melalui gang masjid. Memandang ke halaman. Selalu
menyerap pengalaman batin yang membuatku merasa nyaman.
Bila berada di dalam masjid,
akan terlihat pilar yang kokoh. Karena di bagian dalam masjid, terdapat delapan
pilar utama berdiameter 0,60 m. Pilar menjulang tinggi, menyangga kubah utama
pada bagian tengah. Tentu saja pandangan akan bertumbuk ke bahagian paling
depan yakni ke arah terdapat mihrab. Mihrab Masjid Al Mashun terbuat dari
marmer dengan atap kubah runcing.
Ketika berada di bahagian luar
masjid, kita dapat memandang keanggunan masjid tiada puasnya. Karena akan
terlihat di antara bangunan di sekelilingnya, sebuah bangunan tua yang spesifik dengan kubahnya. Kubah Masjid
Al Mashun menurut seni arsitektur mengikuti model Turki, dengan bentuk yang
patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas
masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya
mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh.
Barulah pada pertengahan tahun
2012 aku kembali menjejak Kota Medan. Tentu saja kembali menikam jejak masa silam,
dari rumah Gang Keluarga di Jalan Sisingamangaraja dan berakhir di Masjid Al
Mashun. Berjalan kaki di antara deretan pertokoan, yang sungguh jauh lebih
ramai dibandingkan dengan tahun-tahun yang silam. Terakhir mendatangi Kota
Medan tahun 1985 saat diundang sebagai peninjau pada Pertemuan Penulis Muda Sumatera
Utara di Taman Budaya Sumatera Utara.
Kedatangan kembali tahun 2012 ke
Masjid Al Mashun, Masjid Raya Kota Medan, di hari Jum’at. Hari yang baik. Entah
bagaimana kebahagiaan hati saat memasuki gerbang masjid yang berbentuk bujur
sangkar beratap datar. Segera terlihat oleh pandanganku menara masjid yang
berhiaskan percampuran antara seni arsitektur Mesir, Iran dan Arab.
Masjid Al Mashun atau Masjid
Raya Kota Medan, dibangun oleh Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam
ketika memimpin Kesultanan Deli. Pembangunan dimulai pada 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada
tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan, dengan ditandai
pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini.
Konon keseluruhan pembangunannya
menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun
masjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama
ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan
masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota
Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid turut
berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.
Suasana bersholat Jum’at di
Masjid Al Mashun bagiku mendatangkan kebahagiaan tersendiri. Sebelum sholat,
aku menyempatkan diri berkeliling bangunan masjid. Menikmati keindahan
arsitektur dan keterawatan bangunannya. Ada banyak orang kujumpai di berbagai
sudutnya. Hampir-hampir tak sepi untuk menikmati suasana ketentramannya.
Apalagi di waktu siang, dengan panas matahari menyengat, berada di masjid jauh
lebih terasa sejuk.
Secara keseluruhan bangunan
masjid ini sangat saling melengkapi. Fungsi atau pun aksentuasi keindahan bangunan.
Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan
menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi.
Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang
menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda
terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan
Art
Nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.
Seluruh ornamentasi di dalam
masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya
dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda
terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan
empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.
Rupa-rupanya, sejak kembali
menjejak Kota Medan tahun 2012 itu, tidak berhenti begitu saja. Tahun 2013 aku
kembali ke Kota Medan. Untuk beberapa hari aku dapat bersholat di Masjid Al
Mashun. Termasuk juga pada tahun 2015 maupun 2017 ini.
Rasanya tidak ada yang berubah.
Suasananya semakin ramai di waktu-waktu sholat. Selalu saja diluar waktu
sholat, menjumpai pengunjung silih berganti di halaman masjid, mengabadikan
keindahan arsitektur yang sudah menjadi kekayaan budaya. Termasuk salah satu
jejak sejarah perkembangan agama Islam di Tanah Melayu.
Masjid Raya Al Mashun menurut
catatan, padamulanya dirancang oleh arsitek Belanda Van Erp yang juga
merancang Istana Maimun, namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA
Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah
Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa
Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi
diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung
dari Perancis.
@abrar
khairul ikhirma --- data dikutip dari Wikipedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar